Kamis, 26 Juni 2008

ASKEP ASTHMA

AsTHma
A. Konsep dasar
1. Pengertian
a. Asthma Bronkiale
Asthma Bronkiale merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya respon yang berlebihan dari trakea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan, yang mengakibatkan penyempitan saluran nafas yang tersebar luas diseluruh paru dan derajatnya dapat berubah secara sepontan atau setelah mendapat pengobatan,(Tjen Daniel, 1991).
b. Status Astmatikus
Status Asthmatikus merupakan serangan asthma berat yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan konvensional dan merupakan keadaan darurat medik ,bila tidak diatasi dengan cepat akan terjadi gagal pernafasan,(Aryanto Suwondo, karnen B. Baratawidjaja, 1995).
Faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah
a. Anatomi dan fisiologi
Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen kedalam tubuh. Serta menghembuskan udara yang banyak mengandung karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi (Lorraine M.wilson,1995).
Secara garis besar saluran pernafasan dibagi menjadi dua zona, zona konduksi yang dimulai dari hidung, faring, laring,trakea, bronkus, bronkiolus segmentalis dan berakir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona respiratoris dimulai dari bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir pada sakus alveulus terminalis (N.L.G.Yasmin, 1995 dan Syaifuddin,1997).
Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epiotel thorak yang bertingkat, bersilia dan bersel goblet.Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan mukus yang sisekresi sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung. Sedangkan partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus untuk kemudian dibatukkan atau ditelan. Air untuk kelembapan diberikan oleh lapisan mukus, sedangkan panas yang disuplai keudara inspirasi berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya dengan pembulu darah, sehingga bila udara mencapai faring hampir bebas debu,bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembapanya mencapai 100%(Lorraine M. Wilson, 1995).
Udara mengalir dari hidung kefaring yang merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu : nasofaring, orofaring dan laringofaring. Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa tempat terdapat follikel getah bening yang dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat dua buah tonsil kiri dan kanan dari tekak, (Syaifuddin,1997).
Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak didepan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke trakea di bawahnya (Syaifuddin,1997). Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat glotis yang merupakan pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Pada saat menelan, gerakan laring keatas, penutupan dan fungsi seperti pintu pada aditus laring dari epiglotis yang berbentuk daun berperan untuk mengarahkan makanan ke esofagus, tapi jika benda asing masih bisa melampaui glotis, maka laring mempunyai fungsi batuk yang akan membantu merngeluarkan benda dan sekret keluar dari saluran pernafasan bagian bawah, (Larroin M.W, 1995).
Trakea dibentuk 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan, yang berbentuk seperti kuku kuda dengan panjang kurang lebih 5 inci (9-11 cm), lebar 2,5 cm, dan diantara kartilago satu dengan yang lain dihubaungkan oleh jaringan fibrosa, sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar(sel bersilia) yang hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukusa, (Syaifuddin,1997).
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea ada dua buah yamg terdapat pada ketinggian vertebra torakalis ke IV dan V. Sedangkan tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika batuk dirangsang . Bronkus utama kanan lebih pendek , lebih besar dan lebih vertikal dari yang kiri. Terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai tiga cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang,dan lebih kecil, terdiri dari 9-12 cicin serta mempunyai dua cabang,(Syaifuddin,1997).
Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak mengandung alveoli (kantung udara) dan memiliki garis 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukuranya dapat berubah. Seluruh saluran uadara ,mulai dari hidung sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar udara atau zona konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitellium yang mengandung lebih banyak sel goblet dan otot polos, diantaranya strecch reseptor yang dilanjutkan oleh nervus vagus,(Lorraine M. Wilson,1995).
Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru , yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari : Bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan sakus alveolaris terminalis yang merupakan struktur akhir dari paru. (Lorraine M.Wilson,1995 ).
Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas ada tiga proses yang terjadi. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara melalui cabang-cabang trakeo bronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli dan karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan. Udara akan mengalir dari tekanan yang tianggi ke tekanan yang rendah. Selama inspirasi volume thorak bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat. Peningkatan volume ini menyebabkan menurunan tekanan intra pleura dari –4 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir) menjadi sekita –8mmHg. Pada saat yang sama tekanan pada intra pulmunal menurun –2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir). Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menyebabkan udara mengalir kedalam paru sampai tekanan saluran udara sama dengan tekanan atmosfir. Pada ekspirasi tekanan intra pulmunal bisa meningkat 1-2 mmHg akibat volume torak yang mengecil sehingga udara mengalir keluar paru,(Lorraine M. Wilson,1995).
Proses kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui membran alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggai tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam alveoli mempunyai tekanan partial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada didalam darah. Karbondioksida darah lebih tinggi tekanan partialnya dari pada karbondioksida dialveoli. Akibatnya karbondioksida mengalir dari darah ke alveoli,(John Gibson,1995).
Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler ke jaringan melalui transpor aliran darah. Oksigen dapat masik ke jaringan melalui dua jalan : pertama secara fisik larut dalam plasma dan secara kimiawi berikata dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin, sedangkan karbondioksida ditransportasi dalam darah sebagai bikarbonat, natrium bikarbonat dalam plasma dan kalium bikarbonat dalam sel-sel darah merah. Satu gram hemoglobin dapat mengika 1,34 ml oksigen. Karena konsentrasi hemoglobin rata-rata dalam darah orang dewasa sebesar 15 gram, maka 20,1 ml oksigen bila darah jenuh total ( Sa O2 = 100% ),bila darah teroksigenasi mencapai jaringan . Oksigen mengalir dari darah masuk ke cairan jaringan karena tekanan partial oksigen dalam darah lebih besar dari pada tekanan dalam cairan jaringan. Dari dalam cairan jaringan oksigen mengalir kedalan sel-sel sesuai kebutuhan masing-masing. Sedangkan karbondioksida yang dihasilkan dalam sel mengalir kedalam cairan jaringan. Tekanan partial karbondioksida dalam jaringan lebih besar dari pada tekanan dalam darah maka karbondioksida mengalir dari cairan jaringan kedalam darah (Lorraine M.Wilson, 1995).
Fungsi sebagain pengaturan keseimbangan asam basa : pH darah yang normal berkisar 7,35 – 7,45. Sedangkan manusia dapat hidup dalam rentang pH 7,0 – 7,45. Pada peninggian CO2 baik karena kegagalan fungsi maupun tambahnya produksi CO2 jaringan yang tidak dikompensasi oleh paru menyebabkan perubahan pH darah. Asidosis respiratoris adalah keadaan terjadinya retensi CO2 atau CO2 yang diproduksi oleh jaringan lebih banyak dibandingkan yang dibebaskan oleh paru. Sedangkan alkalosis respiratorius adalah suatu keadaan Pa CO2 turun akibat hiper ventilasi, (Hudak dan Gallo,1997 ).
b. Patofisiologi
Suatu serangan asthma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ).
IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca++ kedalam sel dan perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow releasing suptance of anaphylaksis ( SRS-A), eosinophilic chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akanmenyebabakan timbulnya tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otot-otot polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran nafas , peningkatansekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap yangsangat lanjut, (Barbara C.L,1996, Karnen B. 1994, William R.S. 1995 )
Berdasarkan etiologinya, asthma dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu asthma intrinsik dan asthma ektrinsik. Asthma ektrinsik (atopi) ditandai dengan reaksi alergik terhadap pencetus-pencetus spesifik yang dapat diidentifikasi seperti : tepung sari jamur, debu, bulu binatang, susu telor ikan obat-obatan serta bahan-bahan alergen yang lain. Sedangkan asthma intrinsik ( non atopi ) ditandai dengan mekanisme non alergik yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik seperti : Udara dingin, zat kimia,yang bersifat sebagai iritan seperti : ozon ,eter, nitrogen, perubahan musim dan cuaca, aktifitas fisik yang berlebih , ketegangan mental serta faktor-faktor intrinsik lain. ( Antoni C, 1997 dan Tjen Daniel, 1991 ).
Serangan asthma mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama ditandai dengan batuk-batuk berkala dan kering. Batuk ini terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpul. Pada stadium ini terjadi edema dan pembengkakan bronkus. Stadiun kedua ditandai dengan batuk disertai mukus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak nafas, berusaha untuk bernafas dalam, ekspirasi memanjang diikuti bunyi mengi (wheezing ). Klien lebih suka duduk dengan tangan diletakkan pada pinggir tempat tidur, penberita tampak pucat, gelisah, dan warna kulit sekitar mulai membiru. Sedangkan stadiun ketiga ditandai hampir tidak terdengarnya suara nafas karena aliran udara kecil, tidak ada batuk,pernafasan menjadi dangkal dan tidak teratur, irama pernafasan tinggi karena asfiksia, ( Tjen daniel,1991 ).
c. Penatalaksanaan
Pengobatan asthma secara garis besar dibagi dalam pengobatan non farmakologik dan pengobatan farmakologik.
1. Penobatan non farmakologik
a) Penyuluhan
Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit asthma sehinggan klien secara sadar menghindari faktor-faktor pencetus, serta menggunakan obat secara benar dan berkonsoltasi pada tim kesehatan.
b) Menghindari faktor pencetus
Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asthma yang ada pada lingkungannya, serta diajarkan cara menghindari dan mengurangi faktor pencetus, termasuk pemasukan cairan yang cukup bagi klien.
c) Fisioterapi
Fisioterpi dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus. Ini dapat dilakukan dengan drainage postural, perkusi dan fibrasi dada.

2. Pengobatan farmakologik
a) Agonis beta
Bentuk aerosol bekerja sangat cepat diberika 3-4 kali semprot dan jarak antara semprotan pertama dan kedua adalan 10 menit. Yang termasuk obat ini adalah metaproterenol ( Alupent, metrapel ).
b) Metil Xantin
Golongan metil xantin adalan aminophilin dan teopilin, obat ini diberikan bila golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pada orang dewasa diberikan 125-200 mg empatkali sehari.
c) Kortikosteroid
Jika agonis beta dan metil xantin tidak memberikan respon yang baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol ( beclometason dipropinate ) dengan disis 800 empat kali semprot tiap hari. Karena pemberian steroid yang lama mempunyai efek samping maka yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat.
d) Kromolin
Kromolin merupakan obat pencegah asthma, khususnya anak-anak . Dosisnya berkisar 1-2 kapsul empat kali sehari.
e) Ketotifen
Efek kerja sama dengan kromolin dengan dosis 2 x 1 mg perhari. Keuntunganya dapat diberikan secara oral.
f) Iprutropioum bromide (Atroven)
Atroven adalah antikolenergik, diberikan dalam bentuk aerosol dan bersifat bronkodilator.
(Evelin dan joyce L. kee, 1994 ; Karnen baratawijaja, 1994 )
3. Pengobatan selama serangan status asthmatikus
a) Infus RL : D5 = 3 : 1 tiap 24 jam
b) Pemberian oksigen 4 liter/menit melalui nasal kanul
c) Aminophilin bolus 5 mg / kg bb diberikan pelan-pelan selama 20 menit dilanjutka drip Rlatau D5 mentenence (20 tetes/menit) dengan dosis 20 mg/kg bb/24 jam.
d) Terbutalin 0,25 mg/6 jam secara sub kutan.
e) Dexamatason 10-20 mg/6jam secara intra vena.
f) Antibiotik spektrum luas.
(Pedoman penatalaksanaan status asthmatikus UPF paru RSUD Dr Soetomo Surabaya ).
Dampak masalah
a. Pada klien
Penderita asthma harus merubah gaya hidup sehari-hari untuk menghindari faktor pencetus. Perubahan ini dimulai dari lingkungan hidup sanpai dengan lingkungan kerja. Pada klien dengan serangan asthma, maka terjadi penurunan nafsu makan, minum sehingga mempengarui status nutrisi klien. Dalam istirahat klien sangat terganggu sehingga dapat menyebabkan kelelahan. Adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan penyediaan oksigen mempengarui toleransi dalam melakukan aktivitas, kelelahan cepat lelah dan ketidak mampuan memenuhi ADL. Klien dapat tumbuh dan berkembang menjadi rendah diri, merasa tidak mampu, berkepribadian labil,mudah tersinggung,gelisah dan cemas. Adanya keterbatasan aktifitas, klien lebih tergantung pada orang lain, terkadang klien tidak dapat berperan sesuai dengan peranya, (Antony C. 1997 ; Tjen daniel, 1991).
b. Pada keluarga
Melihat kondisi klien dengan gejala asthma dan dirawat dirumah sakit, tentang penyebab, prognosa penyakit dan keberhasilan dari terapi, akan menimbulkan kecemasan pada keluarga. Perlunya klien dirawat dirumahsakit menimbulkan respon kehilangan pada keluarga yang ditinggalkan. Peran klien dalam keluarga sebagai sumber ekonomi akan terganggu karena klien tidak bisa masuk kerja serta perawatan dan biaya rumah sakit yang tidak sedikit akan menjadi beban bagi keluarga.

B. Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama antara perawat dengan klien, keluarga, atau masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang, optimal didalam memberikan asuhan keperawatan dugunakan metode proses keperawatan yang meliputi:pengkajian, diagnosa keperawatanm, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1. Pengkajian
a. Pengumpulan data.
1) Identitas klien.
Pengajian mengenai nama, umur danjenis kelamin perlu di kaji pada penyakit status asthmatikus. Serangan asthma pada usia dini memberikan implikasi bahwa sangat mungkin terdapat status atopi. Sedangkan serangan pada usia dewasa di mingkinkan adanya faktor non atopi. Alamat menggambarkan kondisi lingkungan tempat klien berada, dapat mengetahui kemungkinan faktor pencetus serangan asthma. Status perkawinan, gangguan emosional yang timbul dalam keluarga atau lingkungan merupakan faktor pencetus serangan asthma, pekerjaan, serta bangsa perlu juga digaji untuk mengetahui adanya pemaparan bahan elergen. Hal lain yang perlu dikaji tentang : Tanggal MRS, Nomor Rekam Medik, dan Diagnosa medis. (Antony C, 1997; M Amin 1993; karnen B 1994).
2) Riwayat penyakit sekarang.
Klien dengan serangan asthma datang mencari pertolongan dengan keluhan, terutama sesak napas yang hebat dan mendadak kemudian diikuti dengan gejala-gejala lain yaitu : Wheezing, Penggunaan otot bantu pernapasan, Kelelahan, gangguan kesadaran, Sianosis serta perubahan tekanan darah. Perlu juga dikaji kondisi awal terjadinya serangan.
3) Riwayat penyakit dahulu.
Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu seperti infeksi saluran napas atas, sakit tenggorokan, amandel, sinusitis, polip hidung. Riwayat serangan asthma frekuensi, waktu, alergen-alergen yang dicurigai sebagai pencetus serangan serta riwayat pengobatan yang dilakukan untuk meringankan gejala asthma (Tjen Daniel, 1991)
4) Riwayat kesehatan keluarga.
Pada klien dengan serangan status asthmatikus perlu dikaji tentang riwayat penyakit asthma atau penyakit alergi yang lain pada anggota keluarganya karena hipersensitifitas pada penyakit asthma ini lebih ditentukan oleh faktor genetik oleh lingkungan, (Hood Alsagaf, 1993)
5) Riwayat spikososial
Gangguan emosional sering dipandang sebagai salah satu pencetus bagi serangan asthma baik ganguan itu berasal dari rumah tangga, lingkungan sekitar sampai lingkungan kerja. Seorang yang punya beban hidup yang berat berpotensial terjadi serangan asthma. yatim piatu, ketidak harmonisan hubungan dengan orang lain sampai ketakutan tidak bisa menjalankan peranan seperti semula, (Antony Croket, 1997 dan Tjen Daniel, 1991).
6) Pola fungsi kesehatan
a) Pola resepsi dan tata laksana hidup sehat
Gejala asthma dapat membatasi manusia untuk berprilaku hidup normal sehingga klien dengan asthma harus merubah gaya hidupnya sesuai kondisi yang memungkinkan tidak terjadi serangan asthma (Antony Crokett ;1997, Tjien Daniel ;1991, Karnen B;1994)
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Perlu dikaji tentang status nutrisi klien meliputi, jumlah, frekuensi, dan kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya. Serta pada klien sesak, potensial sekali terjadinya kekurangan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi, hal ini karena dipsnea saat makan, laju metabolisme serta ansietas yang dialami klien, (Hudak dan Gallo;1997)
c) Pola eliminasi
Perlu dikaji tentang kebiasaan BAB dan BAK mencakup warna bentuk, kosentrasi, frekuensi, jumlah serta kesulitan dalam melaksanakannya.
d) Pola tidur dan istirahat
Perlu dikaji tentang bagaimana tidur dan istirahat klien meliputi berapa lama klien tidur dan istirahat. Serta berapa besar akibat kelelahan yang dialami klien. Adanya wheezing, sesak dan ortopnea dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat klien, ( Antony C;1997)
e) Pola aktifitas dan latihan
Perlu dikaji tentang aktifitas keseharian klien seperti olah raga, bekerja dan aktifitas lainnya. Aktifitas fisik dapat terjadi faktor pencetus terjadinya asthma yang disebut dengan Exerase Induced Asthma, (Tjien Daniel;1991)
f) Pola hubungan dan peran
Gejala asthma sangat membatasi gejala klien untuk menjalani kehidupan secara normal. Klien perlu menyesuaikan kondisinya dengan hubungan dan peran klien baik dilingkungan rumah tangga, masyarakat ataupun lingkungan kerja, (Antony C, 1997)
g) Pola persepsi dan konsep diri
Perlu dikaji tentang persepsi klien tarhadap penyakitnya. Persepsi yang salah dapt menghambat respon kooperatif pada diri klien. Cara memandang diri yang salah juga akan menjadi stresor dalam kehidupan klien. Semakin banyak stresor yang ada pada kehidupan klien dengan asthma meningkatkan kemungkinan serangan asthma yang berulang.
h) Pola sensori dan kognetif
Kelainan pada pola persepsi dan kognetif akan memepengaruhi konsep diri klien dan akhirnya mempengaruhi jumlah stresor yang dialami klien sehingga kemungkinan terjadi serangan asthma yang berulangpun akan semakin tinggi.
i) Pola reproduksi seksual
Reproduksi seksual merupakan kebutuhan dasar manusia, bila kebutuhan ini tidak terpenuhi akan terjadi masalah dalam kehidupan klien. Masalah ini akan menjadi stressor yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya serangan asthma.
j) Pola penangulangan stress
Stress dan ketegangan emosional merupakan faktor instrinsik pencetus serangan asthma maka perlu dikaji penyebab terjadinya stres. Frekuensi dan pengaruh terhadap kehidupan klien serta cara penanggulangan terhadap stresor, (Tjien Daniel;1991)
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Kedekatan klien pada sesuatu yang ia yakini dunia percayai dapat meningkatkan kekuatan jiwa klien. Keyakinan klien terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pendekatan diri pada Nya merupakan metode penanggulangan stres yang konstruktif
7) Pemeriksaan fisik
a) Status kesehatan umum
Perlu dikaji tentang kesadaran klien, kecemasan, gelisah, kelemahan suara bicara, tekanan darah nadi, frekuensi pernapasan yang meningkatan, penggunaan otot-otot pembantu pernapasan sianosis batuk dengan lendir lengket dan posisi istirahat klien (Laura A. T.; 1995, Karnen B ;19983).
b) Integumen
Dikaji adanya permukaan yang kasar, kering, kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembapan, mengelupas atau bersisik, perdarahan, pruritus, ensim, serta adanya bekas atau tanda urtikaria atau dermatitis pada rambut di kaji warna rambut, kelembaban dan kusam. (Karnen B ;1994, Laura A. Talbot; 1995).
c) Kepala.
Dikaji tentang bentuk kepala, simetris adanya penonjolan, riwayat trauma, adanya keluhan sakit kepala atau pusing, vertigo kelang ataupun hilang kesadaran.(Laura A.Talbot;1995).
d) Mata.
Adanya penurunan ketajaman penglihatan akan menambah stres yang di rasakan klien. Serta riwayat penyakit mata lainya (Laura A. Talbot ; 1995)).
e) Hidung
Adanya pernafasan menggunakan cuping hidung,rinitis alergi dan fungsi olfaktori (Karnen B.;1994, Laura A. Talbot;1995)
f) Mulut dan laring
Dikaji adanya perdarahan pada gusi. Gangguan rasa menelan dan mengunyah, dan sakit pada tenggorok serta sesak atau perubahan suara. (Karnen B.:1994)).
g) Leher
Dikaji adanya nyeri leher, kaku pada pergerakaan, pembesran tiroid serta penggunaan otot-otot pernafasan (Karnen B.;1994).
h) Thorak
(1) Inspeksi
Dada di inspeksi terutama postur bentuk dan kesemetrisan adanya peningkatan diameter anteroposterior, retraksi otot-otot Interkostalis, sifat dan irama pernafasan serta frekwensi peranfasan.(Karnen B.;1994, Laura A.T.;1995).
(2) Palpasi.
Pada palpasi di kaji tentang kosimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus (Laura A.T.;1995).
(3) Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah. (Laura A.T.;1995).
(4) Auskultasi.
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan expirasi lebih dari 4 detik atau lebih dari 3x inspirasi, dengan bunyi pernafasan dan Wheezing. (Karnen B .;1994).
i) Kardiovaskuler.
Jantung di kaji adanya pembesaran jantung atau tidak, bising nafas dan hyperinflasi suara jantung melemah. Tekanan darah dan nadi yang meningkat serta adanya pulsus paradoksus, (Robert P.;1994, Laura A. T.;1995).
j) Abdomen.
Perlu di kaji tentang bentuk, turgor, nyeri, serta tanda-tanda infeksi karena dapat merangsang serangan asthma frekwensi pernafasan, serta adanya konstipasi karena dapat nutrisi (Hudak dan Gallo;1997, Laura A.T.;1995).
k) Ekstrimitas.
Di kaji adanya edema extremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada extremitas karena dapat merangsang serangan asthma,(Laura A.T.;1995).
8) Pemeriksaan penunjang.
a) Pemeriksaan spinometri.
Pemeriksaan ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol golongan adrenergik. Peningkatan FEV atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asthma, (Karnen B;1998).
b) Tes provokasi brokial.
Dilakukan jika pemeriksaan spinometri internal. Penurunan FEV, sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung 80-90 % dari maksimum di anggap bermakna bila menimbulkan penurunan PEFR 10 % atau lebih,(Karnen B.;1998).
c) Pemeriksan tes kulit.
Untuk menunjukan adanya antibodi IgE hipersensitif yang spesifik dalam tubuh, (Karnen B.;1998).
d) Laboratorium.
(1) Analisa gas darah.
Hanya di lakukan pada serangan asthma berat karena terdapat hipoksemia, hyperkapnea, dan asidosis respiratorik,(Karnen B.;1998).
(2) Sputum.
Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan Asthma yang berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi dari adema mukasa, sehingga terlepaslah sekelompok sel – sel epitel dari perlekatannya. Peawarnaan gram penting untuk melihat adanya bakteri, diikuti kultur dan uji resistensi terhadap beberapa antibiotik,(Arjadiono T.;1995).
(3) Sel eosinofil
Pada penderita status asthmatikus sel eosinofil dapat mencapai 1000 – 1500 /mm3 baik asthma Intrinsik ataupun extrinsik, sedangkan hitung sel eosinofil normal antara 100-200/mm3. Perbaikan fungsi paru disertai penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan pengobatan telah tepat,(Arjadiono T.;1995).
(4) Pemeriksaan darah rutin dan kimia
Jumlah sel leukosit lebih dari 15.000 terjadi karena adanya infeksi. SGOT dan SGPT meningkat disebabkan karena kerusakkan hati akibat hipoksia atau hiperkapnea,(Arjadiono T.;1995).
e) Radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menyingkirkan adanya proses patologik diparu atau komplikasi asthma seperti pneumothorak, pneumomediastinum, atelektosis dan lain – lain, (Karnen B.;1998).
f) Elektrokardiogram
Perubahan EKG didapat pada 50% penderita Status Asthmatikus, ini karena hipoksemia, perubahan pH, hipertensi pulmunal dan beban jantung kanan . Sinus takikardi – sering terjadi pada asthma.
b. Analisa data
Data yang dikumpulkan harus dianalisa untuk menentukan masalah klien. Analisa data merupakan proses intelektual yang meliputi pengelompokan data, mengidentifikasi kesenjangan dan menentukan pola dari data yang terkumpul serta membandingkan susunan atau kelompok data dengan standart nilai normal, menginterprestasikan data dan akhirnya membuat kesimpulan. Hasil dari analisa adalah pernyataan masalah keperawatan.
2. Diagnosa Keperawatan .
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan status kesehatan atau masalah aktual atau potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam mengidentifikasi dan mensintesis data klinis dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan atau mencegah masalah kesehatan klien yang ada pada tanggung jawabnya, (Lismidar ; 1992).
Berikut adalah diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien status astmatikus.
a. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan sekresi kental peningkatan produksi mukus dan bronkospasme (Lindajual C.;1995).
b. Ketidak efektifan pola nafas yang berhubungan dengan distensi dinding dada dan kelelahan akibat kerja pernafasan, (Hudak dan Gallo ;1997).
c. Ansietas yang berhubungan dengan sulit bernafas dan rasa takut sufokasi. (Lindajual C;1995).
d. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO2, peningkatan sekresi, peningkatan kerja pernafasan dan proses penyakit,(Susan Martin Tucker;1993).
e. Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan laju metabolik tinggi, dipsnea saat makan dan ansietas, (Hudak dan Gallo;1997).
f. Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan retensi sekresi, batuk tidak efektif dan imobilisasi, (Hudak dan Gallo;1997).
g. Resiko tinggi kelelahan yang berhubungan dengan retensi CO2 hipoksemia, emosi terfokus pada pernafasan dan apnea tidur, (Hudak dan Gallo;1997).
h. Resiko tinggi ketidak patuhan yang berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi dan perawatan diri saat pulang,(Susan Martin Tucker;1993).
Perencanaan
Setelah pengumpulan data klien, mengorganisasi data dan menetapkan diagnosis keperawatan maka tahap berikutnya adalah perencanaan . Pada tahap ini perawat membuat rencana perawatan dan menentukan pendekatan apa yang digunakan untuk memecahkan masalah klien. Ada tiga pase pada tahap perencanaan yaitu menentukan prioritas, menentukan tujuan dan merencanakan tindakan keperawatan, (Lismidar;1992).
Perencanaan dari diagnosis – diagnosis keperawatan diatas adalah sebagai berikut:
a. Ketidak efektifan jalan nafas yang berhubungan dengan sekresi kental peningkatan produksi mukus bronkospasme.
1) Tujuan
Jalan nafas menjadi efektif.
2) Kriteria hasil
(a) menentukan posisi yang nyaman sehingga memudahkan peningkatan pertukaran gas.
(b) dapat mendemontrasikan batuk efektif
(c) dapat menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi
(d) tidak ada suara nafas tambahan
3) Rencana tindakan
(a) Kaji warna, kekentalan dan jumlah sputum
(b) Instruksikan klien pada metode yang tepat dalam mengontrol batuk.
(c) Ajarkan klien untuk menurunkan viskositas sekresi
(d) Auskultasi paru sebelum dan sesudah tindakan
(e) Lakukan fisioterapi dada dengan tehnik drainage postural,perkusi dan fibrasi dada.
(f) Dorong dan atau berikan perawatan mulut
4) Rasional
(a) Karakteristik sputrum dapat menunjukkan berat ringannya obstruksi
(b) Batuk yang tidak terkontrol melelahkan dan inefektif serta menimbulkan frustasi
(c) Sekresi kental sulit untuyk dikeluarkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus yang dapat menimbulkan atelektasis.
(d) Berkurangnya suara tambahan setelah tindakan menunjukan keberhasilan
(e) Fisioterpi dada merupakan strategi untuk mengeluarkan sekret.
(f) Hygiene mulut yang baik meningkatkan rasa sehat dan mencegah bau mulut.
b. Ketidak efektifan pola nafas yang berhubungan dengan distensi dinding dada, dan kelelahan akibat peningkatan kerja pernafasan.
1) Tujuan
Klien akan mendemontrasikan pola nafas efektif
2) Kriteria hasil
(a) Frekuensi nafas yang efektif dan perbaikan pertukaran gas pada paru
(b) Menyatakan faktor penyebab dan cara adaptif mengatasi faktor-faktor tersebut
3) Rencana tindakan
(a) Monitor frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan
(b) Posisikan klien dada posisi semi fowler
(c) Alihkan perhatian individu dari pemikiran tentang keadaan ansietas dan ajarkan cara bernafas efektif
(d) Minimalkan distensi gaster
(e) Kaji pernafasan selama tidur
(f) Yakinkan klien dan beri dukungan saat dipsnea
4) Rasional
(a) Takipnea, irama yang tidak teratur dan bernafas dangkal menunjukkan pola nafas yang tidak efektif
(b) Posisi semi fowler akan menurunkan diafragma sehingga memberikan pengembangan pada organ paru
(c) Ansietas dapat menyebabkan pola nafas tidak efektif
(d) Distensi gaster dapat menghambat kontraksi diafragma
(e) Adanya apnea tidur menunjukkan pola nafas yang tidak efektif
(f) Rasa ragu–ragu pada klien dapat menghambat komunikasi terapeutik.
c. Ansietas yang berhubungan dengan sulit bernafas dan rasa takut sufokasi.
1) Tujuan
Asietas berkurang atau hilang.
2) Kriteria hasil
(a) Klien mampu menggambarkan ansietas dan pola fikirnya.
(b) Munghubungkan peningkatan psikologi dan kenyaman fisiologis.
(c) Menggunakan mekanisme koping yang efektif dalam menangani ansietas.
3) Rencana tindakan.
(a) Kaji tingkat ansietas yang dialami klien.
(b) Kaji kebiasaan keterampilan koping.
(c) Beri dukungan emosional untuk kenyamanan dan ketentraman hati.
(d) Implementasikan teknik relaksasi.
(e) Jelaskan setiap prosedur tindakan yang akan dilakukan.
(f) Pertahankan periode istirahat yang telah di rencanakan.

4) Rasional.
(a) Mengetahui tinggkat kecemasan untuk memudahkan dalam perencanaan tindakan selanjutnya.
(b) Menilai mekanisme koping yang telah dilakukan serta menawarkan alternatif koping yang bisa di gunakan.
(c) Dukungan emosional dapat memantapkan hati untuk mencapai tujuan yang sama.
(d) Relaksasi merupakan salah satu metode menurunkan dan menghilangkan kecemasan
(e) Pemahaman terhadap prosedur akan memotifasi klien untuk lebih kooperatif.
d. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO2, peningkatan sekresi, peningkatan pernafasan, dan proses penyakit.
1) Tujuan
Klien akan mempertahankan pertukaran gas dan oksigenasi adekuat.
2) Kreteria hasil
(a) Frekuensi nafas 16 – 20 kali/menit
(b) Frekuensi nadi 60 – 120 kali/menit
(c) Warna kulit normal, tidak ada dipnea dan GDA dalam batas normal

3) Rencana tindakan
(a) Pantauan status pernafasan tiap 4 jam, hasil GDA, pemasukan dan haluaran
(b) Tempatkan klien pada posisi semi fowler
(c) Berikan terapi intravena sesuai anjuran
(d) Berikan oksigen melalui kanula nasal 4 l/mt selanjutnya sesuaikan dengan hasil PaO2
(e) Berikan pengobatan yang telah ditentukan serta amati bila ada tanda – tanda toksisitas
4) Rasional
(a) Untuk mengidentifikasi indikasi kearah kemajuan atau penyimpangan dari hasil klien
(b) Posisi tegak memungkinkan expansi paru lebih baik
(c) Untuk memungkinkan rehidrasi yang cepat dan dapat mengkaji keadaan vaskular untuk pemberian obat – obat darurat.
(d) Pemberian oksigen mengurangi beban otot – otot pernafasan
(e) Pengobatan untuk mengembalikan kondisi bronkus seperti kondisi sebelumnya
(f) Untuk memudahkan bernafas dan mencegah atelektasis
e. Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan laju metabolik tinggi, dipsnea saat makan dan ansietas

3) Tujuan
Pemenuhan kebutuhan nutrisi terpenuhi
4) Kriteria hasil
(a) Klien menghabiskan porsi makan di rumah sakit
(b) Tidak terjadi penurunan berat badan
5) Rencana tindakan
(a) Mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan nafsu makan menurun misalnya muntah dengan ditemukannya sputum yang banyak ataupun dipsnea.
(b) Anjurkan klien untuk oral hygiene paling sedikit satu jam sebelum makan.
(c) Lakukan pemeriksaan adanya suara perilstaltik usus serta palpasi untuk mengetahui adanya masa pada saluran cerna
(d) Berikan diit TKTP sesuai dengan ketentuan
(e) Bantu klien istirahat sebelum makan
(f) Timbang berat badan setiap hari
6) Rasional
(a) Merencanakan tindakan yang dipilih berdasarkan penyebab masalah.
(b) Dengan perawatan mulut yang baik akan meningkatkan nafsu makan.
(c) Mengetahui kondisi usus dan adanya dan konstipasi.
(d) Memenuhi jumlah kalori yang dibutuhkan oleh tubuh.
(e) Kelelahan dapat menurunakn nafsu makan.
(f) Turunya berat badan mengindikasikan kebutuhan nutrisi kurang.
f. Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan retensi sekresi, batuk tidak efektif dan imobilisasi.
1) Tujuan
Klien tidak mengalami infeksi nosokomial
2) Kriteria hasil
Tidak ada tanda – tanda infeksi
3) Rencana tindakan
(a) Monitor tanda – tanda infeksi tiap 4 jam.
(b) Gunakan teknik steril untuk perawatan infus. atau tidakan infasif lainnya.
(c) Pertahankan kewaspadaan umum.
(d) Inspeksi dan catat warna, kekentalan dan jumlah sputum.
(e) Berikan nutrisi yang adekuat
(f) Monitor sel darah putih dan laporkan ketidak normalan
(g) Berikan antibiotik sesuai dengan indikasi
4) Rasional
(a) Adanya rubor, tumor, dolor, kalor menunjukan tanda – tanda infeksi
(b) Teknik steril memutus rantai infeksi nosokomial
(c) Kewaspadaan memberikan persiapan yang cukup bagi perawat untuk melakukan tindakan bila ada perubahan kondisi klien.
(d) Sputum merupakan media berkembangnya kuman.
(e) Nutrisi yang adekuat memberikan peningkatan daya tahan tubuh.
(f) Sel darh putih yang meningkat menunjukan kemungkinan infeksi.
(g) Tindakan pencegahan terhadap kuman yang masuk tubuh.
g. Resiko tinggi kelelahan yang berhubungan dengan refensi CO2, hypoksemia, emosi yang terfokus pada pernafasan dan apnea tidur.
1) Tujuan
Klien akan terpenuhi kebutuhan istirahat untuk mempertahankan tingkat enegi saat terbangun
2) Kriteria hasil
(a) Mampu mendiskusikan penyebab keletihan
(b) Klien dapat tidur dan istirahat sesuai dengan kebutuhan tubuh
(c) Klien dapat rilek dan wajahnya cerah.
3) Rencana tindakan
(a) Jelaskan sebab – sebab keletihan individu
(b) Hindari gangguan saat tidur.
(c) Menganalisa bersama – sama tingkat kelelahan dengan menggunakan skala Rhoten (1982).
(d) Indentivikasi aktivitas – aktivitas penting dan sesuaikan antara aktivitas dengan istirahat.
(e) Ajarkan teknik pernafasan yang efektif.
(f) Pertahankan tambahan O2 bila latihan .
(g) Hindarkan penggunaan sedatif dan hipnotif.
4) Rasional
(a) Diketahuinya faktor–faktor penyebab maka diharapkan bias menghindarinya.
(b) Tidur merupakan upaya memulihkan kondisi yang telah menurun setelah aktivitas.
(c) Skala Rhoten untuk mengetahui tingkat kelelahan yang dialami klien.
(d) Kelelahan terjadi karena ketidak seimbangan antara kebutuhan aktifitas dan kebutuhan istirahat.
(e) Pernafasan efektif membantu terpenuhnya O2 dijaringan.
(f) O2 digunakan untuk pembakaran glukosa menjadi energi.
(g) Sedatif dan hipnotik melemahkan otot–otot khususnya otot pernafasan.
h. Resiko tinggi ketidak patuhan yang berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang kondisi dan perawatan diri pada saat pulang.
1) Tujuan
Klien mampu mendemontrasikan keinginan untuk mengikuti rencana pengobatan.
2) Kriteria hasil
(a) Klien mampu menyampaikan pengertian tentang kondisi dan perawatan diri pada saat pulang
(b) Menggunakan alat – alat pernafasan yang tepat
3) Rencana tindakan
(a) Bantu mengidentifikasi faktor – faktor pencetus serangan asthma
(b) Ajarkan tindakan untuk mengatasi asthma dan mencegah perawatan di rumah sakit
(c) Anjurkan dan beri alternative untuk menghindari faktor pencetus.
(d) Ajarkan dan biarkan klien mendemontrasikan latihan pernafasan .
(e) Jelaskan dan anjurkan untuk menghindari penyakit infeksi.
(f) Instruksikan klien untuk melaporkan bila ada perubahan karakteristrik sputum, peningkatan suhu, batuk, kelemahan nafas pendek ataupun peningkatan berat badan atau bengkak pada telapak kaki.
4) Rasional
(a) Diketahuinya faktor pencetus mempermudah cara menghindari serangan asthma .
(b) Tindakan preventif merupakan salah satu upaya yang di lakukan untuk memberikan pelayanan secara komprehensif.
(c) Salah satu upaya preventif adalah menghindarkan klien dari faktor pencetus.
(d) Klien dengan asthma sewring mengalami kecemasan yang mengakibatkan pola nafas tidak efektif sehingga perlu dilakukan latihan pernafasan.
(e) Infeksi terutama ISPA menjadi faktor penyebab serangan asthma .
(f) Perubahan yang terjadi menunjukan perlunya penanganan segera agar tidak mengalami komplikasi.
3. Implementasi
Implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan keperawatan oleh perawat . Seperti tahap – tahap yang lain dalam proses keperawatan , fase pelaksanaan terdiri dari beberapa kegiatan antara lain :
a. Validasi (pengesahan) rencana keperawatan
b. Menulis/ mendokumentasikan rencana keperawatan
c. Memberikan asuhan keperawatan
d. Melanjutkan pengumpulan data
4. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan yang merupakan kegiatan sengaja dan terus menerus yang melibatkan klien perawat dan anggota tim kesehatan lainnya

Tujuan evaluasi adalah :
a. Untuk menilai apakah tujuan dalam rencana perawatan tercapai atau tidak
b. Untuk melakukan pengkajian ulang
Untuk dapat menilai apakah tujuan ini tercapai atau tidak dapat dibuktikan dengan prilaku klien
a. Tujuan tercapai jika klien mampu menunjukkan prilaku sesuai dengan pernyataan tujuan pada waktu atau tanggal yang telah ditentukan
b. Tujuan tercapai sebagian jika klien telah mampu menunjukkan prilaku, tetapi tidak seluruhnya sesuai dengan pernyataan tujuan yang telah ditentukan
c. Tujuan tidak tercapai jika klien tidak mampu atau tidak mau sama sekali menunjukkan prilaku yang telah ditentukan

Senin, 23 Juni 2008

Askep Infrark Myokard Akut


ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLEIEN DENGAN INFARK MYOKARD AKUT


I. LANDASAN TEORI

A. DEFINISI
Infark Myokard Akut (IMA) adalah suatu keadaan nekrosis miokard yang akibat aliran darah ke otot jantung terganggu (Hudack & Galo 1996).
Infark Miocard Akut adalah kematian jaringan miokard diakibatkan oleh kerusakan aliran darah koroner miokard (oenyempitan atau sumbatan arteri koroner diakibatkan oleh aterosklerosis atau penurunan aliran darah akibat syok atau perdarahan (Carpenito L.J. , 2000).
Iskemia yang berlangsung lebih dari 30-45 menit akan menyebabkan kerusakan seluler yang irreversibel dan kematian otot atau nekrosis.

B. INSIDEN
Ø IMA merupakan 15-20 % dari penyebab kematian
Ø Pada pria biasanya 2 kali lebih banyak kematian dari pada wanita
Ø Sering ditemukan pada pria antara 35-55 tahun, dengan serangan mendadak, tanpa ada gejala pendahuluan

C. PATOFISIOLOGI
Arteri koroner kiri mempengaruhi sebagian besar ventrikel kiri, septum dan atrium kiri. Arteri koroner kanan mempengaruhi sisi diafragma ventrikel kiri, sedikit bagian posterior septum dan ventrikel serta atrium kanan. Nodus SA lebih sering dipengaruhi oleh arteri koroner kanan daripada kiri (cabang sirkumfleks). Pada nodus AV, 90% dipengaruhi oleh arteri koroner kanan dan 10% dari sisi kiri cabang sirkumfleks. Kedua nodus SA dan AV juga mendapat darah dari arteri kugel. Jadi jelaslah obstruksi pada arteri koroner kiri sering menyebabkan infark anterior, dan infark inferior disebabkan oleh obstruksi pada arteri koroner kanan. Tetapi bila obstruksi telah terjadi di banyak tempat dan kolateral telah terbentuk, lokasi infark mungkin tidak dapat dicerminkan oleh pembuluh asal yang terkena. Pada nekrosis daerah infark miokard mungkin sulit dikenali pada 24 – 48 jam pertama. Setelah itu serat-serat miokard membengkak dan nuklei menghilang. Di tepi infark dapat terlihat perdarahan. Dalam beberapa hari pertama daerah infark akut amat lemah. Secara histologis penyembuhan dapat tercapai sekurang-kurangnya setelah empat minggu, umumnya setelah enam minggu.

Segera setelah terjadi Infark Miokard daerah miokard setempat akan memperlihatkan penonjolan sistolik (diskinesia) dengan akibat menurunnya ejeksi fraction, isi sekuncup, dan peningkatan volume akhir sistolik dan akhir diastolik ventrikel kiri. Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri naik dengan akibat tekanan atrium kiri juga naik. Peningkatan tekanan atrium kiri diatas 25 mmHg yang lama akan menyebabkan transudat cairan ke jaringan interstitium paru (gagal jantung). Pemburukan hemodinamik ini bukan saja disebabkan karena daerah infark, tetapi juga daerah iskemik disekitarnya. Miokard yang masih relatif baik akan mengadakan kompensasi, khususnya dengan bantuan rangsang adrenergik untuk mempertahankan curah jantung tetapi dengan peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Kompensasi ini jelas tidak memadai jika daerah yang bersangkutan juga mengalami iskemia atau bahkan sudah fibrotik. Bila infark kecil dan miokard yang kompensasi masih normal maka pemburukan hemodinamik akan minimal. Sebaliknya jika infark luas dan miokard yang harus berkompensasi juga buruk akibat iskemia atau infark lama, tekanan akhir diastolik akan naik dan gagal jantung terjadi.
Perubahan-perubahan hemodinamik Infark Miokard ini tidak statis. Bila Infark Miokard makin tenang fungsi jantung membaik walaupun tidak diobati. Hal ini disebabkan daerah-daerah yang tadi iskemik mengalami perbaikan. Perubahan hemodinamik akan terjadi bila iskemik berkepanjangan atau infark meluas. Terjadinya mekanis penyulit seperti rupture septum ventrikel, regurgitasi mitral akut dan aneurisma ventrikel akan memperburuk faal hemodinamik jantung.

Aritmia merupakan penyulit Infark Miokard yang tersering dan terjadi pada saat pertama serangan. Hal ini disebabkan karena perubahan masa refrakter, daya hantar rangsang dan kepekaan terhadap rangsangan. Sistem saraf otonom juga berperan terhadap terjadinya aritmia. Penderita Infark Miokard umumnya mengalami peningkatan tonus parasimpatis dengan akibat kecenderungan bradiaritmia meningkat. Sedangkan peningkatan tonus simpatis pada Infark Miokard anterior akan mempertinggi kecenderungan fibrilasi ventrikel dan perluasan infark.

E. GEJALA KLINIS
Hampir selalu ditandai dengan nyeri yang sangat adan mendadak dan terasa oada tiap bagian dada, tetapi bisanya substernal dan terada pula di daerah punggung kiri, lengan atau geraham bawah. Sering kali rasa takut, kehabisan tenaga, berkeringat, pusing, mual dan muntah. Tekanan darah biasanya menurun, kadang-kadang menurunnya sampai shock. Pada infark yang berat, terdapat duypneu dan cyanosis akibat payah jantung. Denyu tjantung bisanya bertambah tetapi dapat pula berkurang. Sering terjadi arytmia seperti ekstrasistole dan fibrilasi atrium. Pada auskultasi di paru-paru terdengar ronchi basah akibat kongesti paruparu dan edema. Friction rub “bising gesekan” pericardium [ada hari kedua atau ketiga. Kelainan EKG lebih penting dari pada pemeriksaan fisik. Didapatkan gelombang Q abnormal, elevasi segmen ST dan gelombang T terbalik.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. EKG
Kelainan EKG lebih penting dari pada pemeriksaan fisik. Didapatkan gelombang Q abnormal, elevasi segmen ST dan gelombang T terbalik.
2. Laboratorium
Laju Endap Darah Meningggi, lekositosis, kadar protein C-Reaktif meninggi, kadar SGOT dan LDH (Lactic Dehydrogenase) meinggi, maksimal 1-2 hari setelah infark dan kemudian menurun hingga kahir minggu pertama, Alpha Deydrogenase bertahan lebih lama dalam darah.
3. Radiologi
4. Echocardiografi
5. Pemeriksaan radioisotop

G. KOMPLIKASI
1. Aritmia
2. Trombo-embolisme, Bila endometrium ventrikel terkena, biasanya penebalan fibrotik dan trombus mural yan gmenyebabkan embolus perifer.
3. Perikarditis, biasanya timbul pada hari kedua atau ketiga. Lokasinya daerah di atas daerah nekrotik atau menyeluruh.
4. Aneurisma ventrikel, pada infark yang meluas, daerah fibrotik dapat meluas dalam waktu berbulan-bulan/bertahun-tahun dan menimbulkan aneurisme jantung (trombus mural).
5. Regurgitasi mitral akut
6. Ruptur jantung dan septum, biasanya terjadi pada akhir minggu pertama atau permulaan minggu kedua, yaitu pada sat fokus iskemik palin glunak. Ruptur akan berakibat perdarahan hebat perikardial dan tamponade jantung. Ruptur septum interventrikel menyebabkan shut kiri ke kanan.

H. PROGNOSIS
Prognosisi bergantung pada luasnya infark, umur penderita dan cadangan tenaga myocardium. !5-25% meninggal dalam waktu 6 minggu, tetapi biasanya meninggal dalam waktu 48 jam setelah serangan .

Kematian biasanya oleh :
1. Fibrilasi vbentrikel
2. Sohck akibat kerusakan myokardium yan gberat (9%)
3. Payah jantung (40%)
4. Ruptur jantung (5-10%)
5. Embolus trombus mural, sangat berbahaya bila tersangkut pada alat vital seperti otak dan ginjal,

I. PENATALAKSANAAN
1. Pencegahan primer, pengendalian faktor resiko yang dapat meningkatkan kerentanan penyakit aterogenesis pada pencegahan penyakit : 1) hiperlipidemia, 2) hipertensi, 3) merokok, 4) obesitas, 5) diet tinggi kalori, lemak total. lemak jenuh, kolesterol dan garam, 6) dibetes, 7) gaya hidup yang kurang gerak, 8) stres psikososial.
2. Pengobatan
a. Pengurangan kebutuhan oksigen
ü Pengurangan kerja jantung secara farmakologik :
v Nitrogliserin
v Penghambat beta adrenergik
v digitalis
v deuritik
v vasodilatasi
v sedatif
v antagonis kalsium
ü Penguragan kerja jantung secara fisik
v Tirah baring
v lingkungan yan tenang
b. Peningkatan suplai oksigen
ü Nitroglieserin
ü pemberian oksigen
ü vasopresor
ü antiaritmia
ü antikoagulansia dan agen fibrinolitik
ü antagonis kalsium
3. Revaskularisasi koroner
a. Angioplasty, PTCA (Percutaneus transluminal coronary angioplasty) menjadi salah satu alternatif terhadap operasi pintas koroner untuk beberapa penderit adengan penyempitan ateroskleroik yang resisten terhadap terapi medis.
b. Revaskularisasi bedah, pembuluh standar yang dipakai dala melakukan CABG (Cangkok pintas arteria koroner) adalah vena safena magna tungkai dan arteria mamaria interna kiri (LIMA) dari rongga dada.
c. Terapi trombolitik, trapi utama untuk reperfusi koroner akut adalah segolongan obat yang dikenal sebagai fibrinolitik yang mencakup streptokinase, urokinase, aktivator plasminogen jaringan (TPA), dan kompleks aktivator plasmimogen yang tidak terisolasi (APSAC).

II. KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian
Pengumpulan data
a. Identitas
Umur sering terjadi pada laki-laki umur 35-55 tahun, jenis kelamin laki-laki 2 kalilebih banyak angka kematiannya dari pada perempuan.
b. Keluhan Utama
Keluhan yang paling dirasakan adalah nyeri dada
P, Nyeri dada
Q, nyeri yang sangat dan terasa pada tiap bagian dada
R, nyeri pada substernal, punggung kiri, lengan dan geraham bawah.
S, Sering kali rasa nyeri disertai easa takut, rasa kehabisan tenaga, berkeringat, pusing, mual dan muntah. Tidak sadar diri dan sesak.
T, nyeri dirasakan mendadak tanpa ada gejela pendahuluan
c. Riwayat penyakit sekarang
Ø Alasan MRS
Menjelaskan riwayat penyakit yang dialami adalah pasien mengeluh sesak dan nyeri dada, sesak bertambah jika aktifitas, keadaan lemah dan nafsu makana menurun
d. Riwayat kesehatan Dahulu
Ø Mempunyai riwayat vaskuler : hipertensi, jantung koroner, miokarditis, jantung ongenital, aritmia
Ø Mempunyai riwayat penyakit DM
e. Riwayat kesehatan keluarga
Terdapat riwayat pada keluarga dengan penyekit vaskuler : HT, penyakit metabolik :DM
f. ADL
Ø Nutrisi : Perlu dikaji keadaan makan dan minum pasien meliputi : porsi yang dihabiskan susunan menu, keluhan mual dan muntah, sebelum atau pada waktu MRS, dan yang trpenting adalah perubahan pola makan setelah sakit
Ø Istirahat tidur : dikaji kebiasaan tidur siang dan malam, berapa jam sehari dan apakan ada kesulitan waktu tidur dan bagaimana perunbahannya setelah sakit klien dengan IMA sering terbangun dan susah tidur klarena nyeri dada dan sesak nafas
Ø Aktifitas : Aktifitas dirumah atau dirumah sakit apakah ada kesenjangan yang berarti misalnya pembatasan aktifitas, pada klien ini biasanya terjadi perubahan aktifitas karena sesak nafas saat aktifitas
Ø Eliminasi : Mengkaji kebiasaan eliminasi alvi dan uri meliputi jumlah, warna, apakah ada gangguan.
Ø Personal Hygiene : mengkaji kebersihan personal Hygienemeliputi mandi, kebersihan badan, gigi dan mulut, rambut, kuku dan pakaian dan kemampuan serta kemandirian dalam melakukan kebersihan diri
g. Data Psikologi
Perlu dikaji konsep diri apakah ada gangguan dan bagaimana persepsi klien akan penyakitnya terhadap konsep dirinya

h. Pemeriksaan Fisik
Secara umum
Ø Meliputi keadaan pasien, cemas, agitasi, perubahan fungsi mental
Ø Kesadaran pasien bisa smapai terjadinya shock
Ø Observasi tanda – tanda vital : tensi (takikardia), nadi lemah pengisian kecil, suhu (diaporesis penuruan pefusi perifer) dan respirasi (takpneu)
Ø TB dan BB untuk mengetahui keadaan nutrisi, penimbunan cairan pada ekstremitas,
Secara khusus :
Sistem integumen
Perfusi jaringan menurun, suhu akral dingin, sianosis, berkeringat
Kepala dan leher, distensi vena leher
Sistem pernafasan
Sesak nafas (dyspneu), rhonci (akumulasi cairan di paru), nyeri dada substernal punggung kiri, pusing, kesadaran menurun (shock)/synkope,
Sistem kardiovaskuler
Aritmia (ekstra sistole), friction rub, palpitasi, hipotensi, takikardia, penurunan nadi perifer, kulit idngin dan pucat, distensi vena leher
Sistem neurologi
Rasa kehabisan tenaga (fatigue), synkope,
sistem pencenraan
Mual dan muntah,
sistem perkemihan
sistem muskoloskletal
Edema perifer, nyeri tungkai
sistem reproduksi
i. Pemeriksaan penunjang
1. EKG
Kelainan EKG lebih penting dari pada pemeriksaan fisik. Didapatkan gelombang Q abnormal, elevasi segmen ST dan gelombang T terbalik.
2. Laboratorium
Laju Endap Darah Meningggi, lekositosis, kadar protein C-Reaktif meninggi, kadar SGOT dan LDH (Lactic Dehydrogenase) meinggi, maksimal 1-2 hari setelah infark dan kemudian menurun hingga kahir minggu pertama, Alpha Deydrogenase bertahan lebih lama dalam darah.
3. Radiologi
4. Echocardiografi
5. Pemeriksaan radioisotop
Analisa Data
Data yang dikumpulkan dikelompokkan meliputi : data subyektif dan data obyektif kemudian dari data yang teridentifikasi masalah dan kemungkinan penyebab dapat ditentukan yang menjadi acuan untuk menentukan diagnosa keperawatan.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah tahap dari perumusan masalah yang menentukan masalah prioritas dari klien yang dirawat yang sekaligus menunjukkan tindakan prioritas sebagai perawat dalam mengahadapi kasus IMA
1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan jantung
2. Gangguan perfusi jaringan b.d penurunan kontraktilitas otot jantung
3. Anxietas/ketakutan (individu/keluarga) berhubungan dengan siatuasi yang tak dikenal, sifat kondisi yang dapat diperkirakan, takut akan kematian, efek negatif pada gaya hidup atau kemunginan disfungsi seksual.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan insufisensi oksigenasi untuk aktivitas kehidupan sehari-hari sekunder terhadap iskemia jaringan jantung, imobilisasi lama, narkotik atau obat-obatan.
5. Risiko terjadinya komplikasi berhubungan dengan inefektifitas penatalaksanaan regimen terapi, kondisi klien, pengobatan.

2. Perencanaan
Membuat rencana keperawatan dan menentukan pendekatan yang dugunakan untuk memecahkan masalah klien. Ada 3 tahap dalam fase perancanaan yaitu menetukan prioritas, menulis tujuan dan perencanan tindakan keperawatan.
Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan jantung
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan ½ jam klien merasa lebih enak/nyaman
Kriteria :
- Klien tampak tenanag (perilaku tidak gelisah), tidak menyeringai, skala nyeri 1-3
- Klien dapat bekerja sama dalam tindakan dan pengobatan
- Klien dapat menceritakan letak, faktor pencetus, gambaran nyeri
Rencana Tindakan
Rasional
a. Anjutkan klien untuk melaporkan episode nyeri pada petugas
b. Kolaborati dalam pemebrian analgetik dan dokumentasikan tingkat perkembangan nyeri
c. Anjurkan klien untuk bedrest

d. Atur lingkungan yang tenanga dan nyaman


e. Jelaskan penyebab dan kemungkinan faktor pencetus (fisik dan emosional)
f. Monitoring dengan pemeriksaan ECG selama episode nyeri


g. Jelaskan dan bantu dalam penghilangan nyeri seperi :
- perubahan posisi
- Distraksi (aktivitas dan latihan pernafasan)
- Masage
- Latihan relaksasi
a. Interevsni akut dapat mencegah iskemia atau cedera lebi berat
b. Nyeri berat, menetap, tidak menghilang dengan pemberian analgetik dapat mengidentifikasikan infark menetap.
c. Aktivitas meningkatkan kebutuhan oksigen yang dapat menimbulkan nyeri.
d. Stimulasi lingkungan dapat meningkatkan frekuensi jantung dan dapat menimbulkan hipoksia jarigan miokard, nyeri.
e. Penejelasan dengan tenang dapat mengurangi stres yang berhubungna dngen takut dan ketidaktahuan
f. Pemantauan jantung dapat membantu memebedakan varian angina akibat meluasnya infark
g. Tindakan ini dapat membantu mencegah rangsang neyri dari pusat otak yang lebih tinggi denga menggantikan rasangsang nyeri dengan rangsangan lain> relaksasi menurunkan ketegangan otot, menurunkan frekuensi jantung, dapat memperbaiki isi ssekuncup, dan meningkatkan indera kontrol klien terhadap nyeri.

Gangguan perfusi jaringan b.d penurunan kontraktilitas otot jantung
Tujuan : Setelah dirawat selama 3X 24 jam perfusi jaringan baik
Kriteria ;
- T : 120/80, N : 88X/mnt, Urine 40-50 cc/jam, pusing hilang
- suhu Akral hangat, merah dan kering
- Kapilary refill , 2 detik
Rencana Tindakan
Rasional
1. Berikan posisi syok dan observasi tanda-tanda syok
2. Observasi vital sign (N : T : S ) dan kapilarri refill setiap jam


3. Kolaborasi:
- Pemberian infus RL 28 tts/menit
- pemebrian oksigenasi


- Foto thorak

- EKG
- Lanoxin IV 1 ampul
- Lasix 1 ampul
- Observasi produksi urin dan balance cairan
- Periksan DL
1. Memenuhi kebutuhan perfusi otak dan jaringan
2. Untuk mengetahui fungsi jantung dalam upaya mengetahui lebih awal jika terjadi gaguann perfusi
3. RL untuk memenuhi kebutuhan cairan intra vaskuler, mengatasi jika terjadi asidosis mencegah kolaps vena.Untuk memastikan aanatomi jantung dan melihat adanya edema paru. Untuk melihat gambaran fungai jantung. Memperkuat kontraktilitas otot jantung Meningkatkan perfusi ginjal dan mengurangi odem. Melihat tingkat perfusi dengan menilai optimalisasi fungsi ginjal. Untuk melihat faktor-faktor predisposisi peningkatan fungsi metabolisme klliensehingga terjadi peningkatan kerja jantung.
Anxietas/ketakutan (individu/keluarga) berhubungan dengan siatuasi yang tak dikenal, sifat kondisi yang dapat diperkirakan, takut akan kematian, efek negatif pada gaya hidup atau kemunginan disfungsi seksual.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan dlam waktu 1 – 2 x 60 menit diharapkan klien adaptasi dengan kondisi dan cemas berkurang
Kriteria :
Ø Secara verbal dan non verbal klien mengerti tentang apa yang dijelaskan oleh perawat,
Ø Klien tampak lebih tenang dan itngkat ansietas tenang , skala cemas < 6
Ø Tanda vital dalam batas normal

Rencana Tindakan
Rasional
1. Bina Hubungan Saling Percaya dengan pasien dan keluarga


2. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaan terhadap kondisinya sekarang


3. Jelaskan kondisi dan proses perawatan kepada klien dan keluarganya




4. Berikan privacy dan lingkungan yang nyaman, perasaan tentang pemahaman dan empati, identifikasi dan dukung mekanisme koping
5. Ajak keluarga lkut serta membantu dan memberikan dukungan moril
Sikap perawat yang terbuka dapat mengurangi perasaan terancam saling percaya dan membantu memperluas dan menerima semua aspek diri klien
Pengungkapan memungkinkan untuk saling berbagi dan memberi kesempatan untuk memperbaiki konsep yang tidak benar.
Beberapa rasa takut didasari oleh informasi yang tidak akurat dan dapat dihilangkan dengan memberikan informasi akurat. Klien dengan anxietas berat atau panik tidak dapat menyerap pembelajaran.
Anxietas cendrung memperburuk masalah , menjebak klien pada lingkaran peningkatan anxiatas, tegang dan emosiaonal dan nyeri fisik.
Peran keluarga sangat penting dalam program therapy sebagai orang terdekat dan mengenal kepribadian klienMengarahkan mekanisme koping yang efektif untuk menghindari tindakan yang menyimpang

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan insufisensi oksigenasi untuk aktivitas kehidupan sehari-hari sekunder terhadap iskemia jaringan jantung, imobilisasi lama, narkotik atau obat-obatan.
Tujuan :
Setelah diberikan tindkaan keperawatan 2 hari klien dapat aterepenuhi kebutuhan AKS
Kriteria :
- Klien dapat mengidentifikasi faktor-fakrtor peningkatan bebean kejra jantung
- Respon fisiologis terhadap ativitas (nadi pernafasan, tekanan darah stabil) pada peningkatan aktivitas.
- Ada tingkat kemajuan aktivitas
Rencana Tindakan
Rasional
b. Tingkatkan aktivitya sklien secara bertahap :
- Susun ambulas yang diperbolhekan sesuai dengan kondisi dna kemampuannya
- Tingkatkan aktivitas perawatan diri
c. Monitor tanda-tanda vital
- Sebelum aktivitas (ambulasi, perawatan)
- Segera setelah aktivitas
- Setalh klien istirahat selama 3 menit
d. Monitor respons abnormal terhadap peningkatan aktivitas
e. Atur periode istirahat adekuat sesuai jadual harian
f. Beri reinforcement terhdap kemajuan aktivitasnya
g. Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan beri kesempatan klien sesuai dengan kemampuannya

a. Kemajuan aktivita sbertahap, diarahkan melalui toelrasni klien, emingkatkan fungsi fisiologis dan menurhkan hipoksia jaringna jantung.
b. Peningkatan frekuens jantung dan kekuatan nadi, peningkatan tekanan darah sistolik, dan pernafasan setelah 3 menit nadi harus kembali dalam 10 kali/menit dari frekuensi istirahat.
c. Respon abnormal meningkatan intoleransi terhadap peningkatan aktivitas.
d. Periode istirahat memberi kesemaptan tubuh untuk penggunaaan energi yang rendah
e. Memberikan pujian dan meningkatakn perilaku positif dan mengurangi frustasi karena ketergantungan.
f. Penghematan energi mencegah kebuthan oksigen melebihi tingkat yang dapat dipenuhi jantung.


Risiko terjadinya komplikasi berhubungan dengan inefektifitas penatalaksanaan regimen terapi, kondisi klien, pengobatan.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 minggu klien kembali dalam keadaan normal
Kriteria :
- Klien tampak membaik kondisinya
- Komplikasi minimal

Rencana Tindakan
Rasional
1. Monitor tanda dan gejala disritmia :
- frekuesni irama jantung abnormal, palpiatasi dan synkope
- gangguan hemodinamik, hipotensi
- kedaruaratan jantung (henti jantung)
2. Peratahankan terapi oksigen sesuai program

3. Monitor tanda dan gejala sok kardiogenik
- Takikardia, haluaran urin < 30 cc/jam
- Gelisah, agitasi, perubahan fuingsi mental
- Takipnea, penurunan nadi perifer, kulit dingin, pucat, atai sianotik
- MAP < 60 mmHg
4. Monitor tanda dan gejala gagal jantung kongestif dan penurunan jurah jantung :
- frekuensi jantung meningkat, nafas pendek dan meningkat
- bunyi nafas tambahan
- tekanan darah sistoleik menurun, peningkatan gallop S 3/S4
- Edema perifer, distensi leher
5. Monitor tanda dan gejala tromboembolism :
- nadi perifer menurun ,
- sianosis, nyeri tungkai
6. Monitor tanda dan gejala perikarditis
- nyeri dada perubahan pernafasan dan posisi
- gesekan perikardia;
- peningkatan suhu
- Perubahan segemen ST
7. Monitor tanda dan gejala berulangnya IM ;
- nyeri dada hebat
- peningkat dyspneu
- Peneingkatan ST elevasi dan gelombang Q abnomral pada ECG
8. Monito gejala dan tanda ruptur jantung
- Huipotensi, distensi leher, takikardia
- pulsus paradoks
9. Kolaboratif :
- pengobatan Vasodilatsi, antiangina, beta bloker, analegetik, sedatfi, hipnotik
- Teapi intravena, pemberian cairan dan obat
- Pemeriksaan lab, Enzim jantung, elektrolit, SDP, LED, Kimia darah
- Pemeriksaan diagnostik, ECG, Ekokardiogram
- Oksigenasi
1. Iskemia jringan mengakibatkan tidak stabil secara elektrik menyebabkan disritmia, seperti kontraksi ventrikel premtaur yang meninbulkan fibrilasi ventirkel dan kematian. Disritmia akibat reperfusi jaringan iskemia sekunder trombolitik.
2. Terapi suplemen oksigen meningkatkan sediaan oksigen sirkulasi pada jaringan miokard
3. Syok kardiogenik terjadi karena kehilangan /kerusakan miokard, penurunan isi sekuncup dan jurah jantung.


4. Gagal jantung kongestif disebabkan IM, yang menurunkan kemampuan ventrikel kiri untuk memompa darah, sehingga menurunkan curah jantung dan meningkatkan kongesti pulmonal.





5. Tirah baring lama meingkatakan viskositas dan koagulbilitas darah dan penurunan curah jantung menunjang pembentukan trombus.
6. Kerusakan pada epicardium menyebabkan menjadi kasar, yang cenderung mengiritasi dan menginflamasi jantung.



7. Tamponade jantung terjadi akibat akumulasi kelebihan cairan pada spasium perikardial yang menyebabkan keruskan fungsi jantung dan penurunan curah jantung.

6. Pelaksanaan.
Pelaksanaan merupakan realisasi dari rencana keperawatan yang merupakan bentuk riil yang dinamakan implementasi, dalam implementasi ini haruslah dicatat semua tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap klien dan setiap melakukan tindakan harus didokumentasikan sebagai data yang menentukan saat evaluasi.

7. Evaluasi
Evaluasi adalaha merupakan tahapa akhir dari pelaksaan proses keperawatan dan asuhan keperawatan evaluasi ini dicatatat dalam kolom evaluasi dengana membandingkan data aterakhir dengan dengan data awal yang juga kita harus mencatat perkembangan pasien dalam kolom catatan perkembangan.

Daftar pustaka

Marini L. Paul (1991) ICU Book, Lea & Febriger, Philadelpia

Tabrani (1998), Agenda Gawat Darurat, Pembina Ilmu, Bandung

Carpenitto (1997) Nursing Diagnosis, J.B Lippincott, Philadelpia

Hudack & Galo (1996), Perawatan Kritis; Pendekatan Holistik, EGC , Jakarta

PA FKUA. 1994. Paket Kuliah Patologi 2. FKUA. Surabaya - Indonesia

Sylvia, 1996. Patofisologi. EGC. Jakarta

Askep Stenosis Mitral

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN STENOSIS MITRAL

I. Pengertian : Penyakit pada daun katup mitral. Insiden tertinggi penyakit katup adalah pada katup mitralis, diikuti oleh katup aorta.
II. Etiologi
Secara etiologis stenosis metral dibagi atas rematik (> 90%) dan non rematik. Stenosis metral rematik berasal dari demam rematik, suatu peradangan non supratif pada berbagai jaringan tubuh dengan berbagai manifestasinya, misalnya : jantung (Karditis) dan otak (Khorea). Dinegara yangs edang berkembang (termasuk Indonesia) stenosis mitrals ebagian terjadi pada usia dibawah 20 tahun yang disebut sebagai juvenil mitral stenosis.

IV. Pemeriksaan fisik
Stenosis metral yang murni (isolated) dapat didengar bising meddiastolikyang bersifat kasar, bising menggenderang (Rumble), Aksentuasi presistolik dan bunyi jantung satu yang mengeras. Jika terdengar bunyi tambahan opening snap berarti katup masih relatif lemas (pliable) sehingga waktu terbuka mendadak saat distole menimbulkan bunyi yang menyentak (seperti tali putus). Jarak bunyi jantung dua dengan opening snap memberikan gambaran beratnya stenosis. Makin pendek jarak ini berarti makin berat derajat penyempitannya.
Komponen pulmunal bunyi jantung kedua dapat mengeras disertai bising sistolik karena adanya hipertensi pulmunal. jika sudah terjadi insufisiensi pulmunal maka dapat terdengar bising diastolik dini dari katup pulmunal.
V. Pemeriksaan Diagnostik
Kateterisasi jantung : Gradien tekanan (pada distole) antara atrium kiri dan ventrikel kiri melewati katup mitral, penurununan orivisium katup (1,2 cm), peninggian tekanan atrium kiri, arteri pulmunal, dan ventrikel kanan ; penurunan curah jantung.
Ventrikulografi kiri : Digunakan untuk mendemontrasikan prolaps katup mitral.
ECG : Pembesaran atrium kiri ( P mitral berupa takik), hipertropi ventrikel kanan, fibrilasi atrium kronis.
Sinar X dada : Pembesaran ventrikel kanan dan atrium kiri, peningkatan vaskular, tanda-tanda kongesti/edema pulmunal.
Ekokardiogram : Dua dimensi dan ekokardiografi doppler dapat memastikan masalah katup. Pada stenosis mitral pembesaran atrium kiri, perubahan gerakan daun-daun katup.
VI. Manejemen Keperawatan
1. Pengkajian
Data Subyektif
1) Riwayat penyakit sekarang
a. Dyspnea atau orthopnea
b. Kelemahan fisik (lelah)
2) Riwayat medis
Adakah riwayat penyakit demam rematik/infeksi saluran pernafasan atas.
Data Obyektif
1) Gangguan mental : lemas, gelisah, tidak berdaya, lemah dan capek.
2) Gangguan perfusi perifer : Kulit pucat, lembab, sianosis, diaporesis.
3) Gangguan hemodenamik : tachycardia, bising mediastolik yang kasar, dan bunyi jantung satu yang mengeras, terdengar bunyi opening snap, mur-mur/S3, bunyi jantung dua dapat mengeras disertai bising sistole karena adanya hipertensi pulmunal, bunyi bising sistole dini dari katup pulmunal dapat terdengar jika sudah terjadi insufisiensi pulmunal, CVP, PAP, PCWP dapat meningkat, gambaran EKG dapat terlihat P mitral, fibrilasi artrial dan takikardia ventrikal.
4) Gangguan fungsi pulmunary : hyperpnea, orthopnea, crackles pada basal.

2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Timbul
a. Koping individu tidak efektif b/d krisis situasional; sistem pendukung tidak adekuat; metode koping tidak efektif.
b. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) b/d kurang pengetahuan; misinterpretasi informasi; keterbatasan kognitif; menyangkal diagnosa.
c. Perubahan penampilan peran b/d krisis situasional; proses penyembuhan; ragu-ragu akan masa depan.
d. Resiko kelebihan volume cairan b/d adanya perpindahan tekanan pada kongestif vena pulmonal; Penurunan perfusi organ (ginjal); peningaktan retensi natrium/air; peningakatn tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma (menyerap cairan dalam area interstitial/jaringan).
e. Resiko kerusakan pertukaran gas b/d perubahan membran kapiler-alveolus (perpindahan cairan ke dalam area interstitial/alveoli).
f. Pola nafas tidak efektif b/d penurunan ekspansi paru.
g. Ansietas b/d ancaman kehilangan/kematian; krisis situasional; ancaman terhadap konsep diri (citra diri).
h. Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan sirkulasi darah perifer; penghentian aliran arteri-vena; penurunan aktifitas.
i. Penurunan curah jantung b/d adanya hambatan aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri, adanya takikardi ventrikel, pemendekan fase distolik.
j. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d sesak napas.
k. Gangguan eleminasi urine b/d penurunan perfusi glomerulus; penurunan kardiak output.
l. Resiko kurang volume cairan tubuh b/d penurunan kardiak output; penurunan filtrasi glomerulus.
m. Intoleran aktifitas b/d adanya penurunan curah jantung, kongestif pulmunal.
n. Gangguan pemenuhan ADL b/d immobilisasi; kelemahan fisik.

3. Diagnosa Keperawatan Utama Yang Akan Dibahas
a. Penurunan curah jantung b/d adanya hambatan aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri, adanya takikardi ventrikel, pemendekan fase distolik
b. Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan sirkulasi darah perifer; penghentian aliran arteri-vena; penurunan aktifitas.
c. Intoleran aktifitas b/d adanya penurunan curah jantung, kongestif pulmunal.
d. Resiko kelebihan volume cairan b/d adanya perpindahan tekanan pada kongestif vena pulmonal; Penurunan perfusi organ (ginjal); peningaktan retensi natrium/air; peningakatn tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma (menyerap cairan dalam area interstitial/jaringan).
e. Resiko kerusakan pertukaran gas b/d perubahan membran kapiler-alveolus (perpindahan cairan ke dalam area interstitial/alveoli).
4. Rencana Intervensi dan Rasional
a. Penurunan curah jantung b/d adanya hambatan aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri, adanya takikardi ventrikel, pemendekan fase distolik.
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 hari, penurunan curah jantung dapat diminimalkan.
Kriteria hasil: Vital sign dalam batas normal, Gambaran ECG normal, bebas gejala gagal jantung, urine output adekuat 0,5-2 ml/kgBB, klien ikut serta dalam aktifitas yang mengurangi beban kerja jantung.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi
Rasional
· Kaji frekuensi nadi, RR, TD secara teratur setiap 4 jam.
· Catat bunyi jantung.

· Kaji perubahan warna kulit terhadap sianosis dan pucat.




· Pantau intake dan output setiap 24 jam.


· Batasi aktifitas secara adekuat.




· Berikan kondisi psikologis lingkungan yang tenang.
· Memonitor adanya perubahan sirkulasi jantung sedini mungkin.
· Mengetahui adanya perubahan irama jantung.
· Pucat menunjukkan adanya penurunan perfusi perifer terhadap tidak adekuatnya curah jantung. Sianosis terjadi sebagai akibat adanya obstruksi aliran darah pada ventrikel.
· Ginjal berespon untuk menurunkna curah jantung dengan menahan produksi cairan dan natrium.
· Istirahat memadai diperlukan untuk memperbaiki efisiensi kontraksi jantung dan menurunkan komsumsi O2 dan kerja berlebihan.
· Stres emosi menghasilkan vasokontriksi yang meningkatkan TD dan meningkatkan kerja jantung.

b. Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan sirkulasi darah perifer; penghentian aliran arteri-vena; penurunan aktifitas.
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 hari perfusi jaringan adekuat.
Kriteria hasil: vital sign dalam batas yang dapat diterima, intake output seimbang, akral teraba hangat, sianosis (-), nadi perifer kuat, pasien sadar/terorientasi, tidak ada oedem, bebas nyeri/ketidaknyamanan.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi
Rasional
· Monitor perubahan tiba-tiba atau gangguan mental kontinu (camas, bingung, letargi, pinsan).

· Observasi adanya pucat, sianosis, belang, kulit dingin/lembab, catat kekuatan nadi perifer.

· Kaji tanda Homan (nyeri pada betis dengan posisi dorsofleksi), eritema, edema.
· Dorong latihan kaki aktif/pasif.



· Pantau pernafasan.




· Kaji fungsi GI, catat anoreksia, penurunan bising usus, mual/muntah, distensi abdomen, konstipasi.

· Pantau masukan dan perubahan keluaran urine.

· Perfusi serebral secara langsung berhubungan dengan curah jantung, dipengaruhi oleh elektrolit/variasi asam basa, hipoksia atau emboli sistemik.
· Vasokonstriksi sistemik diakibatkan oleh penurunan curah jantung mungkin dibuktikan oleh penurunan perfusi kulit dan penurunan nadi.
· Indikator adanya trombosis vena dalam.

· Menurunkan stasis vena, meningkatkan aliran balik vena dan menurunkan resiko tromboplebitis.
· Pompa jantung gagal dapat mencetuskan distres pernafasan. Namun dispnea tiba-tiba/berlanjut menunjukkan komplikasi tromboemboli paru.
· Penurunan aliran darah ke mesentrika dapat mengakibatkan disfungsi GI, contoh kehilangan peristaltik.

· Penurunan pemasukan/mual terus-menerus dapat mengakibatkan penurunan volume sirkulasi, yang berdampak negatif pada perfusi dan organ.


c. Intoleran aktifitas b/d adanya penurunan curah jantung, kongestif pulmunal Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 hari, klien dapat beraktifitas sesuai batas toleransi yang dapat diukur.
Kriteria hasil: menunjukkan peningaktan dalam beraktifitas, dengan frekuensi jantung/irama dan TD dalam batas normal, kulit hangat, merah muda dan kering.

Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi
Rasional
· Kaji toleransi pasien terhadap aktifitas menggunakan parameter berikut: nadi 20/mnt di atas frek nadi istirahat, catat peningaktan TD, dispnea, nyeri dada, kelelahan berat, kelemahan, berkeringat, pusing atau pinsan.
· Tingkatkan istirahat dan batasi aktifitas.
· Batasi pengunjung atau kunjungan oleh pasien.


· Kaji kesiapan untuk meningaktkan aktifitas contoh: penurunan kelemahan/kelelahan, TD stabil/frek nadi, peningaktan perhatian pada aktifitas dan perawatan diri.
· Dorong memajukan aktifitas/toleransi perawatan diri.




· Berikan bantuan sesuai kebutuhan (makan, mandi, berpakaian, eleminasi).

· Anjurkan pasien menghindari


peningkatan tekanan abdomen, mnegejan saat defekasi.




· Jelaskan pola peningkatan bertahap dari aktifitas, contoh: posisi duduk ditempat tidur bila tidak pusing dan tidak ada nyeri, bangun dari tempat tidur, belajar berdiri dst.

· Parameter menunjukkan respon fisiologis pasien terhadap stres aktifitas dan indikator derajat penagruh kelebihan kerja jnatung.




· Menghindari terjadinya takikardi dan pemendekan fase distole.
· Pembicaraan yang panjang sangat mempengaruhi pasien, naum periode kunjungan yang tenang bersifat terapeutik.
· Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk menunjukkan tingkat aktifitas individu.



· Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktifitas dapat meningkatkan jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktifitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung.
· Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
· Aktifitas yang memerlukan


menahan nafas dan menunduk (manuver valsava) dapat mengakibatkan bradikardia, menurunkan curah jantung, takikardia dengan peningaktan TD.
· Aktifitas yang maju memberikan kontrol jantung, meningaktkan regangan dan mencegah aktifitas berlebihan.


d. Resiko kelebihan volume cairan b/d adanya perpindahan tekanan pada kongestif vena pulmonal, Penurunan perfusi organ (ginjal); peningaktan retensi natrium/air; peningakatn tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma (menyerap cairan dalam area interstitial/jaringan).
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 hari kelebihan volume cairan tidak terjadi.
Kriteria hasil: balance cairan masuk dan keluar, vital sign dalam batas yang dapat diterima, tanda-tanda edema tidak ada, suara nafas bersih.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi
Rasional
· Auskultasi bunyi nafas untuk adanya krekels.

· Catat adanya DVJ, adanya edema dependen.
· Ukur masukan/keluaran, catat penurunan pengeluaran, sifat konsentrasi. Hitung keseimbnagan cairan.




· Pertahankan pemasukan total cairan 2000 cc/24 jam dalam toleransi kardiovaskuler.

· Berikan diet rendah natrium/garam.
· Delegatif pemberian diiretik.
· Mengindikaiskan edema paru skunder akibat dekompensasi jantung.
· Dicurigai adanya gagal jantung kongestif.kelebihan volume cairan.
· Penurunan curah jantung mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi cairan/Na, dan penurunan keluaran urine. Keseimbangan cairan positif berulang pada adanya gejala lain menunjukkan klebihan volume/gagal jantung.
· Memenuhi kebutuhan cairan tubuh orang dewasa tetapi memerlukan pembatasan pada adanya dekompensasi jantung.
· Na meningkatkan retensi cairan dan harus dibatasi.
· Mungkin perlu untuk memperbaiki kelebihan cairan.

e. Resiko kerusakan pertukaran gas b/d perubahan membran kapiler-alveolus (perpindahan cairan ke dalam area interstitial/alveoli).
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 hari pertukaran gas adekuat.
Kriteria hasil: sianosis tidak ada, edema tidak ada, vital sign dalam batas dapat diterima, akral hangat, suara nafas bersih, oksimetri dalam rentang normal.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi
Rasional
· Auskultasi bunyi nafas, catat krekels, mengii.


· Anjurkan pasien batuk efektif, nafas dalam.
· Dorong perubahan posisi sering.

· Pertahankan posisi semifowler, sokong tangan dengan bantal.


· Pantau GDA (kolaborasi tim medis), nadi oksimetri.
· Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.


· Delegatif pemberian diuretik.
· Menyatakan adanya kongesti paru/pengumpulan sekret menunjukkan kebutuhan untuk intervensi lanjut.
· Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran oksigen.
· Membtau mencegah atelektasis dan pneumonia.

· Menurunkan komsumsi oksigen/kebutuhan dan meningkatkan ekspansi paru maksimal.
· Hipoksemia dapat menjadi berat selama edema paru.
· Meningkatkan konsentrasi oksigen alveolar, yang dapat memperbaiki/menurunkan hipoksemia jaringan.
· Menurunkan kongesti alveolar, meningkatkan pertukaran gas.



DAFTAR PUSTAKA

Arthur C. Guyton and John E. Hall ( 1997), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Marylin E. Doengoes, Mary Frances Moorhouse, Alice C. Geissler (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3, Peneribit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

LP Askep Pyielo Neprolithotomi Dextra


LAPORAN PENDAHULUAN

Asuhan Keperawatan Perioperatif pada Klien Dengan PyeloNeprolithotomi Dextra

1. Pengertian
Adanya batu (kalkuli) pada saluran perkemihan dalam ginjal, ureter, atau kandung kemih yang terdiri dari; yang membentuk kristal; kalsium, oksalat, fosfat, kalsium urat, asam urat dan magnesium.
Batu dapat menyebabkan obstruksi, infeksi atau oedema pada saluran perkemihan, kira-kira 75% dari semua batu yang terbentuk terdiri atas; kalsium
Faktor resiko batu ginjal meliputi; stasis perkemihan, infeksi saluran perkemihan, hiperparatiroidismem penyakit infeksi usus, gout, intake kalsium dan vit D berlebih, immobilitas lama dan dehidrasi.

2. Faktor –faktor yang mempengaruhi pembentukan batu;
a. Faktor Endogen
Faktor genetik, familial pada hypersistinuria, hiperkalsiuria dan hiperoksalouria
b. Faktor Eksogen
Faktor lingkungan, pekerjaan, makanan, infeksi dan kejenuhan mineral dalam air minum.

3. Faktor lain;
a. Infeksi
Infeksi saluran kencing dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal dan akan menjadi inti pembentukan batu saluran kencing . Infeksi bakteri akan memecah ureum dan membentuk amonium yang akan mengubah pH urine menjadi alkali.
b. Stasis dan Obstruksi urine
Adanya obstruksi dan stasis urine akan mempermudah infeksi saluran kencing.
c. Jenis kelamin
Pria lebih banyak dar ipada wanita
d. Ras
Batu saluran kencing lebih banyak ditemukan di Afrika dan Asia.
e. Keturunan
Annggota keluarga batu saluran kencing lebih banyak mempunyai kesempatan.
f. Air minum
Memperbanyak diuresis dengan cara banyak minum air akan mengurangi kemungkinan terbentuknya batu, sedangkan kurang minum menyebabkan kadar semua substansi dalam urine meningkat
g. Pekerjaan
Pekerja keras yang banyak bergerak mengurangi kemungkinan terbentuknya batu daripada pekerja yang lebih banyak duduk.
h. Suhu
Tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyak mengeluarkan keringat
i. Makanan
Masyarakat yang banyak mengkonsumsi protein hewani angka morbiditas BSk berkurang .Penduduk yang vegetarian yang kurang makan putih telur lebih sering menderita Batu Saluran Kencing (buli-buli dan Urethra)

4. Patogenesis
Sebagian besar batu saluran kencing adalah idiopatik, bersifat simptomatik ataupun asimptomatik.

5. Teori terbentuknya batu
a. Teori Intimatriks
Terbentuknya Batu Saluran Kencing memerlukan adanya substansi organik sebagai inti. Substansi ini terdiri dari mukopolisakarida dan mukoproptein A yang mempermudah kristalisasi dan agregasi substansi pembentukan batu.
b. Teori Supersaturasi
Terjadi kejenuhan substansi pembentuk batu dalam urine seperti; sistin, santin, asam urat, kalsium oksalat akan mempermudah terbentuknya batu.
c. Teori Presipitasi-Kristaliasi
Perubahan pH urine akan mempengaruhi solubilitas substasi dalam urine. Urine yang bersifat asam akan mengendap sistin, santin, asam dan garam urat, urine alkali akan mengendap garam-garam fosfat..
d. Teori Berkurangnya faktor penghambat
Berkurangnya faktor penghambat seperti peptid fosfat, pirofosfat polifosfat, sitrat magnesium, asam mukopolisakarida akan mempermudah terbentuknya Batu Saluran Kencing.

6. Pemeriksaan Diagnostik.
a. Urinalisa; warna mungkin kuning ,coklat gelap,berdarah,secara umum menunjukan Sel Darah Merah, Sel Darah Putih, kristal (sistin, asam urat, kalsium oksalat), ph asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat) alkali (meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat), urine 24 jam :kreatinin, asam urat kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin mungkin meningkat), kultur urine menunjukan Infeksi Saluran Kencing, BUN/kreatinin serum dan urine; abnormal (tinggi pada serum/rendah pada urine) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan iskemia/nekrosis.
b. Darah lengkap: Hb, Ht, abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia.
c. Hormon Paratyroid mungkin meningkat bila ada gagal ginjal (PTH. Merangsang reabsobsi kalsiumm dari tulang, meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urine.
d. Foto Rontgen; menunjukan adanya kalkuli atau perubahan anatomik pada area ginjal dan sepanjang ureter.
e. IVP.: memberukan konfirmasi cepat urolithiasis seperti penyebab nyeri, abdominal atau panggul.Menunjukan abnormalitas pada struktur anatomik (distensi ureter).
f. Sistoureterokopi;visualiasi kandung kemih dan ureter dapat menunjukan batu atau efek obstruksi.
g. USG ginjal: untuk menentukan perubahan obstruksi dan lokasi batu.

7. Penatalaksanaan;
a. Menghilangkan obstruksi
b. Mengobati infeksi
c. Menghilangkan rasa nyeri.
d. Mencegah terjadinya gagal ginjal dan mengurangi kemungkinan terjadinya rekurensi.
8. Komplikasi:
a. Infeksi
b. Obstruksi
c. Hidronephrosis.
1. Pendahuluan
Trauma bedah yang direncanakan, menimbulkan rentang respon fisiologis dan psikologis pada klien, tergantung pada individu dan pengalaman masa lalu yang unik, pola koping, kekuatan dan keterbatasan. Kebanyakan klien dan keluarganya memandang setiap tindakan bedah merupakan peristiwa besar dan mereka bereaksi dengan takut dan ansietas pada tingkat tertentu.

2. Pengertian Pyeloneprolithotomi
Pyeloneprolithotomi adalah tindakan pembedahan untuk mengeluarkan batu dari ginjal dan pyelum.

3. Pengertian Keperawatan Perioperatif
Keperawatan Perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tanggung jawab keperawatan yang berhubungan dengan fase-fase preoperatif, intraoperatif, pemulihan pascaanestesi dan pascabedah.
Sepanjang periode perioperatif, perawat menerapkan proses keperawatan untuk mengidentifikasi fungsi positip, perubahan fungsi, dan potensial perubahan fungsi pada klien. Adapun tanggung jawab keperawatan untuk masing-masing fase berfokus pada masalah kesehatan spesifik aktual atau resiko.

4. Fokus Asuhan Keperawatan Pada periode Perioperatif
1. Fase Preoperatif
a. Pengkajian Preoperatif
b. Penyuluhan Preoperatif
c. Persiapan untuk pindah ke ruang operasi
d. Dukungan orang terdekat
2. Fase Intraoperatif
a. Keamanan lingkungan
b. Kontrol Asepsis
c. Pemantauan fisiologis
d. Dukungan psikologis (prainduksi)
e. Pemindahan ke ruang pemulihan pascaanestesi
3. Fase Pemulihan Pascaanestesi
a. Pemantauan fisiologis (jantung, pernafasan, sirkulasi, ginjal dan neurologis )
b. Dukungan psikologis
c. Keamanan lingkungan
d. Tindakan kenyamanan
e. Stabilitas untuk pindah ke unit atau bangsal
4. Fase Pascaoperatif
a. Pemantauan fisiologis
b. Dukungan psikologis Tindakan kenyamanan
c. Dukungan orang terdekat
d. Keseimbangan fisiologis (nutrisi, cairan dan eliminasi)
e. Mobilisasi
f. Penyembuhan luka
g. Penyuluhan pulang.

Pengkajian Preoperatif Pyelonephrolithotomi
Meliputi : data umum, data dasar dan data fokus, yaitu ;
Pemahaman klien tentang kejadian
- Ahli bedah bertanggung jawab, untuk menjelaskan sifat operasi, semua pilihan alternatif, hasil yang diperkirakan dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi. Ahli bedah mendapatkan dua consent (ijin) satu untuk prosedur bedah dan satu untuk anestesi. Perawat bertanggung jawab untuk menentukan pemahaman klien tentang informasi, lalu memberitahu ahli bedah apakah diperlukan informasi lebih banyak (informed consent).

Kondisi akut dan kronis :
- Untuk mengkompensasi pengaruh trauma bedah dan anestesi, tubuh manusia membutuhkan fungsi pernafasan, sirkulasi, jantung, ginjal, hepar dan hematopoetik yang optimal. Setiap kondisi yang mengganggu fungsi sistem ini (misalnya: DM, gagal jantung kongestif, PPOM. Anemia, sirosuis, gagal ginjal) dapat mempengaruhi pemulihan. Disamping itu faktor lain, misalnya usia lanjut, kegemukan dan penyalahgunaan obat / alkohol membuat klien lebih rentan terhadap komplikasi.

Pengalaman bedah sebelumnya
- Perawat mengajukan pertanyaan spesifik pada klien tentang pengalaman pembedahan masa lalu. Informasi yang didapatkandigunakan untuk meningkatkan kenyamanan (fisik dan psikologis) untuk mencegah komplikasi serius.

Status Nutrisi
- Status nutrisi klien praoperatif secara langsung mempengaruhi responnya pada trauma pembedahan dan anestesi. Setelah terjadi luka besar, baik karena trauma atau bedah, tubuh harus membentuk dan memperbaiki jaringan serta melindungi diri dari infeksi. Untuk membantu proses ini, klien harus meningkatkan masukan protein dan karbohidrat dengan cukup untuk mencegah keseimbangan nitrogen negatif, hipoalbuminemia, dan penurunan berat badan. Status nutrisi merupakan akibat masukan tidak adekuat, mempengaruhi metabolik atau meningkatkan kebutuhan metabolik.

Status cairan dan elektrolit
- Klien dengan gangguan keseimbangan cairan dan elektolit cenderung mengalami shock, hipotensi, hipoksia, dan disritmia, baik pada intraoperatif dan pascaoperatif. Fluktuasi valume cairan merupakan akibat dari penurunan masukan cairan atau kehilangan cairan abnormal.

Status emosi.
- Respon klien, keluarga dan orang terdekat pada tindakan pembedahan yang direncanakan tergantung pada pengalaman masa lalu, strategi koping, signifikan pembedahan dan sistem pendukung.
- Kebanyakan klien dengan pembedahan mengalami ancietas dan ketakutan yang disebabkan penatalaksanaan tindakan operasi, nyeri, dan immobilitas.

Diagnosa Keperawatan Preoperatif (persiapan untuk pindah ke ruang operasi)
Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang regimen penatalaksanaan tindakan operasi.

Rencana Keperawatan
Diagnosa Ansietas/takut berhubungan dengan situasi/lingkungan ruang premedikasi dan operasi
Tanda- tanda :
Subyektif :-Klien mengatakan semalam tidak bisa tidur/sering terbangun membayangkan operasi.
Klien menanyakan berapa lama saya dioperasi.
Klien bertanya dimana ruang operasinya.
Obyektif :-Ekspresi wajah tegang, nadi meningkat, tekanan darah meningkat/turun, keluar keringat dingin, jantung berdebar-debar.
Kreteria hasil :
Ekspresi Wajah rileks.
Berpartisipasi pada prosedur keperawatan.
Mampu mengungkapkan perasaannya.
Menyatakan penurunan ansietas/takut.

Intervensi
Rasional
Mandiri :
1. Kaji tingkat kecemasan klien

2. Berikan penentraman hati dan tindakan kenyamanan:
a. Temani klien selama di ruang premedikasi
b. Berikan kesempatan pada klien mengungkapkan perasaannya
c. Kenalkan kembali pada kenyataan yang ada
d. Kurangi stimulus sensori
e. Ajak klien untuk mengadakan pendekatan spritual sesuai dengan kemampuan dan situasi
f. Perjelas informasi dokter tentang rencana tindakan operasi dan kemungkinan-kemungkinannya.
g. Orientasikan klien pada ruang operasi dan peralatannya.
h. Minimalkan keributan/lalu lalang
i. Tinggal dengan pasien selama induksi
j. Tunjukan perhatian /sikap mendukung
k. Tetap matikan lampu sampai pasien tertidur
l. Lanjutkan pemantauan psikologis
m. Catat respon yang tak terduga
n. Lepaskan gigi palsu/kaca mata/alat bantu dengar di ruang operasi.
o. Kolaborasi, pemberian anti ansietas


Tingkat kecemasan sebagai dasar perencanaan perawatan
Mengurangi rasa takut

Mengurangi kecemasan

Eksplorasi perasaan dapat mengurangi ketegangan
Suport untuk koping yang positip

Mengurangi ketegangan
Menenangkan jiwa


Meyakinkan klien sekaligus menerima secara realistis

Mengurangi ketakutan/kecemasan.

Mengurangi kecemasan
Mengurangi kecemasan.

Menjaga keamanan

Memberi kepercayaan kepada klien.

Memberi ketenangan
Antisipasi terhadap perubahan psikologis
Menjaga keamanan

Mengurangi kecemasan
Fase Intra Operatif
Pengelolaan Keamanan:
a. Jaminan penghitungan kasa, jarum, instrumen dan alat lain, cocok untuk pemakaian.
b. Mengatur posisi pasien
- Posisi fungsional
- Membuka daerah untuk operasi
- Mempertahankan posisi selama prosedur.

c. Memasang alat grounding
d. Menyiapkan bantuan fisik

Pemantauan fisiologis
a. Mengkalkulasi pengaruh terhadap pasien akibat kekurangan cairan
b. Membandingkan data normal dan abnormal dari cardiopulmonal.
c. Melaporkan perubahan-perubahan tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah dan RR.)

Pemantauan psikologi sebelum induksi dan bila pasien sadar
a. Menyiapkan bantuan emosional
b. Melanjutkan observasi status emosional
c. Mengkomunikasikan status emosional pasien kepada anggota tim.

Manajemen Keperawatan
a. Menyelamatkan keselamatan fisik pasien.
b. Mempertahankan aseptis pada lingkungan yang terkendali
c. Mengelola dengan efektif sumber daya manusia.

Anggota Tim Fase intraoperatif
a. Tim bedah utama steril
- Ahli bedah utama
- Asisten ahli bedah
- Perawat instrumentator.

b. Tim anestesi:
- Ahli anestesi atau pelaksana anestesi
- Circulating nurse
- Lain-lain (tehnisi, ahli aptologi dll.)

Tugas perawat instrumentator
a. Persiapan pengadaan bahan-bahan dan alat steril yang diperlukan untuk operasi.
b. Membantu ahli bedah dan asisten bedah waktu melakukan prosedur
c. Pendidikan bagi staf baru yang berkualifikasi bedah
d. Membantu jumlah kebutuhan jarum, pisau bedah, kasa atau instrumen yang diperlukan untuk prosedur, menurut jumlah yang biasa digunakan. Untuk pelaksanaan kegiatan yang efektif perawat instrumen harus memiliki pengetahuan tehnik aseptik yang baik, ketrampilan tangan dan ketangkasan, stamina fisik, tahan terhadap berbagai desakan, sangat menghayati kecermatan dan memperhitungkan prilaku yang menuntaskan asuhan pasien yang optimal.

Tugas Perawat Circulating
Perawat keliling memegang peranan dalam keseluruhan pengelolaan ruang operasi, perawat ini dipercaya untuk koordinasi semua aktivitas di dalam ruangan dan harus mengelola asuhan keperawatan yang diperluikan pasien.

Periode Pemulihan Pasca Anestesi
Trauma bedah dan anestesi mengganggu semua fungsi utama sistem tubuh, tetapi kebanyakan klien mempunyai kemampuan kompensasi untuk memulihkan homeostasis. Namun klien tertentu berisiko lebih tinggi untuk mengalami kompensasi tak efektif terhadap efek merugikan dari pembedahan dan anestesi pada jantung, sirkulasi, pernafasan dan fungsi lain.

Secara Umum Diagnosa Keperawatan yang muncul pada fase /periode pemulihan pasca anrestesi adalah :
a. Resiko terhadap aspirasi yang berhubungan dengan samnolen dan peningkatan sekresi sekunder terhadap intubasi.
b. Ansietas yang berhubungan dengan nyeri sekunder terhadap trauma pada jaringan dan syaraf.
c. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan samnolen sekunder terhadap anestesia
d. Resiko terhadap hipotermia yang berhubungan dengan pemaparan pada suhu ruang operasi yang dingin.

Kriteria umum syarat pasien dipindahkan dari ruang pemulihan pasca anestesi ke unit perawatan adalah sbb. :
a. Kemampuan memutar kepala
b. Ekstubasi dengan jalan nafas bersih.
c. Sadar, mudah terbangun.
d. Tanda-tanda vital stabil
e. Balutan kering dan utuh
f. Haluaran urine sedikitnya 30 ml/jam.
g. Drain, selang , jalur intravena paten dan berfungsi.
h. Persetujuan ahli anestesi untuk pindah ke ruangan.