Sabtu, 19 Juli 2008

Artikel Tentang Sunat Perempuan

Berawal dari komentar yang dituliskan oleh mas Adjie, akhirnya aku tergelitik juga untuk mencari literatur2 dan referensi yang berhubungan dengan sunat perempuan ini. Alhamdulillah, aku dapatkan juga sumber2 yang terkait. Setelah aku baca dan telaah, aku tuliskan dalam artikel berikut ini. Semoga berguna

Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, editor Abdul Azis Dahlan et al., Jakarta, 1997, Vol 3 pada sub bab Khitan diterangkan sebagai berikut: Khitan (berasal dari akar kata arab khatana-yakhtanu-khatnan = memotong). Secara terminologi pengertian khitan dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Imam al-Mawardi, ulama fikih Mahzab Syafi’I, khitan bagi laki-laki adalah memotong kulit yang menutupi ujung zakar, sehingga menjadi terbuka. Sedangkan khitan bagi perempuan adalah membuang bagian dalam faraj yaitu kelentit atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang vulva bagian atas kemaluan perempuan. Khitan bagi laki-laki dinamakan juga I’zar dan bagi perempuan disebut khafd. Namun keduanya lazim disebut khitan.
Dari berbagai literatur yg aku dapatkan, aku menemukan pendapat Imam Abu Hanifah mengenai berkhitan (sunat), yakni hukumnya sunat. Beliau berpedoman sebuah hadits yang bermaksud: “Berkhitan itu sunat bagi lelaki dan penghormatan bagi perempuan.” Referensi lain adalah hadits Abu Dawud, “bahwa Nabi Muhammad pernah berkata kepada seorang perempuan juru khitan anak perempuan, ‘sedikit sajalah dipotong, sebab hal itu menambah cantik wajahnya dan kehormatan bagi suaminya’”
Kaum feminis menentang hadits tersebut, dengan menyatakan bahwa sunat perempuan TIDAK DICANTUMKAN DENGAN JELAS DI AL QUR’AN. Adapun mengenai adanya (minimal) 2 hadits di atas (yang berarti merupakan sumber hukum kedua setelah Al Qur’an), juga ditolak dengan alasan sanad kurang kuat yang berakibat masing2 imam mazhab tidak memiliki kesepakatan.
Sebenarnya penolakan kaum feminis bisa dimengerti, jika kita melihat penyebab penolakan mereka.
Kaum feminis menolak sunat perempuan karena mereka berpedoman kepada sunat perempuan yang dilakukan di Afrika yang biasanya memotong atau menggunting seluruh klitoris dan menjahit bibir besar, hanya menyisakan sedikit lubang untuk kencing saja. Proses sunat seperti ini akan menghilangkan rangsangan seksual pada perempuan atau bahkan perempuan tersebut tidak dapat menikmati kehidupan seksualnya. Menurut kaum feminis, ini melanggar hak reproduksi kaum perempuan.
Sunat perempuan di Indonesia yang dilakukan oleh dokter atau bidan itu hanya melukai klitoris, tidak menggunting atau memotong klitoris. Menurut keterangan badan keluarga berencana Indonesia, sekarang hampir tidak pernah dilakukan lagi. Dari Kompas, aku dapatkan informasi bahwa sunat perempuan yang banyak dilakukan di Indonesia, umumnya dilakukan sangat sederhana: melukai sebagian kecil alat kelamin bagian dalam, bahkan kadang-kadang simbolis saja. Misalnya, sepotong kunyit diruncingkan kemudian ditorehkan pada klitoris anak. Namun, tak sedikit yang melakukannya dengan memakai pisau, gunting, dan jarum jahit.
Masih dari Kompas, di daerah tertentu di luar Jawa, ada yang menggunakan batu permata yang digosokkan ke bagian tertentu klitoris anak. Dengan demikian, tak dapat disangkal SP di Indonesia memang dipraktikkan. Pertanyaannya, seberapa jauh perlukaan akibat praktik itu secara medis dan psikologis mengganggu kesehatan perempuan. Studi yang memadai di bidang kesehatan medis masih perlu dilakukan.
Terlepas dari pertentangan yang dilakukan kaum feminis, keluargaku sendiri (Bapakku) menyunat semua anak-anaknya, laki-laki & perempuan. Untuk laki-laki, sunat dilakukan jika kami telah khatam Al Qur’an (untuk pertama kalinya). Biasanya berkisar umur 10-11 tahun (kelas 5-6SD). Sedangkan bagi perempuan, telah disunat sejak kecil (bayi).
Bagi anda yang mempunyai anak (perempuan), silakan menentukan sikap…apakah hendak melaksanakan contoh Rasululloh SAW atau tidak. Jika memang masih ragu, mungkin bisa menghubungi ulama/ustadz yang lebih berkompeten dari saya, hehehe..

SUNAT DAN PELANGGARAN HAK
Rasanya semakin tidak mudah menjadi perempuan muslimah di Indonesia. Berbagai kebijakan pemerintah di daerah bernuansa agama dikeluarkan untuk mengontrol dan mengekang ruang gerak mereka. Perempuan dicitrakan (kembali) sebagai penggoda dan sumber maksiat sehingga mereka harus ditutup rapat dan dilarang keluar rumah pada malam hari.
Keadilan dan kesetaraan jender yang banyak disebut dalam Al Quran dianggap sebagai keberhasilan Barat dalam melemahkan akidah kaum Muslim. Alasannya, hal itu menyebabkan banyak perempuan keluar rumah dan menjadi sumber pelacuran.
Sebersit angin segar bertiup ketika Menteri Kesehatan melarang sunat perempuan karena alasan kesehatan. Namun, angin segar itu ternyata tidak berembus lama. Dengan sigap seorang tokoh agama menyanggah dengan alasan itu disunatkan dalam hadis.
Barangkali hadis yang dimaksud adalah riwayat Abu Dawud dari Umi Atiyyah al-Ansariyyah yang berkata, di Madinah biasanya perempuan disunat. Nabi Muhammad SAW bersabda kepadanya, "Jangan dipotong terlalu banyak karena itu lebih baik bagi perempuan dan lebih diinginkan suami" (Kitab 41, hadis nomor 5251).
Hadis ini dianggap lemah oleh Abu Dawud sendiri dan diklasifikasi sebagai hadis mursal, yaitu hadis yang kehilangan mata rantai riwayat karena tidak ditemukan di antara para sahabat Nabi. Selain itu, hadis ini hanya ada dalam Abu Dawud dan tidak ada dalam kompilasi hadis terkemuka lainnya.
Oleh banyak kalangan Muslim, hadis ini dianggap rendah kredibilitasnya. Sayyid Sabiq, penulis kitab Fiqh-us-Sunnah, menyatakan semua hadis berkaitan dengan sunat perempuan tidak otentik. Muhammad Sayyid Tantawi, Syaikh Besar Al-Azhar di Mesir, mengatakan praktik sunat perempuan ini bukan Islami. Praktik ini dilarang Menteri Kesehatan Mesir pada tahun 1996.
Sunat perempuan banyak dipraktikkan oleh Muslim dan non-Muslim di wilayah Sub-Sahara Afrika, seperti Mesir, Sudan, Somalia, Etiopia, Kenya, dan Chad. Di Arab Saudi tradisi ini tak dipraktikkan. Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan lebih dari 100 juta perempuan mengalami pemotongan genital dalam berbagai bentuknya.
Alasan
Secara psikologis, sunat dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan sensitivitas jaringan di daerah genital, terutama klitoris, guna mengurangi gairah seks perempuan, menjaga keperawanan sebelum menikah, dan agar tetap setia dalam pernikahan.
Nawal El-Saadawi, dokter feminis Muslim dari Mesir yang menjadi korban infibulasi, dalam bukunya The Hidden Face of Eve: Women in the Arab World, mengaitkan sunat dengan anggapan masyarakat tentang pentingnya keperawanan dan utuhnya selaput dara. Dia membandingkan sunat perempuan dengan kastrasi atau pengebirian para kasim penjaga harem, yang membuat mereka tidak memiliki gairah seks.
Dampak langsung adalah rasa sakit, perdarahan, syok, tertahannya urine, serta luka pada jaringan sekitar. Perdarahan dan infeksi dapat mengakibatkan kematian. Dampak jangka panjang termasuk timbulnya kista dan abses, keloid dan cacat, rasa sakit saat hubungan seksual, disfungsi seksual, serta kesulitan saat melahirkan.
Dari sisi psikologi dan psikologi seksual, sunat dapat meninggalkan dampak seumur hidup. Perempuan dapat mengalami depresi, ketegangan, serta rasa rendah diri dan tidak sempurna.
Islam adalah agama yang menjaga integritas manusia, baik secara lahir maupun batin. Pemotongan organ tubuh melanggar integritas ini dan merendahkan ciptaan Allah yang dipandang sempurna dan tidak perlu disempurnakan lagi. Tidak ada perintah dalam Al Quran atau hadis agar klitoris dipotong atau dimodifikasi. Itu adalah ciptaan Allah dan karenanya tidak boleh dipotong atau dikurangi ukuran maupun fungsinya.
Kenikmatan seksual merupakan hak kedua belah pihak, istri dan suami. Ayat 187 dari Al-Baqarah menyatakan, "istri dan suami seperti pakaian satu sama lain, saling melengkapi dan saling mengisi". Juga Ar-Rum 30:21 menyatakan "Allah telah menjadikan cinta dan kasih sayang di antara keduanya". Sunat perempuan merupakan pelanggaran hak perempuan karena menghapus kenikmatan yang merupakan karunia Allah.
Dalam bentuk apa pun, sunat telah ada jauh sebelum Islam; dipraktikkan pada zaman jahiliyah dan zaman Nabi SAW oleh suku-suku tertentu. Sebagai tradisi yang sudah ada jauh sebelumnya, sunat tidaklah diperkenalkan oleh Islam. Al Quran tidak menyebut tentang sunat, baik untuk lelaki maupun perempuan. Yang ada dalam Al Quran adalah ajaran tentang hubungan seks dalam pernikahan yang merupakan kenikmatan bersama sebagai karunia Allah. Banyak pula hadis yang menekankan pentingnya memberi dan memperoleh kesenangan dari keintiman istri dan suami.
Memotong genital perempuan dengan nama Islam adalah pelanggaran terhadap ajaran Islam sendiri. Karena itu, tradisi budaya ini mesti dihentikan karena dampaknya merugikan perempuan.
http://situs.kesrepro.info/gendervaw/okt/2006/gendervaw01.htm
"Hentikan medikalisasi sunat perempuan". Sunat terhadap anak perempuan, terutama yang merusak organ reproduksi, merupakan suatu tindakan kekerasan terhadap perempuan. Karena itu, Kantor Menneg Pemberdayaan Perempuan mendukung semua usaha untuk menghapus pelaksanaan sunat perempuan> Menneg Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta Swasono dalam lokakarya Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan terhadap Perempuan berkaitan dengan praktik sunat perempuan, juga sangat berharap Depkes menerbitkan larangan bagi petugas medis/paramedis, termasuk fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta, untuk tidak melakukan medikalisasi sunat pada perempuan. Sementara Menkes dalam sambutan tertulisnya, sunat perempuan tidak pernah ada dalam standar pelayanan kesehatan. (Hr. Kompas 1/6/05)
MEDIKALISASI KHITAN PADA PEREMPUAN
Bila terjadi kontroversi seputar sirkumsisi pada anak/bayi laki-laki, nampaknya semua mudah sepakat tentang sunat pada bayi perempuan. Pada beberapa komunitas, dilakukan praktek sunat perempuan yang diserupakan dengan sirkumsisi pada laki-laki. Karena klitoris merupakan "kembaran" penis, maka kulit di sekitar klitoris juga harus dibuang, seperti membuang preputium. Bahkan ada yang sampai memotong klitorisnya itu sendiri.

WHO mencatat ada 4 tipe female genital mutilation. Tindakan "memotong kulit di sekitar klitoris" (yang sejenis dengan preputium pada penis) merupakan tipe paling ringan. Sulit dibayangkan bagaimana kondisi dari tipe-tipe yang lebih berat.

Tindakan ini tidak dikenal sama sekali dalam dunia medis. Pemotongan atau pengirisan kulit sekitar klitoris apalagi klitorisnya sangat merugikan. Tidak ada indikasi medis untuk mendasarinya. Seorang bidan di Jawa Barat pernah mengulas tentang hal ini karena menemukan bekas-bekasnya pada pasiennya. Kenyataannya memang ada kelompok yang meyakini bahwa anak perempuan pun diwajibkan menjalani khitan. Dan praktek tersebut dilakukan juga, bahkan di pusat-pusat pelayanan kesehatan.

Sekitar 1 tahun lalu, Kementrian Pemberdayaan Wanita mengeluarkan seruan untuk menghentikan medikalisasi sunat perempuan. Namun, saya memandang seruan ini harus dikaji secara komprehensif.

Praktek sunat pada perempuan (SP) sudah ada sejak jaman sebelum masehi. Penelitian anthropologi mendapatkan praktek tersebut pada mummi mesir yang justru ditemukan pada kalangan kaya dan berkuasa, bukan oleh rakyat jelata. Ahli antropologi menduga pada jaman kuno sunat untuk mencegah masuknya roh jahat melalui vagina.

Survei epidemiologi WHO menemukan beberapa alasan melakukan SP seperti identitas kesukuan, tahapan menuju wanita dewasa, pra-syarat sebelum menikah juga pemahaman seperti klitoris merupakan organ kotor, mengeluarkan sekret berbau, mencegah kesuburan atau menimbulkan impotensi bagi pasangannya. Banyak hal medis terkait dengan alasan FGM ini kemudian terbukti salah.

Sebagai dokter saya mendapati praktek SP bukan monopoli mereka yang “terbelakang”. Saat ini tidak sedikit keluarga muda, sarjana, bekerja dan hidup di perkotaan, justru bersemangat melakukannya terhadap anaknya, bahkan meski mereka sendiri di masa kecilnya tidak mengalaminya. Semangat menjalankan agama nampaknya berpengaruh dalam hal ini.

Menurut berita tersebut, medikalisasi harus dilarang meskipun filosofinya adalah mengurangi risiko kesehatan daripada dilakukan oleh bukan tenaga medis. Langkah ini dianggap berbahaya karena menggunakan peralatan seperti pisau, jarum dan gunting.

Memang, sekilas gambaran medikalisasi SP menakutkan karena penggunaan-penggunaan alat-alat seperti itu. Tetapi yang saya ketahui dan pernah baca di media, yang dilakukan adalah membuat perlukaan kecil pada daerah klitoris. Bahkan, banyak yang hanya mempraktekkan “sunat psikologis” dimana sekedar ditoreh sedikit dengan ujung jarum, keluar setetes darah, dan orang tua pasien sudah puas. Bahkan kadang, seperti yang juga saya lakukan selama bekerja di klinik Ibu-Anak dulu, hanya di”sandiwara”kan dengan meneteskan cairan antiseptik sewarna darah, yang sekaligus diteruskan dengan pembersihan daerah sekitar klitoris.

Perlu disadari, dalam hal ini kita berhadapan dengan orang tua yang merasa memiliki kewajiban untuk melakukan tindakan tersebut terhadap anaknya. Ketika ini sudah berkaitan dengan soal keyakinan agama, maka persoalannya tidak lagi sederhana, yang berujung pada perilaku kesehatan. Rasanya kita semua mengerti bahwa menghadapi masalah perilaku, tidak sekedar soal larang-melarang.

Yang menarik, sebenarnya tuntunan agama dalam hal ini pun menyebutkan "Sentuh sedikit saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian kenikmatan suami". Bukankah berarti menjadi cocok dengan pilihan para petugas medis yang hanya "menorehkan" sedikit luka tersebut? Dan bukankah berarti praktek yang sampai beberapa tipe tersebut sebenarnya tidak dilandasi pemahaman agama yang tepat?

Soal kesehatan reproduksi wanita ditonjolkan oleh kelompok “penentang” SP, tetapi bagaimana dengan makin maraknya body-piercing bahkan terhadap alat kelamin di kalangan wanita? Kalau soal hak menentukan pilihan sendiri yang berikutnya ditonjolkan, bukankah sunat perempuan pun merupakan pilihan sendiri sesuai keyakinannya? Bagaimana juga kalau dipertanyakan kewajiban negara untuk melindungi kebebasan warganya menjalankan keyakinan agamanya sebagai bagian dari hak asasi manusia?

WHO sendiri memang juga berpendapat tidak boleh ada praktek FGM oleh tenaga kesehatan. Tetapi European Journal of Obstetrics and Gynecology bulan Oktober 2004 lalu menganalisa bahwa usaha terbaik untuk mengatasi praktek sunat perempuan harus berupa pendekatan yang non-direktif, sesuai dengan kultur lokal dan dari banyak sisi (multi-factes).

Wujudnya berfokus pada peranan kelompok masyarakat itu sendiri dalam mensikapi praktek FGM, dengan muaranya adalah munculnya keputusan mandiri, bukan atas program dari luar.

Pengalaman di beberapa negara, pendekatan legal-formal secara direktif justru menimbulkan resistensi. Bisa dibayangkan kalau tenaga medis benar-benar dilarang “melayani” sunat perempuan, bukankah justru membuka lebih lebar peluang praktek secara “tradisional”.

Pengalaman di Kenya menunjukkan, justru melalui medikalisasi secara perlahan bisa dicapai pemahaman masyarakat yang lebih proporsional soal SP. Sebagian masyarakat memang tetap menganggapnya sebagai kewajiban, tetapi kepedulian terhadap risiko kesehatan membuat mereka lebih berhati-hati. Wujudnya dengan memilih tipe FGM yang berisiko minimal (tipe paling ringan atau sekedar sunat-psikologis), bahkan masih ditambah meminta injeksi anti-tetanus sebagai tindakan pencegahan.

Penggunaan jarum, pisau atau gunting oleh tenaga medis disamping prosedur tindakan yang memenuhi prinsip aseptik dan anti-septik, tidak bisa dibantah akan meminimalkan risiko kesehatan. Bukankah ini juga yang dikehendaki bersama?

Yang harus diatur, menurut penulis, justru tidak boleh ada praktek sunat perempuan bukan oleh tenaga yang tersertifikasi. Selanjutnya kepada tenaga medis diterbitkan aturan standar praktek sunat perempuan, dengan mengacu pada risiko minimal. Bukankah alasan ini pula yang mendasari sikap Depkes soal pengaturan tindakan aborsi?

Lebih jauh lagi, para tenaga medis bisa memberikan banyak penjelasan soal kesehatan reproduksi, terutama bagi wanita. Para orang tua lebih bisa menerima penjelasan ini, karena tenaga medis tidak harus menunjukkan “resistensi” terhadap keinginan mereka memenuhi kewajiban sunat bagi anaknya. Pengalaman di beberapa negara, kondisi positif seperti ini justru tidak bisa diperoleh kalau pelayanan sunat perempuan oleh tenaga medis di larang pemerintah. Bahkan tidak jarang usaha penyuluhan dianggap sebagai usaha merusak kebudayaan lokal.

Kita sebenarnya memiliki banyak pengalaman soal pendekatan yang culture-spesific misalnya mensikapi kebiasan footbinding (gedhong, bedhong) terhadap kaki bayi-bayi yang dulunya juga dilandasi soal “kemuliaan wanita”. Secara perlahan orang tua lebih proposional memandang kebiasaan tersebut dengan pemahaman yang tepat.

Sementara itu, pendekatan multi-facets harus melibatkan pihak-pihak seperti organisasi keagamaan, mengingat bagaimanapun itu alasan yang mendominasi praktek sunat perempuan di Indonesia, agar diperoleh kesamaan pandangan agama soal sunat perempuan. Kurikulum kesehatan reproduksi yang marak diusulkan juga wahana yang baik untuk mendidik pemahaman masyarakat.

Muara dari langkah tersebut, pada akhirnya masyarakat akan mampu membuat keputusan sendiri soal sunat perempuan. Dalam proses menuju kesana, tindakan seperti melarang tenaga medis melayani sunat perempuan, hanya akan menjadikan batu sandungan. Alih-alih mampu menghentikan, bukan tidak mungkin justru menjadi bumerang.
Tolak Sunat Perempuan

PERLU tidaknya perempuan disunat atau dikhitan, terus menjadi polemik.
Setelah Departemen Kesehatan menyatakan dari kacamata medis, sunat justru
menyakiti perempuan, Kementerian Peranan Perempuan melontarkan penolakan
secara keras terhadap tradisi itu.

"Tidak benar kalau sunat perempuan itu merupakan kewajiban agama. Kami
menilai itu bukan kultur kita. Kalau sunat untuk anak laki-laki itu boleh.
Sebaliknya untuk perempuan, itu justru menyakitkan jika dilihat dari
kacamata medis,"ujar Menneg Peranan Perempuan, Meutia Hatta di Jakarta, Rabu
(27/9).

Dijelaskannya, sunat bagi perempuan merupakan kebudayaan bangsa Mesir.
Namun, budaya itu tidak sepenuhnya diikuti oleh rakyat Mesir sendiri. "Tidak
semua orang Mesir melakukannya. Ini yang perlu diketahui. Itu merusak dan
kami sudah mengimbau agar perempuan tidak melakukannya.Itu mutilasi gaya
lokal, tubuh untuk tidak utuh lagi. Itu juga praktik kultur saja, bukan
ajaran agama," jelasnya.

Selain menyoroti masalah sunat perempuan, putri proklamator Bung Hatta ini
juga menyayangkan masih banyaknya perempuan yang hidupnya selalu teraniaya.
Bahkan, meski sudah bersuami, banyak perempuan dengan dalih kemiskinan,
diperdagangkan.

Tindak pidana ini dikategorikan sebagai tindak pidana transnasional yang
terorganisasi. Perdagangan orang telah memberikan dampak fisik, psikologis,
dan sosial yang berat bagi korban. "Terutama perempuan dan anak-anak yang
menderita luar biasa. Ini melanggar HAM dan secara tidak langsung telah
merendahkan martabat bangsa," ujarnya lagi.

Diakui Meutia, banyaknya kaum hawa yang diperjualbelikan disebabkan berbagai
faktor seperti ketergantungan, kemiskinan dan faktor kebodohan."Itu semua
karena pendidikan yang rendah. Kita sedang melakukan berbagai cara agar kaum
perempuan tidak lagi mengalami kekerasan. Meski ada juga laki-laki yang
dikerasi istrinya," ujarnya. JBP/
http://www.mail-archive.com/bumi-serpong@yahoogroups.com/msg01093.html

Tidak ada komentar: