Sabtu, 27 Juni 2009

ASKEP PERDARAHAN SALURAN CERNA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PERDARAHAN SALURAN CERNA


Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) merupakan salah satu kegawat daruratan yang banyak ditemukan di rumah sakit seluruh dunia. Perdarahan saluran cerna bagian atas merupakan salah satu indikasi perawatan di rumah sakit dan banyak menimbulkan kematian bila tidak ditangani dengan baik. Karena itulah diperlukan penatalaksanaan yang baik dan sistematis agar perdarahan SCBA tersebut tidak menimbulkan komplikasi yang berat sampai kematian. Penatalaksanaan perdarahan SCBA ini sangat tergantung dari penyebab perdarahan dan fasilitas yang ada di rumah sakit. Penyebab perdarahan SCBA di Indonesia berbeda dengan penyebab di negara-negara barat. Di Indonesia penyebab perdarahan SCBA terbanyak adalah pecah varises esofagus, sedangkan di negara barat penyebab perdarahan SCBA terbanyak adalah tukak peptik.
Penyebab perdarahan SCBA sebenarnya terbagi atas pecah varises esofagus dan non varises sepertai tukak peptik, gastritis erosif, tumor dan lain-lain. Kelainan SCBA non varises biasanya berhubungan dengan adanya infeksi Helicobacterpylori, obat anti inflamasi non steroid dan stres. Untuk pecah varises esofagus banyak modalitas pengobatan yang dapat dilakukan mulai dari konservatif (obat vasopresin, somatosatin dan lain-lain), tindakan endoskopik (skleroterapi, ligasi) dan pembedahan, akan tetapi sampai sekarang yang lebih bermanfaat secara evidence base adalah tindakan endoskopik. Penatalaksanaan perdarahan akibat tukak peptik masih memiliki rekurensi 15-20% dan mortalitas yang cukup tinggi. Selain tindakan endoskopi atau pembedahan sangat diperlukan obat-obatan antara lain penghambat sekresi asam lambung (seperti proton pump inhibitor/PPI) dan sitoprotektor (seperti sukralfate, tephrenone, rebamipide dan lain-lain)

A. Pengertian
Yang dimaksud dengan hematemesis adalah muntah darah hitam dari SCBA, dimana darah yang keluar bercampur dengan asam lambung. Melena adalah buang air besar darah hitam dari SCBA. Sedangkan hematokezia adalah buang air besar darah merah segar dari saluran cerna bagian bawah (SCBB). Pseudomelena adalah buang air besar berwarna hitam, tapi penyebab perdarahan berasal dari saluran cerna bagian bawah disebabkan darah terlalu lama di usus. Pseudohematokezia adalah buang air besar merah segar tapi disebabkan oleh perdarahan masif dari SCBA, dimana darah yang keluar tidak sempat bercampur dengan asam lambung. Saluran cerna bagian atas (SCBA) meliputi esofagus, gaster, duodenum, jejunum proksimal diatas ligamentum Treitz. Saluran cerna bagian bawah (SCBB) meliputi jejunum distal dibawah ligamentum TReitz, ileum, kolon, rektum dan anus.

B. Insiden
Dari penelitian retrospektif di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta selama 3 tahun (1996 – 1998) didapatkan penyebab perdarahan SCBA terbanyak adalah pecahnya varises esofagus (27.2%). Tukak duodenum dan tukak lambung menduduki tempat nomer 5 dan 6 sebagai penyebab perdarahan SCBA (lihat tabel 1).

C. Etiologi dan Patogenesis
Penyebab varises esofagus merupakan yang terbanyak di Indonesia, disebabkan oleh penyakit sirosis hati. Sirosis hati di Indonesia masih banyak disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B dan hepatitis C. Penyebab perdarahan non varises yang banyak di Indonesia yaitu gastritis erosif, tukak peptik. Gastritis erosif dan tukak peptik ini berhubungan dengan pemakaian obat anti inflamasi non steroid (OAINS), infeksi Helicobacter pylori dan stres.
Secara teoritis lengkap terjadinya penyakit atau kelainan saluran cerna bagian atas disebabkan oleh ketidak seimbangan faktor agresif dan faktor defensif, dimana faktor agresif meningkat atau faktor defensifnya menurun. Yang dimaksud dengan faktor agresif antara lain asam lambung, pepsin, refluks asam empedu, nikotin, obat anti inflamasi non steroid (OAINS), obat kortikosteroid, infeksi Helicobacter pylori dan faktor radikal bebas. Yang dimaksud dengan faktor defensif yaitu aliran darah mukosa yang baik, sel epitel permukaan mukosa yang utuh, prostaglandin, musin atau mukus yang cukup tebal, sekresi bikarbonat, motilitas yang normal, impermeabilitas mukosa terhadap ion H+ dan regulasi pH intra sel.

D. Tanda & Gejala
Gejala bisa berupa muntah darah (hematemesis), mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena), mengeluarkan darah dari rektum (hematoskezia). Tinja yang kehitaman biasanya merupakan akibat dari perdarahan di saluran pencernaan bagian atas, misalnya lambung atau usus dua belas jari. Warna hitam terjadi karena darah tercemar oleh asam lambung dan oleh pencernaan kuman selama beberapa jam sebelum keluar dari tubuh. Sekitar 200 gram darah dapat menghasilkan tinja yang berwarna kehitaman. Penderita dengan perdarahan jangka panjang, bisa menunjukkan gejala-gejala anemia, seperti mudah lelah, terlihat pucat, nyeri dada dan pusing. Jika terdapat gejala-gejala tersebut, dokter bisa mengetahui adanya penurunan abnormal tekanan darah, pada saat penderita berdiri setelah sebelumnya berbaring.
Tanda yang menunjukan adanya kehilangan darah yang serius adalah denyut nadi yang cepat, tekanan darah rendah dan berkurangnya pembentukan air kemih. Tangan dan kaki penderita juga akan teraba dingin dan basah. Berkurangnya aliran darah ke otak karena kehilangan darah, bisa menyebabkan bingung, disorientasi, rasa mengantuk dan bahkan syok. Gejala kehilangan darah yang serius bisa berbeda-beda, tergantung pada apakah penderita memiliki penyakit tertentu lainnya. Penderita dengan penyakit arteri koroner bisa tiba-tiba mengalami angina (nyeri dada) atau gejala-gejala dari suatu serangan jantung. Pada penderita perdarahan saluran pencernaan yang serius, gejala dari penyakit lainnya, seperti gagal jantung, tekanan darah tinggi, penyakit paru-paru dan gagal ginjal, bisa bertmbah buruk. Pada penderita penyakit hati, perdarahan ke dalam usus bisa menyebabkan pembentukan racun yang akan menimbulkan gejala seperti perubahan kepribadian, perubahan kesiagaan dan perubahan kemampuan mental (ensefalopati hepatik).

E. Prognosis
Dalam penatalaksanaan perdarahan SCBA banyak faktor yang berperan terhadap hasil pengobatan. Ada beberapa prediktor buruk dari perdarahan SCBA antara lain. umur diatas 60 tahun, adanya penyakit komorbid lain yang bersamaan, adanya hipotensi atau syok, adanya koagulopati, onset perdarahan di rumah sakit yang cepat, kebutuhan transfusi lebih dari 6 unit, tetap berlangsungnya perdarahan segar di lambung, perdarahan rekurens dari lesi yang sama. Setelah diobati dan berhenti, perdarahan SCBA dapat berulang lagi atau rekurens. Secara endoskopik ada beberapa gambaran endoskopik yang dapat memprediksi akan terjadinya perdarahan ulang antara lain tukak peptik dengan bekuan darah yang menutupi lesi, adanya visible vessel tak berdarah, perdarahan segar yang masih berlangsung.

F. Komplikasi
1. Stenosis pilorus-duodenum
2. perforasi
3. Tukak duodenum refrakter
4. Syok hipovolemik

G. Diagnosis Penyebab & Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas di lakukan dengan melakukan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisis yang baik dan teliti serta pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan esofagogastro-uoenoskopi. Anamnesis dilakukan bila hemodinamik pasien telah stabil dan memungkinkan, sehingga tidak mengganggu pengobatan emergensi yang harus dilakukan.
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan yaitu pemeriksaan darah rutin berupa hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, pemeriksaan hemostasis lengkap untuk mengetahui adanya kelainan hemostasis, pemeriksaan fungsi hati untuk menunjang adanya sirosis hati, pemeriksaan fungsi ginjal untuk menyingkirkan adanya penyakit gagal ginjal kronis, pemeriksaan adanya infeksi Helicobacter pylori dan lain-lain. Untuk memonitor perdarahan dapat dilakukan pemeriksaan hemoglobin, hematokrit trombosit secara berkala tiap 6 jam dan memasang selang nasogastrik dengan pembilasan tiap 6 jam. Dengan pemasangan selang nasogastrik kita juga dapat memastikan bahwa darah memang berasal dari saluran cerna bagian atas, walaupun tidak adanya darah melalui bilasan lambung belum menyingkirkan kalau sumber perdarahan dari saluran cerna bagian atas.
Pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi merupakan pemeriksaan penunjang yang paling penting karena dapat memastikan diagnosis pecahnya varises esofagus atau penyebab perdarahan lainnya dari esofagus, lambung dan duodenum. Penyebab perdarahan dapat disebabkan oleh satu atau lebih penyebab, sehingga dengan diketahui pasti penyebabnya maka penatalaksanaan dapat lebih optimal. Untuk rumah sakit-rumah sakit di daerah yang belum memiliki fasilitas endoskopi saluran cerna dapat memakai modalitas lain yaitu roentgen oesofagus-lambung-duodenum (OMD) walaupun tidak begitu sensitif.

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan perdarahan saluran cerna bagian atas dapat dibagi atas:
1. Penatalaksanaan umum atau suportif
Penatalaksanaan ini memperbaiki keadaan umum dan tanda vital. Yang paling penting pada pasien perdarahan SCBA adalah memberikan resusitasi pada waktu pertama kali datang ke rumah sakit. Kita harus secepatnya memasang infus untuk pemberian cairan kristaloid (seperti NaCL 0.9% dan lainnya) ataupun koloid (plasma expander) sambil menunggu darah dengan/tanpa komponen darah lainnya bila diperlukan. Selang nasogastrik perlu dipasang untuk memonitor apakah perdarahan memang berasal dari SCBA dan apakah masih aktif berdarah atau tidak dengan melakukan bilasan lambung tiap 6 jam sampai jernih.
Pasien harus diperiksa darah perifer (hemoglobin, hematokrit, leukosit dan trombosit) tiap 6 jam untuk memonitor aktifitas perdarahan. Sebaiknya bila dicurigai adanya kelainan pembekuan darah seperti Disseminated Intravascular Coagullation (DIC) dan lainnya, harus dilakukan pemeriksaan pembekuan darah seperti masa perdarahan, masa pembekuan, masa protrombin, APTT, masa trombin, Burr Cell, D dimmer dan lainnya. Bila terdapat kelainan pembekuan darah harus diobati sesuai kelainannya. Pada penderita dengan hipertensi portal dimana perdarahan disebabkan pecahnya varises esofagus dapat diberikan obat somatostatin atau oktreotide.
Pada perdarahan non varises yang masif, dapat juga diberikan somatostatin atau oktroetide tetapi jangka pendek 1-2 hari saja. Pada prinsipnya, urutan penatalaksanaan perdarahan SCBA dapat mengikuti anjuran algoritme penatalaksanaan dari Konsensus Nasional Indonesia atau Palmer atau Triadapafilopoulos.
Selain pengobatan pada pasien perdarahan perlu diperhatikan pemberian nutrisi yang optimal sesegera mungkin bila pasien sudah tidak perlu dipuasakan lagi , dan mengobati kelainan kejiwaan/psikis bila ada dan memberikan edukasi mengenai penyakit pada pasien dan keluarga misal memberi tahu mengenai penyebab perdarahan dan bagaimana cara-cara pencegahaan agar tidak mengalami perdarahan lagi.
2. Penatalaksanaan khusus
Penatalaksanaan khusus merupakan penatalaksanaan hemostatik perendoskopik atau terapi embolisasi arteri. Terapi hemostatik perendoskopik yang diberikan pada pecah varises esofagus yaitu tindakan skleroterapi varises perendoskopik (STE) dan ligasi varises perendoskopik (LVE). Pada perdarahan karena kelainan non varises, dilakukan suntikan adrenalin di sekitar tukak atau lesi dan dapat dilanjutkan dengan suntikan etoksi-sklerol atau obat fibrinogen-trombin atau dilakukan terapi koagulasi listrik atau koagulasi dengan heat probe atau terapi laser, atau koagulasi dengan bipolar probe atau yang paling baik yaitu hemostatik dengan terapi metal clip.
Bila pengobatan konservatif, hemostatik endoskopik gagal atau kelainan berasal dari usus halus dimana skop tak dapat masuk dapat dilakukan terapi embolisasi arteri yang memperdarahi daerah ulkus. Terapi ini dilakukan oleh dokter spesialis radiologi intervensional.
3. Usaha menghilangkan faktor agresif
Usaha yang diperlukan untuk menghilangkan faktor agresif pada perdarahan SCBA karena kelainan non varises antara lain :
a. Memperbaiki/menghindari faktor predisposisi atau risiko seperti gizi, stres, lingkungan, sosioekonomi
b. Menghindari/menghentikan paparan bahan atau zat yang agresif seperti asam, cuka, OAINS, rokok, kortikosteroid dan lainnya
c. Memberikan obat yang dapat mengurangi asam lambung seperti antasida, antimuskarinik, penghambat reseptor H2 (H2RA), penghambat pompa proton (PPI). PPI diberikan per injeksi bolus intra vena 2-3 kali 40 mg/hari atau bolus intra vena 80 mg dilanjutkan kontinu infus drip 8 mg/jam selama 12 jam kemudian intra vena 4 mg/jam sampai 5 hari atau sampai perdarahan berhenti lalu diganti oral 1-2 bulan. Alasan mengapa PPI diindikasikan pada perdarahan non varises, karena PPI dapat menaikkan pH diatas 6 sehingga menyebabkan bekuan darah yang terbentuk tetap stabil, tidak lisis
d. Memberikan obat eradikasi kuman Helicobacter pylori dapat berupa terapi tripel dan terapi kuadrupel selama 1- 2 minggu :
Terapi tripel :
1. PPI + amoksisilin + klaritromisin
2. PPI + metronidazol + klaritromisin
3. PPI + metronidazol + tetrasiklin
Terapi kuadrupel, bila tripel gagal :
1. Bismuth + PPI + amoksisilin + klaritromisin
2. Bismuth + PPI + metronidazol + klaritromisin
3. Bismuth + PPI + tetrasiklin + metronidazole (untuk daerah resistensi tinggi klaritromisin)
4. Usaha meningkatkan faktor defensif
Usaha ini dilakukan dengan memberikan obat-0bat yang meningkatkan faktor defensif selama 4 – 8 minggu antara lain :
a. Sukralfat 3 kali 500-1000 mg per hari
b. Cetraxate 4 kali 200 mg per hari
c. Bismuth subsitrat 2 kali 2 tablet per hari
d. Prostaglandin eksogen 2-3 kali 1 tablet per hari
e. Tephrenone 3 kali 50 mg per hari
f. Rebamipide 3 kali 100 mg per hari

5. Penatalaksanaan bedah/operatif
Penatalaksanaan bedah/operatif merupakan penatalaksanaan yang cukup penting bila penatalaksanaan konservatif dan khusus gagal atau memang sudah ada komplikasi yang merupakan indikasi pembedahan. Biasanya pembedahan dilakukan bila pasien masuk dalam :
a. Keadaan gawat I sampai II
b. Komplikasi stenosis pilorus-duodenum, perforasi, tukak duodenum refrakter
Yang dimaksud dengan gawat I adalah bila perdarahan SCBA dalam 8 jam pertama membutuhkan darah untuk transfusi sebanyak 2 liter, sedangkan gawat II adalah bila dalam 24 jam pertama setelah gawat I pasien masih membutuhkan darah untuk transfusi sebanyak 2 liter.




















REFERENSI
Hudak dan Galo. (1996). Keperawatan kritis: Pendekatan holistik. (Vol. II, edisi 6). Jakarta: EGC.
Lanros, N.E., dan Barber, J.M. (2000). Emergency nursing. (4th ed.). Stamford: Appleton & Lange.
Suparman. (1987). Ilmu penyakit dalam. (Jilid I, edisi kedua). Jakarta: Balai Penerbit FKUI
http://kegawatdaruratan.blogspot.com/2008/02/perdarahan-gastrointestinal-hematemisis.

http://www.medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=491

Tidak ada komentar: