Sabtu, 27 Juni 2009

RESPIRASI DISTRESS SYNDROM

RDS
(Respirasi Distsress Syndrome)


PENDAHULUAN
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur adalah Respiratory Distress Syndrome ( RDS ). Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500 gram.
Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan dan menurun sejak digunakan surfaktan eksogen ( Malloy & Freeman 2000). Saat ini RDS didapatkan kurang dari 6% dari seluruh neonatus.4,5 Defisiensi surfaktan diperkenalkan pertamakali oleh Avery dan Mead pada 1959 sebagai faktor penyebab terjadinya RDS. Penemuan surfaktan untuk RDS termasuk salah satu kemajuan di bidang kedokteran, karena pengobatan ini dapat mengurangi kebutuhan tekanan ventilator dan mengurangi konsentrasi oksigen yang tinggi. Hasil-hasil dari uji coba klinik penggunaan surfaktan buatan, surfaktan dari cairan amnion manusia, dan surfaktan dari sejenis lembu/bovine dapat dipertanggungjawabkan dan dimungkinkan. Surfaktan dapat diberikan sebagai pencegahan RDS maupun sebagai terapi penyakit pernapasan pada bayi yang disebabkan adanya defisiensi atau kerusakan surfaktan.





PERKEMBANGAN PARU NORMAL
Perkembangan paru normal dapat dibagi dalam beberapa tahap (tabel 1).

Selama tahap awal embryonik paru berkembang diluar dinding ventral dari primitive foregut endoderm. Sel epithel dari foregut endoderm bergerak di sekitar mesoderm yang merupakan struktur teratas dari saluran napas.
Selama tahap canalicular yang terjadi antara 16 dan 26 minggu di uterus, terjadi perkembangan lanjut dari saluran napas bagian bawah dan terjadi pembentukan acini primer. Struktur acinar terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolar, dan alveoli rudimenter. Perkembangan intracinar capillaries yang berada disekeliling mesenchyme, bergabung dengan perkembangan acinus. Lamellar bodies mengandung protein surfaktan dan fosfolipid dalam pneumocyte type II ,dapat ditemui dalam acinar tubulus pada stadium ini. Perbedaan antara pneumocyte tipe I terjadi bersama dengan barier alveolar-capillary. Fase saccular dimulai dengan ditandai adanya pelebaran jalan napas perifer yang merupakan dilatasi tubulus acinar dan penebalan dinding yang menghasilkan peningkatan pertukaran gas pada area permukaan. Lamellar bodies pada sel type II meningkat dan maturasi lebih lanjut terjadi dalam sel tipe I. Kapiler-kapiler sangat berhubungan dengan sel tipe I , sehingga akan terjadi penurunan jarak antara permukaan darah dan udara. Selama tahap alveolar dibentuk septa alveolar sekunder yang terjadi dari gestasi 36 minggu sampai 24 bulan setelah lahir. Septa sekunder terdiri dari penonjolan jaringan penghubung dan double capillary loop.
Terjadi perubahan bentuk dan maturasi alveoli yang ditandai dengan penebalan dinding alveoli dan dengan cara apoptosis mengubah bentuk dari double capillary loop menjadi single capillary loop . Selama fase ini terjadi proliferasi pada semua tipe sel . Sel-sel mesenchym berproliferasi dan menyimpan matrix ekstraseluler yang diperlukan. Sel-sel epithel khususnya pneumocytes tipe I dan II, jumlahnya meningkat pada dinding alveoli dan sel-sel endothel tumbuh dengan cepat dalam septa sekunder dengan cara pembentukan berulang secara berkelanjutan dari double capillary loop menjadi single capillary loop. Perkiraan jumlah alveolus pada saat lahir dengan menggunakan rentang antara 20 juta – 50 juta sudah mencukupi. Pada dewasa jumlahnya akan bertambah sampai sekitar 300 juta.

TES KEMATANGAN PARU
Tes yang dipercaya saat ini untuk menilai kematangan paru janin adalah Tes Kematangan Paru yang biasanya dilakukan pada bayi prematur yang mengancam jiwa untuk mencegah terjadinya Neonatal Respiratory Distress Syndrome (RDS). Tes tersebut diklasifikasikan sebagai tes biokimia dan biofisika.
a. Tes Biokimia (Lesithin - Sfingomyelin rasio)
Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru, dengan cara menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin dari cairan amnion. Tes ini pertama kali diperkenalkan oleh Gluck dkk tahun 1971, merupakan salah satu test yang sering digunakan dan sebagai standarisasi tes dibandingkan dengan tes yang lain. Rasio Lesithin dibandingkan Sfingomyelin ditentukan dengan thin-layer chromatography (TLC). Cairan amnion disentrifus dan dipisahkan dengan bpelarut organik, ditentukan dengan chromatography dua dimensi; titik lipid dapat dilihat dengan ditambahkan asam sulfur atau kontak dengan uap iodine. Kemudian dihitung rasio lesithin dibandingkan sfingomyelin dengan menentukan fosfor organic dari lesithin dan sfingomyelin. Sfingomyelin merupakan suatu membran lipid yang secara relatif merupakan komponen non spesifik dari cairan amnion. Gluck dkk menemukan bahwa L/S untuk kehamilan normal adalah < 0,5 pada saat gestasi 20 minggu dan meningkat secara bertahap pada level 1 pada usia gestasi 32 minggu. Rasio L/S = 2 dicapai pada usia gestasi 35 minggu dan secara empiris disebutkan bahwa Neonatal RDS sangat tidak mungkin terjadi bila rasio L/S > 2. Beberapa penulis telah melakukan pemeriksaan rasio L/S dengan hasil yang sama. Suatu studi yang bertujuan untuk mengevaluasi harga absolut rasio L/S bayi immatur dapat memprediksi perjalanan klinis dari neonatus tersebut dimana rasio L/S merupakan prediktor untuk kebutuhan dan lamanya pemberian bantuan pernapasan. Dengan melihat umur gestasi, ada korelasi terbalik yang signifikan antara rasio L/S dan lamanya hari pemberian bantuan pernapasan. Adanya mekonium dapat mempengaruhi hasil interpretasi dari tes ini. Pada studi yang dilakukan telah menemukan bahwa mekonium tidak mengandung lesithin atau sfingomyelin, tetapi mengandung suatu bahan yang tak teridentifikasi yang susunannya mirip lesithin, sehingga hasil rasio L/S meningkat palsu.
b. Test Biofisika :
1) Shake test diperkenalkan pertamakali oleh Clement pada tahun 1972. Test ini bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid yang membuat dan menjaga agar gelembung tetap stabil . Dengan mengocok cairan amnion yang dicampur ethanol akan terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari cairan amnion seperti protein, garam empedu dan asam lemak bebas. Pengenceran secara serial dari 1 ml cairan amnion dalam saline dengan 1 ml ethanol 95% dan dikocok dengan keras. Bila didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan amnion : ethanol) merupakan indikasi maturitas paru janin. Pada kehamilan normal, mempunyai nilai prediksi positip yang tepat dengan resiko yang kecil untuk terjadinya neonatal RDS .
2) TDX- Maturasi paru janin (FLM II) tes lainnya yang berdasarkan prinsip teknologi polarisasi fluoresen dengan menggunakan viscosimeter, yang mengukur mikroviskositas dari agregasi lipid dalam cairan amnion yaitu mengukur rasio surfaktan-albumin. Tes ini memanfaatkan ikatan kompetitif fluoresen pada albumin dan surfaktan dalam cairan amnion. Bila lompatan fluoresen kearah albumin maka jaring polarisasi nilainya tinggi, tetapi bila mengarah ke surfaktan maka nilainya rendah. Dalam cairan amnion, polarisasi fluoresen mengukur analisa pantulan secara otomatis rasio antara surfaktan dan albumin, yang mana hasilnya berhubungan dengan maturasi paru janin. Menurut referensi yang digunakan oleh Brigham and Women’s Hospital, dikatakan immatur bila rasio < 40 mg/dl; intermediet 40-59 mg/dl; dan matur bila lebih atau sama dengan 60 mg/dl. Bila terkontaminasi dengan darah atau mekonium dapat menggangu interpretasi hasil test.



RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak napas berat (dyspnea ), frekuensi napas meningkat (tachypnea ), sianosis yang menetap dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru, adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi.Sedangkan menurut Murray et.al (1988) disebut RDS bila ditemukan adanya kerusakan paru secara langsung dan tidak langsung, kerusakan paru ringan sampai sedang atau kerusakan yang berat dan adanya disfungsi organ non pulmonar.Definisi menurut Bernard et.al (1994) bila onset akut, ada infiltrat bilateral pada foto thorak, tekanan arteri pulmonal = 18mmHg dan tidak ada bukti secara klinik adanya hipertensi atrium kiri, adanya kerusakan paru akut dengan PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 300, adanya sindrom gawat napas akut yang ditandai PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 200, menyokong suatu RDS.
Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria. Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membran Disease (HMD) didapatkan pada 10% bayi prematur, yang disebabkan defisiensi surfaktan pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas. Gejala tersebut biasanya tampak segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan.Gejala klinis yang timbul yaitu : adanya sesak napas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/menit), pernapasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :
a. Stadium 1
Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara
b. Stadium 2
Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.



c. Stadium 3
Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas.
d. Stadium 4
Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat dilihat.

ETIOLOGI
Penyebab kelainan ini secara garis besar adalah kekurangan surfaktan, suatu zat aktif pada alveoli yang mencegah kolaps paru. PMH seringkali terjadi pada bayi prematur, karena produksi surfaktan, yang dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, baru mencapai jumlah cukup menjelang cukup bulan. Makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadinya PMH. Kelainan merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Adapun penyebab-penyebab lain yaitu:
1. Kelainan bawaan/kongenital jantung atau paru-paru.
Bila bayi mengalami sesak napas begitu lahir atau 1-2 hari kemudian, biasanya disebabkan adanya kelainan jantung atau paru-paru. Hal ini bisa terjadi pada bayi dengan riwayat kelahiran normal atau bermasalah, semisal karena ketuban pecah dini atau lahir prematur. Pada bayi prematur, sesak napas bisa terjadi karena adanya kekurangmatangan dari organ paru-paru. Paru-paru harusnya berfungsi saat bayi pertama kali menangis, sebab saat ia menangis, saat itu pulalah bayi mulai bernapas. Tapi pada bayi lahir prematur, karena saat itu organnya tidak siap, misalnya gelembung paru-paru tak bisa mekar atau membuka, sehingga udara tidak masuk. Itu sebabnya ia tak bisa menangis. Ini yang namanya penyakit respiratory distress syndrome (RDS). Tidak membukanya gelembung paru-paru tersebut karena ada suatu zat, surfactan, yang tak cukup sehingga gelembung paru-paru atau unit paru-paru yang terkecil yang seperti balon tidak membuka. Ibaratnya, seperti balon kempis. Gejala pada kelainan jantung bawaan adalah napas sesak. Ada juga yang misalnya sedang menyusui atau beraktivitas lainnya, mukanya jadi biru dan ia jadi pasif. Jadi, penyakitnya itu utamanya karena kelainan jantung dan secondary-nya karena masalah pernapasan. Jadi, biasanya sesak napas yang terjadi ini tidak bersifat mendadak. Walaupun demikian, tetap harus segera dibawa ke dokter.
2. Kelainan pada jalan napas/trakea.
Kelainan bawaan/kongenital ini pun paling banyak ditemui pada bayi. Gejalanya, napas sesak dan napas berbunyi "grok-grok". Kelainan ini terjadi karena adanya hubungan antara jalan napas dengan jalan makanan/esophagus. Kelainan ini dinamakan dengan trackeo esophageal fistula. Akibat kelainan itu,ada cairan lambung yang bisa masuk ke paru-paru. Tentunya ini berbahaya sekali. Sehingga pada usia berapa pun diketahuinya, harus segera dilakukan tindakan operasi. Tak mungkin bisa menunggu lama karena banyak cairan lambung bisa masuk ke paru-paru. Sebelum operasi pun dilakukan tindakan yang bisa menolong jiwanya, misal dengan dimasukkan selang ke jalan napas sehingga cairan dari lambung tak bisa masuk. Biasanya sesak napasnya tampak begitu waktu berjalan 1-3 jam setelah bayi lahir. Nah, bila ada sesak napas seperti ini, prosedur yang harus dilakukan adalah dilakukan foto rontgen segera untuk menganalisanya.
3. Tersedak air ketuban.
Ada juga penyakit-penyakit kelainan perinatologi yang didapat saat kelahiran. Karena suatu hal, misalnya stres pada janin, ketuban jadi keruh dan air ketuban ini masuk ke paru-paru bayi. Hal ini akan mengakibatkan kala lahir ia langsung tersedak. Bayi tersedak air ketuban akan ketahuan dari foto rontgen, yaitu ada bayangan "kotor". Biasanya ini diketahui pada bayi baru lahir yang ada riwayat tersedak, batuk, kemudian sesak napasnya makin lama makin berat. Itulah mengapa, pada bayi baru lahir kita harus intensif sekali menyedot lendir dari mulut, hidung atau tenggorokannya. Bahkan jika tersedak air ketubannya banyak atau massive, harus disedot dari paru-paru atau paru-parunya dicuci dengan alat bronchowash. Lain halnya kalau air ketubannya jernih dan tak banyak, tak jadi masalah. Namun kalau air ketubannya hijau dan berbau, harus disedot dan "dicuci" paru-parunya. Sebab, karena tersedak ini, ada sebagian paru-parunya yang tak bisa diisi udara/atelektasis atau tersumbat, sehingga menyebabkan udara tak bisa masuk. Akibatnya, jadi sesak napas. Biasanya kalau di-rontgen,bayangannya akan terlihat putih. Selain itu, karena tersumbat dan begitu hebat sesak napasnya,ada bagian paru-paru yang pecah/kempes/pneumotoraks. Ini tentu amat berbahaya. Apalagi kejadiannya bisa mendadak dan menimbulkan kematian. Karena itu bila sesak napas seperti ini, harus lekas dibawa ke dokter untuk mendapatkan alat bantu napas/ventilator.
4. Pembesaran kelenjar thymus.
Ada lagi napas sesak karena beberapa penyakit yang cukup merisaukan yang termasuk kelainan bawaan juga. Gejalanya tidak begitu kuat. Biasanya bayi-bayi ini pun lahir normal, tak ada kelainan, menangisnya pun kuat. Hanya saja napasnya seperti orang menggorok dan semakin lama makin keras, sampai suatu saat batuk dan berlendir. Kejadian ini lebih sering dianggap karena susu tertinggal di tenggorokan. Namun ibu yang sensitif biasanya akan membawa kembali bayinya ke dokter. Biasanya kemudian diperiksa dan diberi obat. Bila dalam waktu seminggu tak sembuh juga, baru dilakukan rontgen. Penyebabnya biasanya karena ada kelainan pada jalan napas, yaitu penyempitan trakea. Ini dikarenakan adanya pembesaran kelenjar thymus. Sebetulnya setiap orang punya kelenjar thymus. Kelenjar ini semasa dalam kandungan berfungsi untuk sistem kekebalan. Letaknya di rongga mediastinum (diantara dua paru-paru). Setelah lahir karena tidak berfungsi, maka kelenjar thymus akan menghilang dengan sendirinya. Namun adakalanya masih tersisa: ada yang kecil, ada juga yang besar; baik hanya satu atau bahkan keduanya. Nah, kelenjar thymus yang membesar ini akan menekan trakea. Akibatnya, trakea menyempit dan mengeluarkan lendir. Itu sebabnya napasnya berbunyi grok-grok dan keluar lendir, sehingga jadi batuk. Pengobatannya biasanya dilakukan dengan obat-obatan khusus untuk mengecilkan kelenjar thymus agar tidak menekan trakea. Pemberian obat dalam waktu 2 minggu. Kalau tak menghilang, diberikan lagi pengobatan selama seminggu. Sebab, jika tidak diobati, akan menganggu pertumbuhan si bayi. Berat badan tak naik-naik, pertumbuhannya kurang, dan harus banyak minum obat.
5. Kelainan pembuluh darah.
Ada lagi kelainan yang gejalanya seperti mendengkur atau napasnya bunyi (stridor), yang dinamakan dengan vascular ring. Yaitu,adanya pembuluh darah jantung yang berbentuk seperti cincin (double aortic arch) yang menekan jalan napas dan jalan makan. Jadi, begitu bayi lahir napasnya berbunyi stridor. Terlebih kalau ia menangis, bunyinya semakin keras dan jelas. Bahkan seringkali dibarengi dengan kelainan menelan, karena jalan makanan juga terganggu. Pemberian makanan yang agak keras pun akan menyebabkannya muntah, sehingga anak lebih sering menghindari makanan padat dan maunya susu saja. Pengobatannya, bila setelah dirontgen tidak ditemui kelenjar thymus yang membesar, akan diminta meminum barium untuk melihat apakah ada bagian jalan makan yang menyempit. Setelah diketahui, dilakukan tindakan operasi, yaitu memutuskan salah satu aortanya yang kecil.
6. Tersedak makanan.
Tersedak atau aspirasi ini pun bisa menyebabkan sesak napas. Bisa karena tersedak susu atau makanan lain, semisal kacang. Umumnya karena gigi mereka belum lengkap, sehingga kacang yang dikunyahnya tidak sampai halus. Kadang juga disebabkan mereka menangis kala mulutnya sedang penuh makanan. Atau ibu yang tidak berhati-hati kala menyusui, sehingga tiba-tiba bayinya muntah. Mungkin saja sisa muntahnya ada yang masih tertinggal di hidung atau tenggorokan. Bukankah setelah muntah, anak akan menangis? Saat menarik napas itulah, sisa makanan masuk ke paru-paru. Akibatnya, setelah tersedak anak batuk-batuk. Mungkin setelah batuk ia akan tenang, tapi setelah 1-2 hari napasnya mulai bunyi. Bahkan bisa juga kemudian terjadi peradangan dalam paru-paru. Anak bisa panas karena terjadi infeksi. Yang sering adalah napas berbunyi seperti asma dan banyak lendir. Biasanya setelah dilakukan rontgen akan diketahui adanya penyumbatan/atelektasis. Pengobatan dapat dilakukan dengan bronkoskopi, dengan mengambil cairan atau makanan yang menyumbatnya. Selain makanan, akan lebih berbahaya bila aspirasi terjadi karena minyak tanah atau bensin, meski hanya satu teguk. Ini bisa terjadi karena kecerobohan orang tua yang menyimpan minyak tanah/bensin di dalam botol bekas minuman dan menaruhnya sembarangan. Bahayanya bila tersedak minyak ini, gas yang dihasilkan minyak ini akan masuk ke lambung dan menguap, kemudian masuk ke paru-paru, sehingga bisa merusak paru-paru. Akan sangat berbahaya pula kalau dimuntahkan, karena akan langsung masuk ke paru-paru. Jadi, kalau ada anak yang minum minyak tanah/bensin jangan berusaha dimuntahkan, tapi segera ke dokter. Oleh dokter, paru-parunya akan "dicuci" dengan alat bronkoskop.
7. Infeksi.
Selain itu sesak napas pada bayi bisa terjadi karena penyakit infeksi. Bila anak mengalami ISPA (Infeksi saluran Pernapasan Akut) bagian atas, semisal flu harus ditangani dengan baik. Kalau tidak sembuh juga, misalnya dalam seminggu dan daya tahan anak sedang jelek, maka ISPA atas ini akan merembet ke ISPA bagian bawah, sehingga anak mengalami bronkitis, radang paru-paru, ataupun asmatik bronkitis. Gejalanya, anak gelisah, rewel, tak mau makan-minum, napas akan cepat, dan makin lama melemah. Biasanya juga disertai tubuh panas, sampai sekeliling bibir biru/sianosis, berarti pernapasannya terganggu. Penyebabnya ini akan diketahui dengan pemeriksaan dokter dan lebih jelasnya lagi dengan foto rontgen. Pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotika. Biasanya kalau bayi sudah terkena ISPA bawah harus dilakukan perawatan di rumah sakit. Setelah diobati,umumnya sesak napas akan hilang dan anak sembuh total tanpa meninggalkan sisa, kecuali bagi yang alergi.

PATOFISIOLOGI RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
Faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan kurangsempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25 % dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru tampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bagian distal menyebabkan edem interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan toksisitas oksigen, menyebabkan kerusakan pada endothelial dan epithelial sel jalan napas bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD). Gambaran radiologi tampak adanya retikulogranular karena atelektasis,dan air bronchogram.
Gejala klinis yang progresif dari RDS adalah :
- Takipnea diatas 60x/menit
- Grunting ekspiratoar
- Subcostal dan interkostal retraksi
- Cyanosis
- Nasal flaring
Pada bayi extremely premature ( berat badan lahir sangat rendah) mungkin dapat berlanjut apnea, dan atau hipotermi. Pada RDS yang tanpa komplikasi maka surfaktan akan tampak kembali dalam paru pada umur 36-48 jam. Gejala dapat memburuk secara bertahap pada 24-36 jam pertama. Selanjutnya bila kondisi stabil dalam 24 jam maka akan membaik dalam 60-72 jam. Dan sembuh pada akhir minggu pertama.

KOMPLIKASI
Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :
1. Ruptur alveoli
Bila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba2 memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat respirasi.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular
Perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
4. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
2. Retinopathy prematur
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.

FUNGSI SURFAKTAN
Pada tahun 1929 Von Neegard menyatakan bahwa tegangan permukaan paru lebih rendah dari cairan biologi normal karena menemukan adanya perbedaan elastisitas pada paru-paru yang terisi udara dan terisi larutan garam ( saline ). Disebutkan juga bahwa tegangan permukaan adalah lebih penting dari kekuatan elastisitas jaringan untuk kekuatan penarikan paru pada saat mengembang. Tegangan permukaan antara air-udara alveoli memberikan kekuatan penarikan melawan pengembangan paru. Rendahnya tegangan permukaan juga memastikan bahwa jaringan aliran cairan adalah dari ruang alveoli ke dalam intersisial. Kebocoran surfaktan menyebabkan akumulasi cairan ke dalam ruang alveoli. Surfaktan juga berperan dalam meningkatkan klirens mukosiliar dan mengeluarkan bahan particulate dari paru.

KOMPOSISI SURFAKTAN PARU
Surfaktan paru merupakan komplek lipoprotein yang disintesa dan disekresi oleh sel alveolar tipe II dan Clara sel di saluran napas pada lapisan epithel. Surfaktan paru merupakan senyawa komplek yang komposisinya hampir 90% adalah lipid dan 10% protein. Secara keseluruhan komposisi lipid dan fosfolipid dari surfaktan diisolasi dari bermacam-macam spesies binatang yang komposisinya hampir sama. Pada manusia phosphatidylcholine mengandung hampir 80% total lipid, yang separuhnya adalah dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), 8% lipid netral, dan 12% protein dimana sekitar separuhnya merupakan protein spesifik surfaktan dan sisanya protein dari plasma atau jaringan paru. Fosfolipid surfaktan terdiri dari 60% campuran saturated phosphatidylcholine yang 80% mengandung dipalmitoylphosphatidylcholine, 25% campuran unsaturated phosphatidylcholine, dan 15% phosphatidylglycerol dan phosphatidylinositol dan sejumlah kecil phosphatidylserine, phosphatidylethanolamine ,sphingomyeline, dan glycolipid. Fosfolipid saturasi ini merupakan komponen penting untuk menurunkan tegangan permukaan antara udara dan cairan pada alveolus untuk mencegah kolaps saluran napas pada waktu ekspirasi.

JENIS SURFAKTAN
Terdapat 2 jenis surfaktan , yaitu:
1. Surfaktan natural atau asli, yang berasal dari manusia, didapatkan dari cairan amnion sewaktu seksio sesar dari ibu dengan kehamilan cukup bulan
2. Surfaktan eksogen barasal dari sintetik dan biologik
3. Surfaktan eksogen sintetik terdiri dari campuran Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), hexadecanol, dan tyloxapol yaitu Exosurf dan Pulmactant ( ALEC) dibuat dari DPPC 70% dan Phosphatidylglycerol 30%, kedua surfaktan tersebut tidak lama d pasarkan di amerika dan eropa.2,5 Ada 2 jenis surfaktan sintetis yang sedang dikembangkan yaitu KL4 (sinapultide) dan rSPC ( Venticute),belum pernah ada penelitian tentang keduanya untuk digunakan pada bayi prematur.
4. Surfaktan eksogen semi sintetik, berasal dari campuran surfaktan paru anak sapi dengan dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), tripalmitin, dan palmitic misalnya Surfactant TA, Survanta
5. Surfaktan eksogen biologik yaitu surfaktan yang diambil dari paru anak sapi atau babi, misalnya Infasurf, Alveofact, BLES, sedangkan yang diambil dari paru babi adalah Curosurf
Saat ini ada 2 jenis surfaktan di Indonesia yaitu :
Exosurf neonatal yang dibuat secara sintetik dari DPPC , hexadecanol, dan tyloxapol. Surfanta dibuat dari paru anak sapi, dan mengandung protein, kelebihan surfanta biologi dibanding sintetik terletak di protein.

PEMBERIAN SURFAKTAN PADA BAYI PREMATUR DENGAN RESPIRATORY
DISTRESS SYNDROME

Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang diberikan pada bayi prematur dengan RDS. Sampai saat ini ada dua pilihan terapi surfaktan, yaitu natural surfaktan yang berasal dari hewan dan surfaktan sintetik bebas protein, dimana surfaktan natural secara klinik lebih efektif. Adanya perkembangan di bidang genetik dan biokimia, maka dikembangkan secara aktif surfaktan sintetik. Surfaktan paru merupakan pilihan terapi pada neonatus dengan RDS sejak awal tahun 1990 (Halliday,1997), dan merupakan campuran antara fosfolipid, lipid netral, dan protein yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan pada air-tissue interface . Semua surfaktan derifat binatang mengalami berbagai proses untuk mengeluarkan SP-A dan SP-D, menurunkan SP-B dan SP-C, dan merubah fosfolipid sehingga berbeda dengan surfaktan binatang.
Semua golongan surfaktan secara in vitro menurunkan tegangan permukaan, terutama terdapat pada surfaktan kombinasi protein, dapat menurunkan pemakaian kebutuhan oksigen dan ventilator dengan cepat. Pada suatu studi meta analisis yang membandingkan antara penggunaan surfaktan derifat binatang dengan surfaktan sintetik bebas protein pada 5500 bayi yang terdaftar dalam 16 penelitian random, 11 penelitian memberikan hasil yang signifikan bahwa surfaktan derifat binatang lebih banyak menurunkan angka kematian dan pneumothorak dibandingkan dengan surfaktan sintetik bebas protein Golongan derifat binatang yang sering digunakan pada meta-analisis adalah Survanta. Beberapa studi membandingkan efektifitas antara surfaktan derifat binatang, dan yang sering dibandingkan pada golongan ini adalah Survanta dan Curosurf . Penelitian di Inggris oleh Speer dkk (1995) yang membandingkan terapi Survanta dosis 100 mg/kg dan Curosurf dosis 200 mg/kg, pada bayi dengan RDS yang diberi terapi Curosurf 200 mg/kg memberikan hasil perbaikan gas darah dalam waktu 24 jam. Penelitian lain oleh Ramanathan dkk (2000) dengan dosis Curosurf 100 mg/kg dan 200 mg/kg dibandingkan dengan Survanta dosis 100mg/kg dengan parameter perbaikan gas darah menghasilkan perbaikan yang lebih baik dan cepat pada terapi Corosurf dengan kedua dosis tersebut, tetapi pada penelitian ini tidak didapatkan data yang lengkap pada jurnalnya. Data tentang penggunaan terapi surfaktan sintetik masih terbatas.

PROFILAKSIS SURFAKTAN DAN TERAPI
Berdasarkan penelitian,surfaktan merupakan terapi yang penting dalam menurunkan angka kematian dan angka kesakitan bayi prematur. Sampai saat ini masih ada perbedaan pendapat tentang waktu pemberian surfaktan, apakah segera setelah lahir (pada bayi prematur) atau setelah ada gejala Respiratory Distress Syndrome . Alasan yang dikemukakan sehubungan dengan pemberian profilaksis berhubungan dengan epithel paru pada bayi prematur akan mengalami kerusakan dalam beberapa menit setelah pemberian ventilasi. Hal ini menyebabkan kebocoran protein pada permukaan sehingga mengganggu fungsi surfaktan. Beberapa penelitian dengan binatang menyebutkan bahwa terapi surfaktan yang diberikan segera setelah lahir akan menurunkan derajat beratnya RDS dan kerusakan jalan napas, meningkatkan gas darah, fungsi paru dan kelangsungan hidup.
Beberapa percoban klinik menunjukkan bahwa terapi surfaktan untuk bayi prematur sangat bermanfaat dan aman. Sepuluh pusat penelitian dari ALEC menggunakan surfaktan sebagai terapi profilaksis, dan disebutkan terjadi penurunan insiden RDS sebanyak 30% dibandingkan kontrol dan menurunkan angka kematian sebasar 48% tanpa efek samping. Tidak mungkin bisa memprediksi bayi prematur yang akan terkena RDS atau tidak sehingga sejauh ini terapi surfaktan masih sangat bermanfaat. Rendahnya masa gestasi merupakan penyebab meningkatnya RDS, tetapi pada bayi dengan masa gestasi yang lebih tua dapat juga beresiko terkena RDS dan komplikasinya. Beberapa alasan yang dikemukakan tentang tidak diberikannya surfaktan pada saat bayi prematur lahir (sebagai profilaksis) karena dianggap memberikan surfaktan yang tidak perlu pada beberapa bayi yang tidak terkena RDS , disamping itu harganya mahal sehingga sebaiknya digunakan bila memang benar diperlukan. Beberapa uji coba klinik menyatakan bahwa pemberian surfaktan dini mungkin dapat membahayakan sehingga hanya diberikan pada RDS yang berat. Ada juga yang berpendapat bahwa pemberian surfaktan segera setelah bayi prematur lahir dapat mempengaruhi resusitasi dan stabilisasi bayi. Bila pemberian surfaktan sama efektifnya jika diberikan beberapa jam setelah lahir, maka pemberian surfaktan dini yaitu segera setelah lahir menjadi tidak relevan.
Cochrane meta analysis ( Soll and Morley, 2003 ) menyatakan bahwa yang
disebut terapi profilaksis bila surfaktan diberikan pada waktu pertolongan pertama
pada bayi prematur yang baru lahir melalui endotrakheal tube. Sedangkan sebagai terapi bila surfaktan diberikan beberapa jam setelah lahir atau setelah ada gejala RDS . Pemberian surfaktan profilaksis dapat menurunkan angka kematian, dan pneumothorax tetapi mempunyai efek yang ringan pada komplikasi yang lain pada bayi prematur. Yost dan Soll, 2003 menyatakan bahwa ada data yang menunjang tentang pemberian awal (profilaksis) lebih baik daripada pemberian yang lebih lambat. Beberapa uji klinik memberikan informasi yang berbeda tentang pengaruh pemberian dua surfaktan dalam hal oksigenasi, ventilasi, dan beratnya gejala RDS. Semua uji coba menunjukkan perbaikan dalam pertukaran gas, dan beratnya RDS dengan menggunakan surfaktan profilaksis. Dunn dkk, menyebutkan bahwa terjadi perbaikan yang signifikan dalam pertukaran gas pada kelompok terapi profilaksis dalam 24-48 jam dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kendig dkk, menyatakan bahwa bayi yang diberi terapi profilaksis membutuhkan tambahan oksigen yang lebih rendah dan bantuan ventilasi dalam 72 jam pertama serta didapatkan RDS yang tidak berat.
Pada penelitian yang dilakukan oleh kelompok studi penelitian neonatus di
Texas tentang keberhasilan dan keselamatan pemberian surfaktan dini terhadap 132 bayi RDS ringan sampai sedang dengan berat = 1250 gram, masa gestasi = 36 minggu, usia postnatal 4 -24 jam . Dalam peneltian ini disebutkan bahwa tanpa pemberian surfaktan dini, didapatkan hanya 43% bayi RDS yang memakai ventilasi, dan dalam waktu singkat yaitu 31 jam. Secara keseluruhan disebutkan bahwa pemberian rutin yang direncanakan pada bayi prematur, tidak direkomendasikan.

PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5o-37oC) dengan cara meletakkan bayi dalam incubator. Kelembapan ruangan juga harus adekuat.
2. Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati karena berpengaruh kompleks pada bayi premature. pemberian oksigen yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi seperti fobrosis paru,dan kerusakan retina. Untuk mencegah timbulnya komplikasi pemberian oksigen sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan analisa gas darah arteri. Bila fasilitas untuk pemeriksaan analisis gas darah arteri tidak ada, maka oksigen diberikan dengan konsentrasi tidak lebih dari 40% sampai gejala sianosis menghilang.
3. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan homeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan glukosa 5-10% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125 ml/kgBB/hari. Asidosis metabolic yang selalu dijumpai harus segera dikoreksi dengan memberikan NaHCO3 secara intravena yang berguna untuk mempertahankan agar pH darah 7,35-7,45. Bila tidak ada fasilitas untuk pemeriksaan analisis gas darah, NaHCO3 dapat diberi langsung melalui tetesan dengan menggunakan campuran larutan glukosa 5-10% dan NaHCO3 1,5% dalam perbandinagn 4:1
4. Pemberian antibiotic. bayi dengan PMH perlu mendapat antibiotic untuk mencegah infeksi sekunder. dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-100.000 U/kgBB/hari atau ampisilin 100 mg/kgBB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari.
5. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan eksogen (surfaktan dari luar). Obat ini sangat efektif tapi biayanya sangat mahal.
Mengidentifikasi masalah dan mengatasi penyebab dan pencegah infeksi amatlah penting. Kebutuhan ventilasi sama halnya dengan kritis. Pada awalnya pasien hanya membutuhkan suplemen oksigen. Sejalan dengan kemajuan penyakit, intubasi dan ventilasi mekanik harus dilakukan. Konsentrasi oksigen dan ventilator ditentukan oleh status pasien. Hal ini dipantau dengan gas darah arteri. Tekanan ekspirasi-ahir positif (PEEP) atau tekanan udara positif kontinu (CPAP) adalah bagian penting dari pengobatan RDS . PEEP dan CPAP meningkatkan kapasitas residual fungsional (FRC) dan melawan kolaps alvelar dengan menjaga agar alveoli tetap terbuka, mengakibatkan perbaikan oksige arteri dan reduksi dalam keseimbangan V/Q.
Hipotensi sistemik dapat terjadi pada pasien RDS karena hipovolemia sekunder terhadap kebocoran cairan kedalam ruang interstisial. Hipovolemia harus diatasi tanpa menyebabkan kelebihan cairan lebih lanjut. Larutan kristaloid intravena diberikan pemantauan yang cermat status paru. Agen inotopik atau vasopresor mungkin diperlukan. Kateter tekanan paru arteri digunakan untuk memantau status cairan pasien.
Dukungan nutrisi yang adekuat adalah penting dalam mengobati RDS karena dapat terjadi malnutrisi yang bisa menyebabkan berhentinya fungsi organ tubuh (kegagalan organ multipel). Pasien dengan RDS membutuhkan 35 sampai 45 kal/kg sehari untuk memenuhi kebutuhan normal. Pemberian makan enteral adalah pertimbangan pertama; namun, nutrisi parenteral total dapat saja diperlukan
Obat-obatan khusus dapat diberikan untuk mengobati infeksi, mengurangi peradangan dan membuang cairan dari dalam paru-paru. Misalnya pada infeksi diberikan antibiotik.

MASALAH KEPERAWATAN
Masalah yang perlu diperhatikan ialah bahaya kedinginan, resiko terjadi gangguan pernapasan, kesukaran dalam pemberian makanan, resiko terjadinya infeksi, dan kebutuhan rasa aman dan nyaman.
1. Bahaya kedinginan (hipotermia)
Bayi yang menderita PMH adalah bayi prematur sehingga kulitnya sangat tipis, jaringan lemaknya belum terbentuk dan pusat pengatur suhu belum sempurna, maka bayi sangat mudah kedinginan. Akibatnya bayi dapat jatuh dalam keadaan cold injury, sianosis, dispnea, dan apnea. Untuk mencegah bayi kedinginan bayi harus dirawat dalam inkubator yang dapat mempertahankan suhu bayi 36,5-37oC. Pengukuran suhu bayi prematur tidak dibenarkan melalui anus karena dapat menimbulkan perlukaan mengingat selaput lendir pada anus masih sangat tipis, dianjurkan pada ketiak, lipat paha, atau lipat lutut. Kelembapan udara harus adekuat yaitu 70-80%. Walau kelembapan udara di Indonesia cukup tinggi tetapi bila inkubator ditempatkan diruangan ber AC atau udara di luar panas, maka dapat terjadi menurunnya kelembapan udara di dalam inkubator. Jika inkubator tidak dilengkapi alat untuk pelembab, dapat dipakai popok atau segumpal kapas yang dibasahi air matang dan diletakkan pada salah atu tempat di dalam inkubator asalkan tidak mengenai bayi. Apabila listrik padam atau bayi dirawat di luar inkubator, maka untuk menghangatkan bayi dapat digunakan botol/kantung air panas dengan suhu air kira-kira 60oC, tetapi harus diganti setiap jam.
2. Resiko terjadi gangguan pernapasan
Pada bayi prematur, walau gangguan pernapasan belum terlihat pada saat lahir, harus tetap waspada bahwa bayi mungkin menderita PMH. Gejala pertama biasanya timbul dalam 4 jam setelah lahir, kemudian makin jelas dan makin berat dalam 48 jam, untuk kemudian menetap sampai 72 jam. Setelah itu berangsur-angsur keadaan klinik pasien membaik. Karena itu bayi memerlukan observasi terus-menerus sejak lahir agar apabila terjadi gangguan pernapasan dapat segera dilakukan upaya pertolongan.
3. Kesukaran dalam pemberian makanan
Bayi yang menderita PMH adalah bayi prematur kecil. Oleh karena itu bayi belum mampu menghisap dan menerima susu seperti bayi yang lebih besar karena organ pencernaannya belum sempurna. Untuk memenuhi kebutuhan kalori maka dipasang infus dengan cairan glukosa 5-10%, banyaknya sesuai dengan umur dan berat badan yaitu 60-125 ml/kgBB/hari. Bila keadaan klinik bayi membaik dan sudah dibolehkan minum, maka minum dapat diberikan melalui sonde. Bayi dengan berat badan <1500 gram dimulai dengan 1-2 ml/kgBB/setiap 2 jam, sedangkan pada bayi >1500 gram mulai dengan 3 ml/kgBB setiap 2 jam dan tiap bayi akan diberi minum cairan lambungnya diisap dulu, jika cairan lambungnya tersebut lebih dari 2 ml, jumlah susu yang akan dimasukkan dikurangi sejumlah cairan yang dikeluarkan dan cairan yang diisap itu dikembalikan lagi ke lambung karena cairan itu terdiri dari susu yang tercampur getah lambung. Untuk hari-hari berikutnya dengan melihat berat badan bayi mungkin perlu ditambah jumlah susu yang diberikan sambil memperhatikan perkembangan bayi. Jika berat badan naik terus dapat diberikan setiap 3 jam dan jumlahnya disesuaikan dengan umur dan berat badan. Selain itu juga harus diperhatikan reaksi bayi dalam menerima susu apakah tidak menimbulkan diare.
4. Resiko mendapat infeksi
Bayi prematur yang menderita PMH sangat mudah mendapat infeksi karena zat-zat kekebalannya belum terbentuk sempurna. Untuk mencegah infeksi, perawat harus bekerja secara aseptik dan inkubator harus aseptik pula. Ruangan tempat merawat bayi harus terpisah, bersih, dan tidak dibenarkan banyak orang memasuki ruangan tersebut kecuali petugas. Semua alat yang diperlukan untuk bayi harus steril. Karena bayi yang menderita PMH biasanya berat badannya kurang dari 2000 gram, maka bayi memerlukan perawatan sampai beberapa minggu. untuk mencegah infeksi, inkubator harus diganti setiap minggu dengan inkubator yang telah didesinfeksi. Perlu diingat tidak boleh melap inkubator, apalagi menggunakan desinfektan, jika di dalam inkubator ada bayinya. Bila terdapat beberapa bayi prematur dan salah satu ada yang menderita infeksi misalnya diare, segera dipisahkan dan sediakan alat cuci tangan sendiri.
5. Kebutuhan rasa aman dan nyaman
Walaupun bayi yang menderita PMH ini bayi prematur yang sangat kecil tetapi ia perlu diperhatikan kebutuhan akan rasa aman dan nyaman. Gangguan rasa nyaman dapat terjadi akibat tindakan medis, misalnya pengisapan lendir, atau pemasangan infus. Pemasangan infus dengan wing needle harus dilakukan oleh perawat yang berpengalaman karena sukar menemukan vena yang tepat. Untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya selain sikap yang lembut setiap menolong bayi bila kebetulan ibunya ada, izinkan sesekali menggendong bayinya, asalkan ibu memakai baju ruangan dan mencuci tangan dahulu.

PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pada pengkajian dapat diadapat adanya takipnea lebih dari 60 kali permenit, retraksi interkostal, pernapasan cuping hidung, sianosis, dan peningkatan hipoksemia, menurunnya daya komplien paru, gangguan pernapasan tampak pada 6-8 jam pertama setelah lahir, adanya tanda hipotensi sistemik seperti pucat pada daerah perifer, edema, pengisian kapiler lebih dari 3 detik, produksi urin yang menurun, penurunan suara nafas, adanya asfiksia, terjadi pada bayi premature dengan berat badan 1000-2000 gram, pada pemeriksaan darah ditemukan adanya asidosis metabolic dan respiratorik.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan pertukaran gas
Resiko tinggi peningkatan volume cairan
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Bersihan jalan napas tidak efektif

DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2007. Acute Respiratory Distress Sindrome. Terdapat pada: http: //www.medicine.com/ards/page 4.htm.
Anonim. 2007. Respiratory Distress Syndrome/Rds (On-line). Terdapat pada : http://healthblogrds.blogspot.com
Hidayat, Azis alimul. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan. edisi 1. Jakarta: Salemba Medika
Kurniasih, Dedeh. 2006. Respiratory Distress Syndrom. terdapat pada: http://www.tabloid-nakita.com
Ngastiyah, 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC
Nur .A, Risa Etika, Sylviati M.Damanik , Fatimah Indarso., Agus Harianto. 2007. Pemberian Surfaktan Pada Bayi Prematur Dengan Respiratory Distress Syndrome (On-line). Terdapat pada : http://www.pediatrik.com/buletin/




TUGAS KEPERAWATAN ANAK II
ASMA






Disusun Oleh
Agnes Fitria N1A005001
Ima Sukmawati N1A0050012
Denti Budiarti N1A005013
Titis Aprilia N1A005014
Agus Aji P N1A005016
Bambang Aditya N1A005026
Elfira N N1A005048
Marita Widy P N1A004049
Yulia Rahmi N1A005059




DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2007
ASMA

A. PENGERTIAN
Asma adalah suatu oenyakit obstruktif pada jalan nafas secara reversibel yang ditandai dengan bronchospasme, imflamasi, dan peningkatan reaksi jalan nafas terhadap berbagai stimulan. Asma juga disebut sebagai reaktive air way disease (RAD).

B. KLASIFIKASI
1. Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
a. Ekstrinsik (alergik)
b. Intrinsik (non alergik)
c. Asma gabungan (bentuk asma yang paling umum)
2. Derajat keparahan berdasarkan jumlah serangan, gangguan tidur, gangguan aktivitas :
a. Intermiten (mingguan)
1) Gejala < 1X / minggu
2) Tanpa gejala diluar serangan
3) Serangan singkat
4) Fungsi paru asimptomatik dan normal diluar serangan
5) Serangan sesak waktu malam < 2X seminggu
b. Persisten ringan (mingguan)
1) Gejala > 1X / hari
2) Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
3) Serangan sesak waktu malam > 2X seminggu
c. Persisten sedang (harian)
1) Gejala harian
2) Menggunakan obat setiap hari
3) Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
4) Serangan 2X / minggu, bisa berhari-hari
5) Serangan sesak malam hari, 1X / minggu
d. Persisten berat (continue)
1) Gejala terus menerus
2) Aktivitas fisik terbatas
3) Sering serangan
4) Serangan malam hari sering

Tabel 1. Kriteria asma pada anak
Gejala/ hari Gejala/malam PEF %
Jarang (Intermittent) Kurang dari 1/ minggu Kurang dari 2/ bulan 80% atau lebih
Ringan (Mild Persistent) Lebih dari 1 kali/minggu tidak tiap hari Lebih dari 2/ bulan 80% atau lebih
Sedang (Moderately Persistent) Setiap hari timbul saat aktifitas Lebih dari 1/ minggu 60% - 80%
Berat (Severe Persistent) Berlanjut dengan aktifitas terbatas Sering Di bawah 60%

3. Berdasarkan berat ringannya gejala :
a. Serangan asma akut ringan, dengan gejala:
1) Rasa berat di dada
2) Batuk kering ataupun berdahak
3) Gangguan tidur malam karena batuk atau sesak napas
4) Mengi tidak ada atau mengi ringan
5) APE (Arus Puncak Aspirasi) kurang dari 80 %.
b. Serangan Asma akut sedang, dengan gejala:
1) Sesak dengan mengi agak nyaring
2) Batuk kering/berdahak
3) Aktivitas terganggu
4) APE antara 50-80%.
c. Serangan Asma akut berat, dengan gejala:
1) Sesak sekali,
2) Sukar berbicara dan kalimat terputus-putus,
3) Tidak bisa berbaring, posisi mesti 1/2 duduk agar dapat bernapas,
4) APE kurang dari 50 %.

C. ETIOLOGI
1. Faktor allergen
a. Alergen hirup (inhalan) : debu, asap rokok, polusi kendaraan, obat byamuk bakar, pewangi ruangan, bulu binatang, bau yang merangsang (cat, sampah, keringat), dll.
b. Alergen makanan (ingestan) : makanan yang mengandung zat pengawet, penyedap dan pewarna; bauh-buahan tertentu.
2. Latihan jasmani (aktivitas berlebihan) : seperti berlari-lari atau main sepeda seharian tanpa cukup istirahat. Gejala yang timbul biasanya sewaktu tidur anak akan mengalami batuk-batuk. Inilah yang disebut sebagai excercise induce asthma (EIA).
3. Emosi (terlalu sedih/gembira).
4. Infeksi : seperti influenza, dan infeksi saluran napas atas (ISPA). Batuk yang disebabkan penyakit tersebut dapat memicu terjadinya asma.
5. Factor keturunan
a. Kedua orang tua menderita penyakit alergi, maka kemungkinan 60% dari anak mereka akan menderika penyakit alergi pulla baik asma, rhinitis, dermatitis topic, dll.
b. Salah satu orang tua menderita penyakit alergi, maka kemungkinan 40% dari anak mereka akan menderita alergi.
c. Kedua orang tua tidak menderita alergi maka hanya 15% kemungkinan anaknya menderita alergi.

D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klasik dari asma bronchial ini adalah sesak nafas, mengi (wheezing), batuk, sebagian penderita nyeri dada. Pada serangan asma yang lebih berat gejala-gejala yang timbul adalah sianosis, gangguan kesadaran, hiperinflasi dada, tachicardi, dan pernafasan dangkal.
Sering pilek, sinusitis, bersin, mimisan. tonsilitis (amandel), sesak, suara serak•
Pembesaran kelenjar di leher dan kepala belakang bawah.
Sering lebam kebiruan pada kaki atau tangan seperti bekas terbentur.
Kulit timbul bisul, kemerahan, bercak putih dan bekas hitam seperti tergigit nyamuk. Sering menggosok mata, hidung atau telinga, kotoran telinga berlebihan.
Nyeri otot & tulang berulang malam hari.
Sering kencing, atau bed wetting (ngompol)
Gangguan saluran cerna : Gastroesofageal refluk, sering muntah, nyeri perut, sariawan, lidah sering putih atau kotor, nyeri gusi atau gigi, mulut berbau, air liur berlebihan, dan bibir kering.
Sering buang air besar (> 2 kali/hari), sulit buang air besar (obstipasi), kotoran bulat kecil hitam seperti kotoran kambing, keras, sering buang angin.
Kepala,telapak kaki/tangan sering teraba hangat atau dingin. Sering berkeringat (berlebihan).
Mata gatal, timbul bintil di kelopak mata, mata sering berkedip,
Gangguan hormonal : tumbuh rambut berlebihan di kaki dan tangan, keputihan.
Sering sakit kepala, migrain.

E. KOMPLIKASI
1. Penyakit tonsil
2. TD tinggi
3. Paru-paru menjadi keras sehingga tidak dapat berkembang dengan baik.
F. PATOFISIOLOGI
Pada penderita asma, terjadi bronkokonstriksi. Proses bronkokonstriksi ini diawali dengan proses hypersensitivitas yang distimulasi agent fisik seperti oleh suhu dingin, droplet, debu, serbuk tanaman dan lainya. Asma juga adapat terjadi karena adanya stimulasi agen psikis seperti kecemasan dan rasa takut.
Pada suatu serangan asma, otot polos dari bronki mengalami kejang dan jaringan yang melapisi saluran udara mengalami pembengkakan karena adanya peradangan dan pelepasan lendir ke dalam saluran udara. Hal ini akan memperkecil diameter dari saluran udara (disebut bronkokonstriksi) dan penyempitan ini menyebabkan penderita harus berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernafas.
Sel-sel tertentu di dalam saluran udara (terutama sel mast) diduga bertanggungjawab terhadap awal mula terjadinya penyempitan ini. Sel mast di sepanjang bronki melepaskan bahan seperti histamin dan leukotrien yang menyebabkan terjadinya: - kontraksi otot polos - peningkatan pembentukan lendir - perpindahan sel darah putih tertentu ke bronki. Sel mast mengeluarkan bahan tersebut sebagai respon terhadap sesuatu yang mereka kenal sebagai benda asing (alergen), seperti serbuk sari, debu halus yang terdapat di dalam rumah atau bulu binatang.
Tetapi asma juga bisa terjadi pada beberapa orang tanpa alergi tertentu. Reaksi yang sama terjadi jika orang tersebut melakukan olah raga atau berada dalam cuaca dingin. Stres dan kecemasan juga bisa memicu dilepaskannya histamin dan leukotrien.
Sel lainnya (eosnofil) yang ditemukan di dalam saluran udara penderita asma melepaskan bahan lainnya (juga leukotrien), yang juga menyebabkan penyempitan saluran udara.





Hipersensitivitas bronkhiolus
terhadap benda-benda asing di udara

Timbul reaksi alergi

Ig E meningkat

Sel mast

Pelepasan mediator
• Histamine
• Serotonin
• Kinin

 Bronkhospasme
 Edema mukosa
 Sekresi meningkat
 Inflamasi

Tahanan saluran nafas meningkat

Kontraksi spastic dari oto-otot polos
bronkhiolus

Asma






G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan radiology
Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru-paru.
2. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari factor alergi dengan berbagai allergen.
3. Scaning paru
Dengan scaning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
4. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible.
5. Pemeriksaan sputum
Sputum penderita asma secara keseluruhan kental, liat, dan keputihan.
6. Pemeriksaan darah
a. Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnea, atau asidosis.
b. Hipernatremia dan kadar leukosit kadang-kadang diatas 15000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
c. Pada pemeriksaan factor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan asma bronchial terbagi 2, yaitu :
1. Pengobatan non farmakologik
2. Pengobatan farmologik
a. Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas.
b. Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan asma.
3. Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.tabloid-nakita.com/artikel.php3?edisi=05251&rubrik=sehat
http://www.anakku.net/index.php?option=com_content&task=view&id=339&Itemid=1



























TUGAS TERSTRUKTUR
KEPERAWATAN ANAK II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DIARE









Oleh :
Agung Ari S (N1A005005)
Fendi Budi W (N1A005009)
Ida Rahayu (N1A005010)
Eris Rismayanto (N1A005023)
Cecep Triwibowo (N1A005025)
Rahayu Nugraeini (N1A005035)
Marissa Wigianti M (N1A005040)
Bejo Wahyu U (N1A005041)
Ita Sari (N1A005044)






DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
PURWOKERTO

2007
DIARE


A. PENGERTIAN
Diare adalah: BAB lebih dari tiga dengan konsistensi cair (WHO, 1992). Diare adalah buang air besar konsistensi lembek /cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya ( biasanya 3 kali atau lebih dalam sehari). Pada dasarnya adalah frekuensi buang air besar yang lebih sering dari biasanya dengan konsistensi yang lebih encer atau cair. Frekuensi buang air besar lebih dari empat kali pada bayi dan lebih dari tiga kali pada anak; konsisten feses encer, dapat berwarna hijau, dapat juga bercampur lendir dan darah, atau hanya lendir saja (FK UI,1997). Individu mengalami perubahan dalam kebiasaan BAB normal, ditandai dengan seringnya kehilangan cairan dan feses yang tidak berbentuk (Susan martin,1998). Jenis diare sbb :
1. Menurut perjalanan penyakit :
a. . Akut : jika kurang dari 1 minggu
b. . Berkepanjangan : jika antara 1 minggu sampai 14 hari
c. . Kronis : jika > 14 hari dan disebabkan oleh non infeksi
d. . Persisten : Jika >14 hari dan disebabkan oleh infeksi
2. Menurut patofisiologi :
a. . Gangguan absorbsi
b. . Gangguan sekresi
c. . Gangguan osmotik
3. Menurut penyebab :
a. . Infeksi : Virus, bakteri, parasit,jamur
b. . Konstitusi
c. . Malabsorbsi
4. Diare dengan masalah lain. Anak yang menderita diare mungkin juga disertai dengan penyakit lain, seperti : demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.

B. PENYEBAB DIARE
Penyebab diare dapat dibagi dalam beberapa faktor:
1. Infeksi
a. Infeksi entral : ialah infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab diare pada anak meliputi infeksi interal sebagai berkut :
i. Infeksi bakteri: vibrio, E. coli, Salmonella, Sigela, Campylobakteri, Yersenia, Aerromonas dan sebagainya..
ii. Infeksi virus : Entro virus, adenovirus, Rotavirus, Astovirus dll.
iii. Infeksi parasit : Cacing protozoa dan jamur.
b. Infeksi Parentral ialah ineksi diluar alat pencernaan makan seperti otitis media akut (OMA) tonsillitis/ Tonsiloparingitis, bronkhopnemonia , encepalitis dsb. Keadaan ini terutama tedapat pada anak kurang dari dua tahun.
2. Faktor Malabsorsi
a. Malabsorisi karbohidrat
b. Malabsorsi lemak
c. Malabsorsi Protein
3. Faktor makanan: Makanan basi, beracun alergi terhadap makanan.
4. Psikologis : rasa takut dan cemas
Faktor yang meningkatkan penyebaran kuman penyebab diare:
a. Tidak memadainya penyediaan air bersih
b. Air tercemar oleh tinja
c. Pembuangan tinja yang tidak hygienis
d. Kebersihan perorangan dan lingkungan jelek
e. Penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak semestinya
f. Penghentian ASI yang terlalu dini

C. PATOGENESIS
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare adalah:
1. Gangguan osmotic
Akibat terdapat makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus meninggi sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkanya sehingga timbul diare.
2. Gangguan sekresi
Akibat rangsang tertentu ( Misalnya toksin pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit kedalam rongga usus selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi rongga usus
3. Gangguan motalitas usus
Hiperpristaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus menyerap makan seingga timbul diare. Sebaliknya bila pristaltik menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan selanjutnya timbul diare pula.

Faktor penyakit / toksik ( misal toksin E. Coli )


Peningkatan peristaltik usus Peningkatan cairan intraluminar

Passase usus meningkat

Waktu henti makanan menurun frekwensi BAB meningkat
( Resiko Infeksi )
( Resiko kerusakan integritas kulit )

Penyerapan makanan, elektrolit terganggu pengeluaran cairan meningkat

Ketidak seimbangan cairan
Ketidakseimbagan nutrisi kurang
Resiko Hipo/hipertermi
Resiko Hipe/hipernatremi
Resiko Hipo/hiperkalemi
Asidosis Metabolik
Gambaran Klinik
Mula-mula pasien cengen gelisah, suhu tubuh biasanya meningkat nafsu makan berkurang atau tidak ada kemudian timbul diare. Tinja cair mungkin disertai ledir atau lendir dan darah. Warna tinja makin lama berubah kehijau-hijauan karena bercampur dengan empedu. Anus dan sekitarnya timbul lecet karena sering defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat makin banyak asam laktat yang berasal dari laktose yang tidak diabsorbsi oleh usus selama diare.
Gejala muntah sebelum dan sesudah diare dan dapat menyebabkan lambung juga turut meradang, atau akibat gangguan asam basa dan elektrolit. Timbul dehidrasi akibat kebanyakan kehilangan cairan dan elektrolit . Gejala dehidrasi mulai nampak yaitu berat badan menurun turgor berkurang mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung ( pada bayi), selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering. Akibat dehidrasi diuresis berkurang ( oliguri sampai anuri). Bila sudah asidosis metabolis pasien akan tampak pucat dengan pernapasan cepat dan dalam (kussmaul). Asidosis metabolisme karena:
1. Kehilangan NaCO3 melalui tinja diare
2. Ketosis kelaparan
3. Produk- produk metabolik
4. Berpindahnya ion natrium dari cairan intra sel ke ekstrasel
5. Penimbunan laktat ( anoksia jaringan )

D. KOMPLIKASI
Akibat diare, kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak dapat terjadi berbagai komplikasi sebagai berikut:
a. Dehidrasi ( Ringan, berat hipotenik, isotonik hipertonik)
b. Renjatan hipovolemik
c. Hipoglikemi
d. Intoleransi sekunder akibat kerusakan filimukosa usus dan defisiensi enzim laktase
e. Hipokalemia
f. Kejang terjadi akibat dehidrasi hipertonik
g. Malnutrisi energi proteiN.
CARA MENILAI DEHIDRASI (WHO, 1992)
GEJALA DAN TANDA TAK DEHIDRASI DEHIDRASI TAK BERAT DEHIDRASI BERAT
1. Keadaan Umum Baik Rewel, gelisah, lemah. Apatis, tidak sadar
2. Mata Tidak cekung Cekung & kering Sangat cekung,
3. Air Mata Jika menangis masih ada Jika menangis tidak ada Jika menangis tidak ada
4. Bibir Tidak kering Kering Sangat kering
5. Rasa Haus Tidak merasa haus Haus sekali, jika diberi minum rakus. Tidak bisa minum
6. Cubitan Kulit Jika dicubit cepat kembali Jika dicubit kembali lambat dicubit kembali sangat lambat.

E. PRINSIP PENATALAKSANAAN DIARE
a. Mencegah terjadinya dehidrasi
b. Mengobati Dehidrasi
c. Memberi makanan
d. Mengobati masalah lain
CARA MELAKUKAN REHIDRASI
DERAJAT
DEHIDRASI KELOMPOK USIA JENIS CAIRAN VOLUME ml/kg BB WAKTU
RINGAN Semua kelompok Oral 50 Tiap 4 jam
SEDANG Semua kelompok Oral 70 Tiap 4 jam
BERAT Anak Intra vena 70 Tiap 3 jam
BERAT dan SYOK Semua kelompok Intra vena 70 - 100 Tiap 4 jam

F. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG SERING MUNCUL
1. Ketidakseimbangan volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan cairan melalui diare dan intake yang tidak adekuat
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningakatan peristaltik usus yang menyebabkan waktu penyerapan menurun
3. Resiko infeksi
4. Ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan kehilangan elektrolit melalui tinja / diare
5. PK : Hipo/hipernatremi
6. PK : Hipe/hiperkalemi
7. Resiko kerusakan intergritas kluit
8. PK : Asidosis Metabolik

ASKEP berdasar NANDA, NIC dan NOC
1. Kekurangan Volume cairan (penurunan cairan intravaskuler, interstisiil, dan / atau intraseluler. Ini mengarah ke dehidrasi, kehilangan cairan dengan pengeluaran sosium)
Batasan Karakteristik : Kelemahan, Haus, Penurunan turgor kulit/lidah, Membran mukosa/kulit kering, Peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah, penurunan volume/tekanan nadi, Pengisian vena menurun, Perubahan status mental, Konsentrasi urine meningkat, Temperatur tubuh meningkat, Hematokrit meninggi, Kehilangan berat badan seketika (kecuali pada third spacing)
b/d :Kehilangan volume cairan secara aktif , Kegagalan mekanisme pengaturan
NOC
- Fluid Balance
- Hydration
- Nutritional Status : Food and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
 Keseimbangan urin out put lebih dari 1300 mL/hari (paling sedikit 30 mL/jam)
 Tekanan darah, nadi, dan suhu normal
 Turgor kulit baik, membran mukosa dan lidah lembab, orientasi tempat, waktu, dan orang baik
 Pasien mampu untuk mencegah dan mengatasi kehilangan cairan
NIC :
1. Fluid Management (Manajemen Cairan)
2. Fluid Monitoring (Monitor Cairan)
- Tentukan kemungkinan faktor resiko dari ketidak seimbangan cairan ( Hipertermia, terapi diuretik, kelainan renal, gagal jantung, diaporesis, disfungsi hati, dll )
- Tentukan riwayat jumlah dan tipe intake cairan dan eliminasi
- Monitor berat badan
- Monitor serum dan elektrolit urine
- Monitor serum dan osmilalitas urine
- Monitor BP- Monitor tekanan darah orthostatik dan perubahan irama jantung
- Monitor parameter hemodinamik infasif
- Catat secara akutar intake dan output
- Monitor membran mukosa dan turgor kulit, serta rasa haus
- Catat monitor warna, jumlah dan
- Monitor adanya distensi leher, rinchi, eodem perifer dan penambahan BB
- Monitor tanda dan gejala dari odema
- Bari cairan sesuai keperluan
- Beri obat yang dapat meningkatkan output urin
- Lakukan hemodialisis bial perlu dan catat respons pasien

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.(kurang dari kebutuhan ( keadaan dimana individu mengalami intake nutrisi yg kurang dr kebutuhan tubuh utk memenuhi kebutuhan metabolic)
b/d ketidakmampuan menelan, peny kronik, intoleransi makanan, kesulitan mengunyah, mual + muntah,hilang nafsu makan.
NOC :
Nutritional Status
Nutritional Status : Food and Fluid Intake
Nutritional Status : Nutrient Intake
Weight Control
Kriteria Hasil :
 Adanya peningkatan berat badab sesuai dengan tujuan
 Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
 Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
 Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
 Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dan menelan
 Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
NIC :
1. Pengelolaan gangguan makan
2. Bantu kenaikan status peningkatan BB
3. Nutrition management (Manajemen nutrisi)
 Kaji adanya alergi makanan
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
 Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
 Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
 Berikan substansi gula
 Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
 Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)
 Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
 Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
 Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
4. Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
5. Nutrition monitoring (Monitor nutrisi)
 BB pasien dalam batas normal
 Monitor adanya penurunan berat badan
 Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan
 Monitor interaksi anak atau orangtua selama makan
 Monitor lingkungan selama makan
 Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan
 Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
 Monitor turgor kulit
 Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah
 Monitor mual dan muntah
 Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht
 Monitor makanan kesukaan
 Monitor pertumbuhan dan perkembangan
 Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva
 Monitor kalori dan intake nuntrisi
 Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oral.
 Catat jika lidah berwarna magenta, scarlet

3. Resiko infeksi (peningkatan resiko masuknya organisme patogen)
Faktor-faktor resiko : Prosedur Infasif, Ketidakcukupan pengetahuan untuk menghindari paparan patogen, Trauma, Kerusakan jaringan dan peningkatan paparan lingkungan, Ruptur membran amnion, Agen farmasi (imunosupresan), Malnutrisi, Peningkatan paparan lingkungan patogen , Imonusupresi ,Ketidakadekuatan imum buatan, Tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb, Leukopenia, penekanan respon inflamasi), Tidak adekuat pertahanan tubuh primer (kulit tidak utuh, trauma jaringan, penurunan kerja silia, cairan tubuh statis, perubahan sekresi pH, perubahan peristaltik), Penyakit kronik
NOC:
Pengetahuan:Kontrol infeksi
- Menerangkan cara-cara penyebaran infeksi
- Menerangkan factor-faktor yang berkontribusi dengan penyebaran
- Menjelaskan tanda-tanda dan gejala
- Menjelaskan aktivitas yang dapat meningkatkan resistensi terhadap infeksi
Status Nutrisi
- Asupan nutrisi, Asupan makanan dan cairan, Energi, Masa tubuh, BB
Risk Control
- Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
- Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
- Jumlah sel darah putih dalam batas normal
- Menunjukkan perilaku hidup sehat (menjaga kebersihan) seperti mencuci tangan,
perawatan mulut, dan lain-lain


NIC:
1. Infection Control (Kontrol Infeksi)
- Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
- Pertahankan teknik isolasi
- Batasi pengunjung bila perlu
- Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien
- Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
- Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan
- Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
- Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
- Ganti letak IV perifer & line central &dressing sesuai dg petunjuk umum
- Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
- Tingktkan intake nutrisi
- Berikan terapi antibiotik bila perlu
2. Infection Protection (Proteksi terhadap Infeksi)
- Monitor tanda dan gejala infeksi sistenikmdan lokal
- Monitor hitung granulosit, WBC, Monitor kerentanan terhadap infeksi
- Batasi pengunjung, Saring pengunjung terhadap penyakit menular
- Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko
- Pertahankan teknik isolasi k/p, Berikan perawatan kuliat pada area epidema
- Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase
- Ispeksi kondisi luka / insisi bedah, Ambil kultur
- Dorong masukkan nutrisi yang cukup
- Dorong masukan cairan, Dorong istirahat
- Monitor perubahan tingkat energi, Dorong peningkatan mobilitas dan latihan
- Dorong batuk dan napas dalam
- Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
- Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi, Ajarkan cara menghindari infeksi
- Batasi buah segar, sayuran dan merica pada pasien nertipenia
- Jauhkan bunag dan tanaman dari lingkungan pasien, Berikan ruangan pribadi, Yakinkan keamanan air dengan hiperklorinasi dan pemanasan
- Laporkan kecurigaan infeksi, Laporkan kultur positif

DAFTAR PUSTAKA


Asri, Sekar. 2007. Diare. http://sekarasri.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=19&artid=171. Diakses pada November 2007

Anonim. Diare Mendadak dan Penanganannya. http://www.infoibu.com/tipsinfosehat/diare.htm. Diakses pada November 2007

_______. Diare. http://id.wikipedia.org/wiki/Diare. Diakses pada November 2007. Diakses pada November 2007

NANDA, NIC dan NOC











TUGAS MAKALAH KEPERAWATAN ANAK II
DEMAM TYPHOID











Disusun Oleh :

Ria Artiani Umy Kartika
Rina Astutia N Nurfitriana
Dian Okti I Prasetyo Yuni L
Diah Indriasih Syaeful Febrianto
Ria Novita R Novianenci






DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2007
DEMAM TYPHOID

Pengertian
Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut disebabkan oleh infeksi kuman gram negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.
Klasifikasi Demam Tipoid
1. Demam Tifus Murin ( endemik)
Yaitu demam akut yang disebabkan oleh Rickettsia atau Mooseri dan ditularkan kepada manusia oleh tinjal. Demam selama 9 – 14 hari, sakit kepala, ruam makulopapula pada hari ke 3 sampai 5, dan mialgia. Tifus Murin adalah salah satu riketsiosis yang paling jinak. Masa inkubasi berkisar antara 8-16 hari, dengan rata-rata 10 hari. Gambaran prodromal yang umum adalah sakit kepala, sakit punggung, artralgia, dan rasa dingin. Mual, muntah, dan peningkatan sementara suhu tubuh dapat mendahului awitan penyakit sesungguhnya. Perjalanan demam pada tifus murin biasanya berlangsung selama kira-kira 12 hari pada orang dewasa, suhu tubuh berkisar antara 38,8 sampai 40 °C tetapi dapat mencapai 40,5 sampai 41,1 °C pada anak-anak.
2. Demam Tifus Epidemik ( yang ditularkan oleh tuma )
Yaitu tifus epidemik klasik merupakan penyakit demamyang berat yang disebabkan R.prowazekii dan ditularkan kepada manusia melalui tuma tubuh. Sakit kepala hebat, demam berkelanjutan selama kira-kira 2 minggu, munculnya makula pada kulit sekitar demam hari kelima, malaise, dan gangguan saraf dan pembuluh darah menunjukkan gambaran klinis utama penyakit. Tifus epidemik menyerupai tifus murin tetapi lebih berat. Setelah masa inkubasi sekitar 7 hari,awitan penyakit yang mendadak berupa sakit kepala, rasa dingin, dan demam yang cepat mencapai puncak sebagai awal penyakit.
3. Penyakit Brill-Zinsser (Tifus Rekrudesen)
Merupakan episode rekrudesen (kekambuhan penyakit setelah reda, selama beberapa waktu).demamtifus epidemik yang muncul beberapa tahun kemudian setelah serangan awal. R.prowazekii dapat diisolasi dari tuma yang mengambil makanan dari manusia selama fase aktif penyakit.
4. Tifus Garukan (Scrub typhus)
Penyakit ini disebabkan oleh R.tsutsugamushi dan ditandai oleh lesi primer pada tempat gigitan tungau yang terinfeksi. Demam selama kira-kira 2 minggu, ruam kulit yang muncul kira-kira pada hari ke-5, dan munculnya aglutinin terhadap basil Proteus OX-K pada akhir minggu kedua. Antibiotik yang serupa dengan yang digunakan untuk infeksi riketsia lainnya merupakan agen terapeutik yang spesifik.
Etiologi
1. Disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu salmonella typhi, salmonella paratyphi A dan salmonella Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain.demam disebabkan oleh s.typhi cenderung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yang lain.
2. Penyebaran bakteri ke dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat pencucian tangan yang kurang bersih setelah buang air besar maupun setelah berkemih.
3. Lalat bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan.
Patofisiologi
1. Setelah melalui asam lambung, Salmonella typhosa menembus ileum ditangkap oleh sel mononuklear, disusul bakteriemi I. Setelah berkembang biak di RES, terjadilah bakteriemi II
2. Interaksi Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator-mediator. Lokal (patch of payer) terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi sumsum tulang dll
3. Imunulogi. Humoral lokal, di usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada mukosa usus. Humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh Salmonalla intraseluler
Kuman S.Thypi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque Peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertrofi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman S.Thypi kemudian menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami hipertrofi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini S.Thypi masuk aliran darah melalui ductus thoracicus. Kuman-kuman S.Thypi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. S.Thypi bersarang di plaque Peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial. Semual disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan oleh endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid. Endotoksin S.Thypi beperan pada patogenesis demam tifoid, karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat S.Thypi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena S.Thypi dan endoktosinnya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.
Patogenesis
Infeksi didapat dengan cara menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi, dan dapat pula dengan kontak langsung jari tangan yang terkontaminasi tinja, urine, secret saluran nafas, atau dengan pus penderita yang terinfeksi. Agar dapat menimbulkan gejala klinis, diperlukan S. typhi dalam dosis tertentu. Percobaan menyimpulkan bahwa jumlah kuman yang diperlukan untuk menimbulkan penyakit adalah berkisar antara 1 juta dan 1 milyar.
Pada fase awal demam tifoid biasa ditemukan adanya gejala saluran nafas atas. Ada kemungkinan sebagian kuman ini masuk ke dalam peredaran darah melalui jaringan limfoid di faring. Terbukti dalam suatu penelitian bahwa S. typhi berhasil diisolasi dari jaringan tonsil penderita demam tifoid ini, walaupun pada percobaan lain seseorang yang berkumur dengan air yang mengandung S.typhi hidup ternyata tidak menjadi terinfeksi. Pada tahap awal ini penderita juga sering mengeluh nyeri telan yang disebabakan karena kekeringan mukosa mulut. Lidah tampak kotor tertutup selaput berwarna putih sampai kecoklatan yang merupakan sisa makanan, sel epitel mati dan bakteri, kadang-kadang tepi lidah tampak hiperemis dan tremor. Bila terjadi infeksi dari nasofaring melalui saluran tuba eustachi ke telinga tengah dan hal ini dapat terjadi otitis media.
Di lambung organisme menemui suasana asam dengan pH rendah dimana kuman dimusnahkan. Pengosongan lambung yang bersifat lambat merupakan faktor pelindung terhadap terjadinya infeksi. Setelah melalui barier asam lambung mikroorganisme sampai di usus halus dan menemui dua mekanisme pertahanan tubuh yaitu motilitas dan flora normal usus. Penurunan motilitas usus karena faktor obat-obatan atau factor anatomis meningkatkan derajat beratnya penyakit dan timbulnya komplikasi. Flora normal usus berada di lapisan mukus atau menempel pada epitel saluran cerna dan akan berkompetisi untuk mendapatkan kebutuhan metabolik untuk keperluan pertumbuhan, memproduksi asam amino rantai pendek sehingga menurunkan suasana asam serta memproduksi zat antibakteria seperti colicin.
Di usus halus organisme dengan cepat menginvasi sel epitel dan tinggal di lamina propia. Proses invasi dan penetrasi mikroorganisme ke dalam mukosa intestin ini merupakan proses yang sangat penting dalam patogenesis deman tifoid.

Manifestasi Klinis
Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat, Febris, kesadaran berkabut, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah, serta tremor), nyeri abdomen.
1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.
2. Gejala gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
3. Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai koma.
KOMPLIKASI/PENYULIT
• Komplikasi intestinal yaitu,perforasi usus,perdarahan usus.
• Komplikasi ekstraintetstinal yaitu kardiovaskuler,darah, paru,hepar dan kandung kemih, ginjal, tulang, neuropsikiatrik
• Otitis media, pnemoni, ensefalopati, syok, ileus, melena, ikterus, karditis, ISK. Termasuk penyulit adalah relapse (kambuh), karier, perdarahan usus, perforasi, gangguan status mental berat.
LANGKAH DIAGNOSTIK
1. Amanesis
Demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu menetap atau remiten pada minggu kedua. Demam terutama sore/malam hari, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare.

2. Tanda klinik
3. Laboratorik
a. Leukopenia, anesonofilia
b. Kultur empedu (+) : darah pada minggu I ( pada minggu II mungkin sudah negatif); tinja minggu II, air kemih minggu III
c. Reaksi widal (+) : titer > 1/200. Biasanya baru positif pada minggu II, pada stadium rekonvalescen titer makin meninggi
d. Identifikasi antigen : Elisa, PCR. IgM S typphi dengan Tubex TF cukup akurat dengan
e. Identifikasi antibodi : Elisa, typhi dot dan typhi dot M
4. Gejala gastrointestinal
5. Gejala saraf sentral
6. Identifikasi antibodi
PEMERIKSAAN FISIK
Febris, kesadaran berkabut, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah, serta tremor), hepatomegali, spenomegali, nyeri abdomen, roseolae (jarang pada orang Indonesia)
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan darah demam tifoid bervariasi bergantung pada masa sakit. Pada mulanya penderita demam tifoid tidak mengalami anemia, tetapi pada pasien yang tidak mendapat antibiotik anemia berkembang dengan cepat dan mencapai titik terendah pada minggu ketiga. Anemia disebabkan karena kombinasi berbagai hal yaitu hemolisis, penekanan sumsum tulang, dan kehiloangan darah akibat occult blood loss.
Jumlah leukosit bisa normal tapi bisa bervariasi antara 1.200 sampai 20.000 sel/mm3. Lekositosis dapat timbul saat hari ke 7 sampai 10, kemudia berkembang menjadi lekopenia hingga mencapai titik terparah pada minggu ketiga. Bila terjadi leukositosis bisa berasal dari bakteriemia, peritonitis oleh karena perforasi usus, atau terjadi komplikasi ekstraintestinal lainnya. Hitung jenis leukosit biasanya normal atau bergeser sedikit ke kiri. Besarnya pergeseran bergantung pada beratnya infeksi dan efek regenerasi yang lebih besar dari efek degenerasi. Eosinofil dan basofil menghilang diikuti dengan penurunan limfosit, secara bertahap eosinofil dan basofil muncul kembali diikuti meningkatnya limfosit dan monosit setelah minggu kedua.
2. Pemeriksaan Uji Serologis
Pemeriksaan serologis untuk diagnosis demam tifoid adalah uji widal yang mengukur antibodi aglutinasi terhadap antigen O dan H. Dasar uji widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen S. typhi dengan antibody yang terdapat pada serum penderita.
Nilai sensitifitas, spesifitas serta ramal reaksi widal sangat bervariasi dari satu laboratorium dengan laboratorium lainnya. Disebut tidak sensitif karena adanya sejumlah penderita dengan hasil biakan positif tetapi tidak pernah dideteksi adanya antibody dengan uji ini. Bila dapat dideteksi adanya titer antibodi sering titer naik sebelum timbul gejala klinis sehingga sulit untuk memperlihatkan terjadinya kenaikan titer yang berarti. Disebut tidak spesifik oleh karena semua grup D Salmonella mempunyai antigen O demikian juga grup A dan B Salmonella . Semua grup D Salmonella mempunyai fase H antigen yang sama dengan S. typhi. Titer H tetap meningkat dalam waktu sesudah infeksi.
Uji widal tidak dapat dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid bila hanya dilakukan satu kali saja, kenaikan titer widal pada satu seri pemeriksaan widal atau kenaikan titer 4 kali pada pemeriksaan berikutnya dapat membantu memastikan diagnosis demam tifoid.
3. Pemeriksaan Isolasi Kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dilakukan dengan isolasi S. typhi. Isolasi dapat dilakukan dengan melakukan biakan dari berbagai tempat dalam tubuh.
Biakan darah memberikan hasil positif Salmonella pada 40-80% penderita demam tifoid. Sensitivitas biakan darah yang paling baik adalah selama minggu pertama sakit yakni memebrikan hasil positif pada ≥ 80%.
Berbagai faktor yang mempengaruhi hasil isolasi kuman, diantaranya jumlah kuman yang beredar dalam darah dan faktor serum yang dapat menghambat atau membunuh kuman. Oleh karena itu dalam tekhnik isolasi kuman harus diambil jumlah sampel darah yang cukup (5-10ml), dengan media yang sesuai dan pengenceran yang cukup (1:8-10) sehingga faktor serum kadarnya lebih rendah dari yang diperlukan untuk bakterisidal.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan suportif, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang terjadi). Kadang-kadang perlu konsultasi ke Divisi Hematologi, Jantung, Neurologi, bahkan ke Bagian lain/Bedah.
TERAPI
Nonfarmakologis : tirah baring, makanan lunak rendah serat
Farmakologis :
Simtomatis
Antimikroba :
pilihan utama : Kloramfenikol 4 x 500 mg sampai dengan 7 hari bebas demam
Alternatif lain :
1. Tiamfenikol 4 x 500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah dibandingkan kloramfenikol)
2. Kotrimoksazol 2 x 2 tablet selama 2 minggu
3. Ampisilin dan amoksisilin 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu
4. Sefalosporin generasi III ; yang terbukti efektif adalah seftriakson 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc selama ½ jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari. Dapat pula diberikan sefotaksim 2-3 x 1 gram, sefoperazon 2x1 gram
5. Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III atau menjelang hari IV) :
6. Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
7. Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
8. Ofloksasin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
9. Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
10. Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
11. Kasus toksik tifoid (demam tifoid disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis lainnya dan hasil pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal) langsung diberikan kombinasi kloramfeniko 4 x 500 mg dengan ampisilin 4 x 1 gram deksametason 3 x 5 mg
12. Kombinasi antibiotika hanya diindikasikan pada toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, renjatan septik
13. Steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami renjatan septik dengan dosis 3 x 5 mg
PENGOBATAN MEDIKAMENTOSA
Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin atau kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.
• Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol , diberi
• ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau
• amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari, atau
• kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2 kali pemberian, oral, selama 14 hari.
Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari. Pada kasus yang diduga mengalami MDR (Multi Drug Resistance), maka pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon.
PENATALAKSANAAN PENYULIT
Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan dengan manifestasi nerologik menonjol, diberi Deksametason dosis tinggi dengan dosis awal 3 mg/kg BB, intravena perlahan (selama 30 menit). Kemudian disusul pemberian dengan dosis 1 mg/kg BB dengan tenggang waktu 6 jam sampai 7 kali pemberian. Tatalaksana bedah dilakukan pada kasus-kasus dengan penyulit perforasi usus.
PENATALAKSANAAN EPIDEMIOLOGIS
Meliputi isolasi penderita berupa isolasi gastrointestinal, sedangkan pemutusan transmisi dengan pengelolaan disposal dan terapi pembawa kuman (”carrier”), sedangkan pencegahan dengan melakukan immunisasi.
PENCEGAHAN
Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan.Pada saat ini telah ada di pasaran berbagai vaksin untuk pencegahan demam tifoid. Vaksin chotypa dari kuman dimatikan (whole cell) tidak digunakan lagi karena efek samping yang terlalu berat dan daya lindungnya pendek. Dua vaksin yang aman dan efektif telah mendapat lisensi dan sudah ada di pasaran. Satu vaksin berdasar subunit antigen tertentu dan yang lain berdasar bakteri (whole cell) hidup dilemahkan. Vaksin pertama, mengandung Vi polisakarida, diberikan cukup sekali, subcutan atau intramuskular. Diberikan mulai usia > 2 tahun. Re-imunisasi tiap 3 tahun. Kadar protektif bila mempunyai antibodi anti-Vi 1 µg/ml. Vaksin Ty21a hidup dilemahkan diberikan secara oral, bentuk kapsul enterocoated atau sirup. Diberikan 3 dosis, selang sehari pada perut kosong. Untuk anak usia ≥ 5 tahun. Reimunisasi tiap tahun. Tidak boleh diberi antibiotik selama kurun waktu 1 minggu sebelum sampai 1 minggu sesudah imunisasi.
Asuhan Keperawatan Anak dengan Masalah Tifus Abdominalis

Pengkajian
Pada pengkajian anak dengan tifus abdominalis dapat ditemukan timbulnya demam yang khas yang berlangsung selama kurang lebih 3 minggu dan menurun pada pagi hari serta meningkat pada sore dan malam hari, nafsu makan menurun, bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor ujung dan tepinya kemerahan, adanya meteorismus, terjadi pembesaran hati dan limfe, adanya konstipasi dan bahkan bisa terjadi gangguan kesadaran seperti apatis sampai somnolen,adanya bradikardia, mungkin terjadi komplikasi seperti perdarahan usus halus, adanya perforasi usus, peritonitis, peradangan pada meningen, bronkhopneumonia, dan lain-lain. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan leukopenia dengan limfositosis relatif , pada kultur empedu ditemukan pada titer antibodi O lebih besar atau sama dengan 1/200 dan H: 1/200
Diagnosis/Masalah Keperawatan
Diagnosis atau maslah keperawatan yang terjadi pada anak dengan tifus abdominalis adalah sebagai berikut:
1. Imbalance nutrisi (kurang dari kebutuhan)
2. Hipertermia
3. Risiko terjadi komplikasi (cedera)
Rencana Tindakan Keperawatan
1. Imbalance nutrisi (kurang dari kebutuhan)
Hal ini disebabkan adanya asupan yang tidak adekuat oleh karena menurunnya nafsu makan akibat proses patologis, maka tujuan keperawatannya diarahkan pada terpenuhinya kebutuhan nutrisi pada anak.

Tindakan:
a. Berikan diet TKTP, cukup cairan, rendah serat, dan tidak mengandung gas.
b. Berikan ekstra susu atau makanan dalam keadaaan hangat.
c. Berikan makan mulai dari sedikit tetapi sering sehingga jumlah asupan terpenuhi.
d. Berikan nutrisi dalam bentuk makanan lunak untuk membantu nafsu makan.
e. Monitor perubahan berat badan,adanya bising usus, status gizi.
2. Hipertermia
Terjadinya hipertemia ini dapat disebabkan oleh adanya reaksi kuman Salmonella typhosa yang masuk ke dalam tubuh. Untuk mengatasinya adalah dengan tujuan mempertahankan kondisi suhu tubuh dalam batas normal dengan cara menurunkannya.
Tindakan:
a. Monitor perubahan suhu tubuh, denyutan nadi
b. Lakukan tindakan yang dapat menurunkan suhu tubuh seperti lakukan kompres,berikan pakaian tipis untuk memudahkan proses penguapan.
c. Berikan antipiretik dan antibiotik sesuai dengan ketentuan.
d. Libatkan keluarga dalam perawatan serta ajari cara menurunkan suhu dan mengevaluasi perubahan suhu tubuh.
3. Risiko Terjadi Komplikasi (Cedera)
Risiko terjadi cedera dalam hal ini adalah adanya komplikasi lebih lanjut dari tifus abdominalis ini seperti adanya perdarahan,perforasi, tukak daerah mukosa yang dapat mengganggu sistem dalam tubuh oleh karena kemampuan kuman dalam merusak sistem serta adanya penurunan daya tahan tubuh. Tujuan dari rencana keperawatan adalah mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut.
Tindakan:
a. Berikan istirahat yang cukup selama demam, dan lakukan mobilisasi setelah 2 minggu bebas panas mulai dari duduk.
b. Monitorlah adanya tanda komplikasi.
c. Berikan antibiotik sesuai dengan ketentuan.
d. Libatkan keluarga dalam perawatan dan ajari cara melakukan perawatan secara aseptik.
DAFTAR PUSTAKA

Asdie,Ahmad H. 1999. Prinsip-prinsip Penyakit Dalam. Jakarta : EGC
Hidayat,Aziz Alimul A. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba Medika
Kaspan , M. Faried, Widodo Darmowandowo. Demam Tifoid http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=ePDT&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-fkxu277.htm
Manjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUIK
Rampengan, T.H. 1993. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta: EGC.
Soegijanto, Soegeng. 2002. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika.












APENDISITIS






Oleh:
Kelompok V
Farida N N1A005004
Atika Dhiah N1A005011
Syafirial Uzaldy N1A005019
Meisa Agustin N1A005020
Ryan Hara. P N1A005029
M. Ghofur Feizal N1A005038
Eka Rehatiningrum N1A005045
Cecilia Rosqiah N1A005054
Ari Nurlaeli N1A005057
Sulastini N1A005062




DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2007
APPENDISITIS

1. Pengertian
Apendisitis adalah peradangan pada usus buntu (apendiks), atau radang pada appendiks vermiformis yang terjadi secara akut. Usus buntu merupakan penonjolan kecil yang berbentuk seperti jari, yang terdapat di usus besar, tepatnya di daerah perbatasan dengan usus halus. Usus buntu mungkin memiliki beberapa fungsi pertahanan tubuh, tapi bukan merupakan organ yang penting. Apendiks atau umbai cacing hingga saat ini fungsinya belum diketahui dengan pasti, namun sering menimbulkan keluhan yang mengganggu. Apendiks merupakan tabung panjang, sempit (sekitar 6 – 9 cm), menghasilkan lendir 1-2 ml/hari. Lendir itu secara normal dicurahkan dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Bila ada hambatan dalam pengaliran lendir tersebut maka dapat mempermudah timbulnya apendisitis (radang pada apendiks). Di dalam apendiks juga terdapat imunoglobulin, zat pelindung terhadap infeksi dan yang banyak terdapat di dalamnya adalah Ig A. Selain itu pada apendiks terdapat arteria apendikularis yang merupakan end-artery. Apendisitis sering terjadi pada usia antara 10-30 tahun.



2. Penyebab
Penyebab apendisitis belum sepenuhnya dimengerti. Pada kebanyakan kasus, peradangan dan infeksi usus buntu mungkin didahului oleh adanya penyumbatan di dalam usus buntu. Bila peradangan berlanjut tanpa pengobatan, usus buntu bisa pecah. Usus buntu yang pecah bisa menyebabkan:
• Masuknya kuman usus ke dalam perut, menyebabkan peritonitis, yang bisa berakibat fatal
• Terbentuknya abses
• Pada wanita, indung telur dan salurannya bisa terinfeksi dan menyebabkan penyumbatan pada saluran yang bisa menyebabkan kemandulan
• Masuknya kuman ke dalam pembuluh darah (septikemia), yang bisa berakibat fatal.
Selain itu banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi pada lumen apendiks ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras ( fekalit), hipeplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur. Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid.
3. Manifestasi Klinis
Ada beberapa gejala awal yang khas yakni nyeri yang dirasakan secara samar (nyeri tumpul) di daerah sekitar pusar. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah, kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada apendisitis akut yaitu nyeri pd titik Mc Burney. Nyeri perut ini akan bertambah sakit apabila terjadi pergerakan seperti batuk, bernapas dalam, bersin, dan disentuh daerah yang sakit. Nyeri yang bertambah saat terjadi pergerakan disebabkan karena adanya gesekan antara visera yang meradang sehingga menimbulkan rangsangan peritonium. Selain nyeri, gejala apendisitis akut lainnya adalah demam derajat rendah, mules, konstipasi atau diare, perut membengkak dan ketidakmampuan mengeluarkan gas. Gejala-gejala ini biasanya memang menyertai apendisitis akut namun kehadiran gejala-gejala ini tidak terlalu penting dalam menambah kemungkinan apendisitis dan begitu juga ketidakhadiran gejala-gejala ini tidak akan mengurangi kemungkinan apendisitis.
Pada kasus apendisitis akut yang klasik, gejala-gejala permulaan antara lain :
• Rasa nyeri atau perasaan tidak enak disekitar umbilikus ( nyeri tumpul ). Beberapa jam kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dan mungkin terdapat nyeri tekan disekitar titik Mc Burney. Rasa sakit semakin meningkat, sehingga pada saat berjalan pun penderita akan merasakan sakit yang mengakibatkan badan akan mengambil sikap membungkuk pada saat berjalan. Nyeri yang dirasakan tergantung juga pada letak apendiks, apakah di rongga panggul atau menempel di kandung kemih sehingga frekuensi kencing menjadi meningkat. Nyeri perut juga akan dirasakan bertambah oleh penderita bila bergerak, bernapas dalam, berjalan, batuk, dan mengejan. Nyeri saat batuk dapat terjadi karena peningkatan tekanan intra-abdomen.
• Muntah, mual ,dan tidak ada nafs umakan. Secara umum setiap radang yang terjadi pada sistem saluran cerna akan menyebabkan perasaan mual sampai muntah. Meskipun pada kasus apendisitis ini, tidak ditemukan mekanisme pasti mengapa dapat merangsang timbulnya muntah.
• Demam ringan ( 37,5° C – 38,5° C ) dan terasa sangat lelah
Proses peradangan yang terjadi akan menyebabkan timbulnya demam, terutama jika kausanya adalah bakteri. Inflamasi yang terjadi mengenai seluruh lapisan dinding apendiks. Demam ini muncul jika radang tidak segera mendapat pengobatan yang tepat.
• Diare atau konstipasi. Peradangan pada apendiks dapat merangsang peningkatan peristaltik dari usus sehingga dapat menyebabkan diare. Infeksi dari bakteri akan dianggap sebagai benda asing oleh mukosa usus sehingga secara otomatis usus akan berusaha mengeluarkan bakteri tersebut melalui peningkatan peristaltik. Selain itu, apendisitis dapat juga terjadi karena adanya feses yang keras ( fekolit ). Pada keadaan ini justru dapat terjadi konstipasi. Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga dapat menyebabkan terjadinya komplikasi yang lebih parah.

4. Patofisiologi
Patofisiologi appendicitis diawali dengan adanya sumbatan dan penyempitan lumen appendiks. Adanya sumbatan ini dapat disebabkan oleh berbagai hal, termasuk diantaranya : fekolith, hiperplasia jaringan limfoid submukosa, adanya parasit usus, corpua alenium, dan penyakit Crohn. Sekresi mukus dalam lumen appendiks yang terus menerus terjadi menyebabkan lumen appendiks distensi(tekanan intraluminar meningkat). Akibatnya akan memacu terjadinya iskemia jaringan, pertumbuhan bakteri berlebihan, inflamasi/peradangan transmural dan mungkin juga biasa terjadi perforasi. Peradangan mungkin juga bisa cepat menyebar ke peritoneum parietal dan struktur-struktur yang berdekatan.Pada appendicitis kronis obstruksi lumen bersifat partial, jika obstrukasi partial ini berubah menjadi total maka akan berkembang menjadi appendicitis akut.

Appendicitis akut fokal :
Nyeri viseral ulu hati karena regangan mukosa



Appendicitis supuratif :
Nyeri pada ttk Mc Burney
Peritonitis lokal

Appendicitis Gangrenosa

Perforasi

Peritonitis umum
5. Komplikasi
Komplikasi paling serius adalah ruptur appendiks. Hal ini terjadi jika appendisitis terlambat didiagnosis atau diterapi. Kasus ini paling sering terjadi pada bayi, anak, atau orang tua.
Bocornya appendiks dapat menyebabkan peritonitis dan pembentukan abses. Peritonitis adalah infeksi berbahaya yang terjadi akibat bakteri dan isi appendiks keluar mencemari rongga perut. Jika tidak diobati dengan cepat, peritonitis dapat berakibat kematian. Abses adalah massa lunak yang berisi cairan dan bakteri, biasanya terbentuk sebagai upaya tubuh untuk melokalisir infeksi.

6. Pemeriksaan Diagnostik
1. Anamnesa
a. Nyeri (mula-mula di daerah epigastrium, kemudian menjalar ke Mc Burney).
b. Muntah (rangsang viseral).
c. Panas (infeksi akut)
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada inspeksi biasa ditemukan distensi perut.
b. Palpasi
Kecurigaan menderita apendisitis akan timbul pada saat dokter melakukan palpasi perut dan kebahagian paha kanan. Pada daerah perut kanan bawah seringkali bila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri ( Blumberg sign ). Nyeri perut kanan bawah merupakan kunci dari diagnosis apendisitis akut.
Status lokalis
 Mc.burney :
 Nyeri tekan (+)
 Nyeri lepas (+) → rangsang peritoneum
 Nyeri ketok (+)
 Defens muskuler (+) →m.rektus abdominis
 Rovsing Sign (+) → pada penekanan perut bagian kontra Mc.Burney (kiri) terasa nyeri di Mc.Burney karena tekanan tersebut merangsang peristaltik usus dan juga udara dalam usus, sehingga bergerak dan menggerakan peritoneum sekitar appendix yang sedang meradang sehingga terasa nyeri.
 Psoas sign (+) → m.Psoas ditekan maka akan terasa sakit di titik Mc. Burney (pada appendix retrocaecal) karena merangsang peritoneum sekitar app yang juga meradang.
 Obturator sign (+) → fleksi dan endorotasi articulatio costa pada posisi supine, bila nyeri berarti kontak dengan m. obturator internus, artinya appendix di pelvis.
 Peritonitis umum (perforasi) :
 Nyeri di seluruh abdomen
 Pekak hati hilang
 Bising usus hilang
 Rectal touche : nyeri tekan pada jam 9 – 12
c. Kadang-kadang dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk menentukan letak apendiks bila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan colok dubur kemudian terasa nyeri maka kemungkinan apendiks penderita terletak didaerah pelvis.
7. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi.
• Pemeriksaan laboratorium, yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga apendisitis akut adalah pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktive(CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap sebagian besar pasien biasanya ditemukan jumlah leukosit diatas 10.000 dan neutrofil diatas 75 %.Sedang pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum yang mulai meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan.
• Pemeriksaan radiologi, yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga apendisitisakut antara lain adalah Ultrasonografi, CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonogarafi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedang pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendicalith serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran dari saekum
8. Penatalaksanaan Medis
Bila diagnosis sudah pasti, maka terapi yang paling tepat dengan tindakan operatif. Ada dua teknik operasi yang biasa digunakan :
• Operasi terbuka : satu sayatan akan dibuat ( sekitar 5 cm ) dibagian bawah kanan perut. Sayatan akan lebih besar jika apendisitis sudah mengalami perforasi.
• Laparoskopi : sayatan dibuat sekitar dua sampai empat buah. Satu didekat pusar, yang lainnya diseputar perut. Laparoskopi berbentuk seperti benang halus denagn kamera yang akan dimasukkan melalui sayatan tersebut. Kamera akan merekam bagian dalam perut kemudian ditampakkan pada monitor. Gambaran yang dihasilkan akan membantu jalannya operasi dan peralatan yang diperlukan untuk operasi akan dimasukkan melalui sayatan di tempat lain. Pengangkatan apendiks, pembuluh darah, dan bagian dari apendiks yang mengarah ke usus besar akan diikat.




Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen injuri fisik, diskontinuitas jaringan
2. Risiko infeksi b.d prosedur invasif
3. Kurang pengetahuan b.d kurang informasi
4. Risiko ketidakseimbangan volume cairan
Intervensi
1. Nyeri akut b.d agen injuri fisik, diskontinuitas jaringan
Manajemen nyeri :
• Lakukan pegkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
• Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
• Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri klien sebelumnya.
• Kaji kultur yang mempengaruhi nyeri.
• Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau.
• Evaluasi bersama klien dan tim kesehatan tentang keefektifan kontrol nyeri masa lampau.
• Bantu klien dan keluarga untuk mendapatkan dukungan
• Kontrol faktor lingkungan yang mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan.
• Kurangi faktor presipitasi nyeri.
• Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologis/non farmakologis)
• kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi.
• Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengetasi nyeri..
• Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
• Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol nyeri.
• Kolaborasi dengan dokter bila ada komplain tentang pemberian analgetik tidak berhasil.
• monitor penerimaan klien tentang manajemen nyeri.
Administrasi analgetik :
• Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat.
• Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi.
• Cek riwayat algi.
• ilih analgesik yang dibutuhkan dam kombinasi dari analgetik ketika pemberian lebih dari satu.
• Tentukan pilihan analgetik tergantung tipe dan beratnya nyeri.
• tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal.
• Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik.
• Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul.
• Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala efek samping.

2. Risiko infeksi b.d prosedur invasif
Konrol infeksi :
• Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.
• Pertahankan teknik isolasi.
• Batasi pengunjung bila perlu.
• Intruksikan kepada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan sesudahnya.
• Gunakan sabun anti miroba untuk mencuci tangan.
• Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.
• Gunakan baju dan sarung tangan sebagai alat pelindung.
• Cukur dan persiapkan daerah untuk persiapan prosedur infasif dan pembedahan.
• Pertahankan lingkungan yang aseptik selama pemasangan alat.
• Lakukan perawatan luka dan dresing infus setiap hari.
• Tingkatkan intake nutrisi.
• berikan antibiotik sesuai program.

Proteksi terhadap infeksi
• Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.
• Monitor hitung granulosit dan WBC.
• Monitor kerentanan terhadap infeksi.
• Batasi pengunjung.
• Saring pengunjung terhadap penyakit menular.
• Pertahankan teknik aseptik untuk setiap tindakan.
• Pertahankan teknik isolasi bila perlu.
• Berikan perawatan kulit pda area oedema.
• Inspeksi kulit dan mebran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase.
• Inspeksi kondisi luka, insisi bedah.
• Ambil kultur.
• Dorong masukan nutrisi adekuat.
• Dorong masukan cairan adekuat.
• Dorong istirahat yang cukup.
• Monitor perubahan tingkat energi.
• Dorong peningkattan mobilitas dan latihan.
• Dorong batuk dan napas dalam.
• Instruksikan klien untuk minum antibiotik sesuai program.
• Ajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala infeksi.
• Ajarkan cara menghindari infeksi.
• Batasi buah segar, sayuran, dan merica pada pasien neutropenia.
• Jauhkan bunga dan tanaman dari lingkungan klien.
• Berikan ruang pribadi.
• Yakinkan keamanan air dan hiperklorinisasi dan pemanasan.
• Laporkan kecurigaan infeksi.
• Laporkan jika kultur positif.
Imunisasi vaksinasi :
• Ajarkan kepada keluarga tentang jadwal imunisasi, alsan dan manfaatnya serta efek samping.
• Ajarkan kepada keluarga tentang jenis vaksinasi yang sesuai dengan paparan tertentu.
• Berikan informasi tertulis jika perlu.
• Sediakan catatan tentang tanggal dan jenis imunisasi.
• Identifikasi tentang teknik administrasi yang tepat.
• Identifikasi rekpomendasi terbaru tentang manfaat imunisasi.
• Berikan injeksi pada paha anterolateral.
• Informasikan imunisasi untuk turis yang akan pergi keluar negeri.
• Identifikasi tentang kontra indikasi imunisasi.
• yakinkan informed concenst untuk pemberian imunisasi.
• Bantu keluarga dengan masalah keuangann untuk pembayaran imunisasi.
• Observasi klien setelah pemberian imunisasi.
• Restrain anak selama pemberian imunisasi.
• Jadwalkan imunisasi dalam selang waktu yang tepat.
3. Kurang pengetahuan b.d kurang informasi
• Diskusikan aspek ketidakmampuan dari penyakit, lama penyembuhan dan harapan kesembuhan.
• Berikan informasi secara jelas dan sederhana.
• Jelaskan setiap prosedur tindakan yang diberikan; maksud dan tujuan serta sikap yang diharapkan.
• Jelaskan istilah-istilah medis yang klien/keluarga belum mengetahuainya.
• Libatkan klien/keluarga dalam perencanaan dan program perawatan.
4. Risiko ketidakseimbangan volume cairan
• Pantau tanda dan gejala dini defisit volume cairan
• Berikan obat antiemetik sesuai program.
• Berikan cairan sering dalam jumlah kecil untuk mendorong urinasi setiap 2 jam.
• Monitor respon pasien terhadap pemberian terapi cairan.
• Evaluasi pemberian terapi cairan dari respon yang muncul
• Pantau input dan output cairan, pastikan input dapat mengkompensasi output.
• Timbang BB setiap hari.
Daftar Pustaka
Carpenito,LJ, 1999, Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, EGC, Jakarta.
Cecily L.Betz & Linda A. Sowden, 2001, Buku saku Keperawatan Pediatri, EGC, Jakarta.
Irga. 2007. Apendisitis Akut. www.irwanashari.blogspot.com.
Markum. A.H.1991, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Jakarta.
McCloskey J.C, Bulechek G.M, 1996, Nursing Intervention Classification (NIC), Mosby, St. Louis.
Nanda, 2001, Nursing Diagnoses : Definition and Classification 2001-2002, Philadelphia.
NN. 13 Nopember 2007. Apendisitis (Radang Usus buntu). www.medika.blogspot.com.
Price & Wilson,1995, Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, EGC, Jakarta
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner dan Suddarth. EGC; Jakarta.

TUGAS KEPERAWATAN ANAK
GAGAL NAFAS






KELOMPOK 1

Gina Meirawaty NIA005007
Nur Afip Alfian N1A005015
Rini Astuti N1A005021
Pandu Prabowo N1A005024
Ima Setya Ningrum N1A005031
Dyah Rofi P N1A005032
Yulia Fauziyah N1A005033
Yusep Abdul Latief N1A005034
Romantika Vesdita N1A005037
Rofiyana N1A005056





PROGRAM SARJANA KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2007
GAGAL NAFAS

A. Pengertian
Gagal nafas Adalah gangguan pada sistem pernapasan, karena gangguan primer pada paru atau gangguan lain, hingga kebutuhan metabolisme tubuh tak dapat terpenuhi.
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997).
Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2001).
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001)

B. Etiologi
1. Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal.
2. Kelainan neurologis primer
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan sangat mempengaruhi ventilasi.
3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas.
4. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar
5. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal nafas.

C. Patofisiologi
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang bebrbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunya normal secara struktural maupun fungsional sebelum penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara). Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali ke asalnya. Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas yaitu frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitas vital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode post operatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkan atau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pneumonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.
Mekanisme patofisologi yang menjadi dasar dari gagal nafas :
a. Perfusi tanpa ventilasi (shunting)
b. Dead space ventilasi (ventilasi tanpa perfusi)
c. Difusi abnormal
d. Hipoventilasi alveolar
Skema Patofisiologi Gagal nafas
(anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia, Pneumonia dengan Peny. paru2)

Pusat pernapasan tertekan

Pernapasan lambat dan dangkal

Gagal nafas akut
D. Manifestasi Klinis
a. Kesadaran menurun dan agitasi
b. Peningkatan frekuensi napas, berupa: retraksi suprasternal, interkostal, supraklavikular dan retraksi epigastrium, takipneu, pernapasan paradoks.
c. Sianosis
d. Takikardi
e. Bradipneu (dalam keadaan lanjut)
E. Faktor Presipitasi
a. Peningkatan volume, viskositas, dan purulensi dahak dapat menyebabkan peningkatan obstruksi jalan nafas dan inflamasi dan sekresi jalan napas, khususnya yang berhubungan dengan dorongan ventilasi yang relative menjadi tumpul, menyebabkan keadaan hipoksia semakin buruk dan peningkatan retensi CO2
b. Pemakaian obat depresan
c. Serangan polusi udara
F. Komplikasi
a. Aritmia kordis
b. Takikardi supraventrikel multifokal
c. Gagal ventrikel kiri
d. Emboli paru
e. Perdarahan saluran makanan akibat ulserasi stress
G. Pemeriksaan
a. Pemerikasan gas-gas darah arteri
Hipoksemia
Ringan : PaO2 < 80 mmHg
Sedang : PaO2 < 60 mmHg
Berat : PaO2 < 40 mmHg
b. Pemeriksaan rontgen dada
Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui
H. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
Tujuan pengobatan kegagalan pernafasan adalah perbaikan pertukaran gas yang adekuat dengan komplikasi minimum. Ini dicapai dengan pelenyapan factor-faktor pencetus secepat mungkin. Terapi spesifik penyakit pencetus dan atau penyakit yang mendasari adalah sangat penting. Dengan demikian kegagalan pernafasan yang disebabkan oleh edema paru kardiogenik diobati dengan obat-obat inotropik dan diuretic. Anak dengan asma harus ditatalaksana dengan obat-obat bronkodilator dan antiradang. Sayangnya, bahkan pada penyakit akut seperti ini, respon terhadap pengobatan tidak terjadi segera dan seringkali keseluruhan fungsi system pernafasan harus didukung secara artificial. Tujuan lain juga adalah membuat oksigenasi arteri adekuat, dengan meningkatkan perfusi jaringan dan meniadakan penyebab dasar dari gagal nafas tersebut. Hipoksemia lebih berbahaya daripada hiperkarbia dan mungkin lebih mudah dikoreksi. Pemberian tambahan oksigen merupakan tindakan pencegahan yang aman dan bijaksana pada semua penderita yang beresiko kegagalan pernafasan, walaupun tidak ada bukti awal hipoksemia. Oksigen dapat diberikan melalui masker, kanulasi hidung, kerudung kepala, atau tenda. Masker biasanya dapat ditoleransi dengan baik karena bayi dan anak ketakutan. Kerudung kepala memberikan kadar oksigen yang diinspirasi lebih konsisten daripada alat lain apapun, tetapi kerudung ini besar dan membatasi akses ke penderita. Karenanya, kerudung mempunyai pemakaian terbatas untuk pengobatan dini di dalam kamar gawat darurat.
Indikasi untuk dukungan ventilasi pada anak dengan kegagalan pernapasan biasanya didasarkan pada adanya atau semakin jeleknya pertukaran gas. Ventilasi mekanis diperlukan pada anak dengan pneumonia yang berkembang hipoksemia dan hiperkarbia berat karena meski diberi terapi antibiotic yang paling efektif pun masih memerlukan waktu. Kadang-kadang dukungan ventilasi harus dilakukan bila tidak ada perubahan dalam PO2 dan PCO2 arteri ketika disfungsi system lain membahayakan pertukaran gas dengan sangat membatasi kemampuan mengkompensasi system pernapasan. Syok kardiovaskuler adalah contoh yang khas. Pada keadaan ini penurunan aliran darah dan penghantaran substrat pada otot-otot pernapasan dapat mengurangi gaya yang dapat berkembang pada otot-otot ini dan dapat mempercepat kegagalan pernapasan, walaupun tidak ada kelainan mekanis system pernapasan yang berat.
Biasanya (terapi tidak selalu) dukungan ventilasi memerlukan intubasi trakea dengan pipa endotrakeal atau yang jarang, dengan kanula trakeostomi. Tanpa memandang tipe ventilator, tujuan tujuan ventilasi mekanis bukan untuk menormalisasi tekanan gas darah arteri, tetapi lebih tepatnya adalah untuk memberikan pertukaran gas yang adekuat. Definisi adekuat telah sangat berubah. Sekarang ada consensus yang beralasan pada mereka yang mengobati anak yang sakit berat bahwa beberapa paru akibat oksigen dan regangan minimal. Hiperkarbia sedang (yang dibolehkan) (PCO2 60-80 mmHg) tidak mempunyai akibat negative yang dapat dideteksi selama masa yang pendek, sebagian karena pengaruhnya pada pH arteri dikurangi melalui retensi bikarbonat ginjal. Hipoksemia sedang (saturasi oksigen 85-90%) sama-sama ditoleransi dengan baik pada penderita jantung dipertahankan pada batas-batas fisiologis dan keadaan-keadaan seperti demam dan agitasi, yang meningkatkan kebutuhan oksigen jaringan, dicegah. Ventilasi mekanis artificial biasanya dimulai dengan ventilator pendorong volume biasa; ventilator pancaran frekuensi tinggi atau ventilator osilator sering digunakan sebagai terapi penyelamatan jika ventilator biasa gagal memperbaiki oksigenasi.
Oksigenasi membrane ekstrakorporal (extracorporal membrane oxygenation [ECMO]) dan atau pembuangan karbondioksida digunakan pada pengobatan bayi baru lahir dan bayi kecil yang tidak berespon pada ventilasi mekanis dan diharapkan sembuh dalam masa yang singkat. ECMO menggunakan membrane artificial untuk mengatur kandungan oksigen dan karbondioksida darah yang dialihkan dari vena sentral penderita. Darah yang diobati kemudian dikembalikan dengan bantuan pompa artificial ke sirkulasi arteri (veno-arteri) atau ke vena (veno-venosa). Karena risikonya (dari kanulasi vaskuler dan antikoagulasi) dan kenyataan bahwa manfaatnya dibandingkan manajemen konvensional pada penderita non-neonatus belum dipergakan secara jelas, indikasi untuk pertukaran gas ekstrakorporal harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati. Nitrit oksida hirupan dapat memperbaiki oksigenasi secara cepat dengan mengurangi kenaikan tahanan vaskuler pulmonal.
Berdasarkan hal diatas maka hampir selalu diawali dengan oksigenasi. Biasanya diberikan dalam jumlah yang melebihi kebutuhan, tapi dapat diatur kembali dilain waktu. Pada orang dengan kadar karbondioksida tinggi yang sudah kronis, oksigen yang berlebih bias memperlambat pergerakan udara (ventilasi) ke dalam dan keluar paru-paru, hal ini justru makin meningkatkan kadar karbondioksida sehingga sangat berbahaya. Oleh karena itu pada beberapa orang dosis oksigen harus diberikan dengan hati0hati.
Penanganan gagal napas dapat dilakukan diantaranya antara lain:
• Antibiotic untuk melawan infeksi,
• Bronkodilator untuk membuka jalan nafas,
• Obat-obatan lain yang diberikan untuk menurunkan proses inflamasi dan mencegah pembekuan darah,
• Ventilator mekanik; diberikan jika kondisinya sudah sangat sehingga membutuhkan bantuan dalam usaha pernafasannya. Alat ini sangat berguna pada pasien yang tidak mampu bernafas secara adekuat. Pipa plastic yang dimasukkan lewat mulut atau hidung (endotrakea tube) atau melalui trakea (tracheostomy tube) disambungkan dengan mesin yang memaksa udara masuk ke dalam paru. Sedangkan ekhalasi terjadi secara passive karena elastisitas paru-paru.
Terdapat beberapa tipe ventilator dan mode operasi yang digunakan tergantung dari jenis gangguan yang ada. Jika paru-paru tidak berfungsi dengan baik, oksigen tambahan dapat diberikan melalui ventilator. Pada orang yang tidak membutuhkan dukungan pernafasan secara penuh, masker (menutupi mulut dan hidung) dapat digunakan untuk memberikan tekanan positif, sehingga membantu meringankan usaha seseorang saat bernafas dan mencegah kelelahan otot-otot pernafasan. Hampir setengah dari penderita gagal nafas menggunakan teknik ini (bi-level positive air way pressure atau CPAP) untuk menghindari kebutuhan intubasi trakea. Penggunaan bi-level positive air way pressure pada malam hari dapat membantu orang dengan gagal nafas karena kelemahan otot pernafasan. Dengan begitu setelah istirahat semalaman, otot-otot pernafasan dapat berfungsi lebih efektif pada siang hari.
• Jumlah cairan tubuh juga harus dimonitor secara ketat dan diatur untuk memaksimalkan fungsi paru-paru dan jantung. Keasaaman darah harus dijaga keseimbangannya dengan mengatur frekuensi dan ukuran/volume pernafasan yang diberikan melalui ventilator.
• Orang dengan ventilator dapat mengalami agitasi yang dapat dikontrok dengan obat sedasi lorazepam, midazolam, atau opioid seperti morfin atau fentanyl,
• Infeksi bakteri yang dapat berkembang saat seseorang terpasang ventilator mekanik harus segera didiagnosis dan diobati secepat mungkin.
2. Medikamentosa
Nama obat Sediaan Pemberian Dosis

Aminofilin Larutan 24 mg/ml intravena 4-6 mg/kg BB dalam 30 menit dilanjutkan dengan 0,8-0,9 mg/kg BB/jam

Epinefrin 1 mg/ml (1:1000) subcutan 0,001 mg/kg BB, Maks 0,03 mg

Salbutamol Larutan 0,5 % inhalasi 0,05-0,15 mg/kg BB

Terbutalin MDI (0,2 mg/puff)
Larutan 0,1 % inhalasi
subcutan 1-2 puff maks 6 mg
0,2 mg/kg BB, Maks 6 mg

Metil prednisolon Larutan 125 mg/mg intravena 1 mg/kg BB tiap 6 jam
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Airway
- Peningkatan sekresi pernapasan
- Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
b. Breathing
- Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi.
- Menggunakan otot aksesori pernapasan
- Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis, sianosis
c. Circulation
- Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
- Sakit kepala
- Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk
- Papiledema
- Penurunan haluaran urine
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan ekspansi paru
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pola pernapasan yang efektif.
Kriteria Hasil :
Pasien menunjukkan
- Frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan normal
- Adanya penurunan dispneu
- Gas-gas darah dalam batas normal
Intervensi :
- Kaji frekuensi, kedalaman dan kualitas pernapasan serta pola pernapasan.
- Kaji tanda vital dan tingkat kesasdaran setaiap jam dan prn
- Monitor pemberian trakeostomi bila PaCo2 50 mmHg atau PaO2< 60 mmHg
- Berikan oksigen dalam bantuan ventilasi dan humidifier sesuai dengan kebutuhan
- Pantau dan catat gas-gas darah sesuai indikasi : kaji kecenderungan kenaikan PaCO2 atau kecendurungan penurunan PaO2
- Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap 1 jam
- Pertahankan tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30 sampai 45 derajat untuk mengoptimalkan pernapasan
- Berikan dorongan utnuk batuk dan napas dalam, bantu pasien untuk mebebat dada selama batuk
- Instruksikan pasien untuk melakukan pernapasan diagpragma atau bibir
- Berikan bantuan ventilasi mekanik bila PaCO > 60 mmHg. PaO2 dan PCO2 meningkat dengan frekuensi 5 mmHg/jam. PaO2 tidak dapat dipertahankan pada 60 mmHg atau lebih, atau pasien memperlihatkan keletihan atau depresi mental atau sekresi menjadi sulit untuk diatasi.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi sekunder terhadap hipoventilasi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pertukaran gas yang adekuat
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan :
- Bunyi paru bersih
- Warna kulit normal
- Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan
Intervensi :
- Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia
- Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap[ jam dan prn, laporkan perubahan tinmgkat kesadaran pada dokter.
- Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan dalam PaCO2 atau penurunan dalam PaO2
- Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP atau PEEP.
- Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam
- Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan atau penyimpangan
- Pantau irama jantung
- Berikan cairan parenteral sesuai pesanan
- Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.
- Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan oksigen.
c. Kelebihan volume cairan b.d edema pulmo
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan pasien tidak terjadi kelebihan volume cairan.
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan:
- TTV normal
- Balance cairan dalam batas normal
- Tidak terjadi edema
Intervensi :
- Timbang BB tiap hari
- Monitor input dan output pasien tiap 1 jam
- Kaji tanda dan gejala penurunan curah jantung
- Kaji tanda-tanda kelebihan volume : edema, BB , CVP
- Monitor parameter hemodinamik
- Kolaborasi untuk pemberian cairandan elektrolit
d. Gangguan perfusi jaringan b.d penurunan curah jantung
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mampu mempertahankan perfusi jaringan.
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan
- Status hemodinamik dalam bata normal
- TTV normal
Intervensi :
- Kaji tingkat kesadaran
- Kaji penurunan perfusi jaringan
- Kaji status hemodinamik
- Kaji irama EKG
- Kaji sistem gastrointestinal






Daftar Pustaka

Brunner and Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Isselbasher et al. 2000. Harrison: Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC.

NN. Rabu, 4 Juli 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gagal Nafas. http://keperawatan-gun.blogspot.com/2007/07/asuhan-keperawatan-pada-pasien-dengan.html. Diakses pada tanggal 30 November 2007.

NN. Senin, 8 Januari 2007. Memahami dan melakukan perawatan pada pasien dengan gagal nafas. http://nursingbrainriza.blogspot.com/2007/01/memahami-dan-melakukan-perawatan-pada.html. Diakses pada tanggal 30 November 2007.

NN. 7 Oktober 2006. Gagal Nafas Akut. http://puskesmaspalaran.wordpress.com/

NN. 1 Desember 2006. Gagal Nafas Akut. http://cakmoki86.wordpress.com/. Diakses Tanggal : 30 November 2007.





















ANEMIA








Disusun Oleh :
M. Badrushshalih
Ferani Nusi C
Roisca Dyah P.
Triyadini
Puput Pangesti
Herta Vika
M. Zaky
Antony Kurniawan
Untung Imam S.




DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2007
PENDAHULUAN

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar haemoglobin (protein pembawa oksigen) menurun sehingga tubuh akan mengalami hipoksia sebagai akibat kemampuan kapasitas pengangkutan oksigen dari darah berkurang.
Sumber yang lain mengatakan bahwa anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah.
Dokter spesialis anak Djajadiman Gatot dari Divisi Hematologi Onkologi, Ilmu Kesehatan Anak FKUI, menyebutkan berkurangnya produksi sel darah merah karena kurang zat besi, asam folat dan vit B12, perdarahan dan penghancuran sel darah merah (hemolisis) sebagai penyebab terbanyak terjadinya anemia pada anak.
Menurut kriteria Badan Kesehatan Dunia (WHO), seseorang sudah mengalami anemia bila kadar Hb kurang dari 11 g/dl pada usia kurang dari enam tahun dan kadar Hb kurang dari 12 g/dl pada usia lebih dari enam tahun.
Menurut Direktur Bina Kesehatan Anak Departemen Kesehatan, Rachmi Untoro, penyebab langsung timbulnya anemia adalah asupan makanan yang tidak cukup dan infeksi penyakit seperti cacingan dan malaria. "Penyebab tidak langsung adalah ketimpangan gender, sehingga tidak ada ketersediaan pangan keluarga untuk ibu dan anak," katanya.
Survey yang dilakukan oleh Hellen Keller International di kawasan kumuh beberapa kota besar di Indonesia menunjukkan bahwa 65% balita yang ada menderita anemia gizi besi (HKI, 1999). Menurut Kodiyat (1995), prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil di Indonesia sebesar 63,5%, balita (55,5%), anak usia sekolah (20 -40%), wanita dewasa (30 - 40%), pekerja berpenghasilan rendah (30 - 40%) dan pria dewasa (20 - 30%). Jelas dapat diamati bahwa anemia (khususnya gizi besi) masih merupakan "PR" besar yang harus diselesaikan oleh bangsa Indonesia.







ANEMIA

Pengertian
Anemia secara garis besar merupakan gangguan pada komponen darah, hemoglobin (protein pembawa oksigen), dimana kadar hemoglobin (Hb) tersebut menurun sehingga tubuh mengalami hipoksia sebagai akibat kemampuan kapasitas pengangkutan oksigen dari darah berkurang.
Penilaian anemia ini tergantung pada usia dan jenis kelamin setiap individu. Adapun kriteria penilaian maximum konsentrasi hemoglobin.
Sex/Age, Years Hemoglobin, < g/dL
Males and Females
1 to less than 2 11.0
2 to < 5 11.1
5 to < 8 11.5
8 to < 12 11.9
Males
12 to <15 12.5
15 to < 18 13.3
≥ 18 13.5
Females
12 to < 15 11.8
15 to < 18 12.0
≥ 18 12.0
Menurut Dacie nilai rujukan hemoglobin tergantung pada umur, jenis kelamin, ras, letak geografis, metode pemeriksaan dengan nilai rujukan yang berbeda pula. Kriteria maksimum hemoglobin menurut Dacie :
• BBL : 18 ± 4 g%
• 3-6 bl : 12,6 ± 1,5 g%
• 1 th : 12,6 ± 1,5 g%
• 2-6 th : 12,5 ± 1,5 g%
• 6-12 th : 13,5 ± 2 g %
• Dewasa wanita : 13,5 ± 1,5 g%
• Dewasa pria : 15 ± 2 g%
Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologinya. Pada klasifikasi anemia menurut morfologi dikenal tiga klasifikasi besar dengan memperhatikan kandungan MCV dan MCHC dalam darah itu sendiri.
1. Anemia normositik normokrom
Pada anemia jenis ini ukuran dan bentuk sel-sel darah merah normal serta mengandung hemoglobin dalam jumlah normal (MCV dan MCHC normal atau normal rendah) tetapi individu menderita anemia. Penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronik termasuk infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sumsum dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang.
2. Anemia makrositik normokrom
Makrositik berarti ukuran sel-sel darah merah lebih besar dari normal tetapi normokrom karena konsentrasi hemoglobinnya normal (MCV meningkat; MCHC normal). Hal ini diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNA seperti yang ditemukan pada defisiensi B12 dan atau asam folat.
3. Anemia mikrositik hipokrom
Mikrositik berarti kecil, hipokrom berarti mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal (MCV rendah; MCHC rendah). Hal ini umumnya menggambarkan insufisiensi sintesis hem (besi), seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan sideroblastik dan kehilangan darah kronik, atau gangguan sintesis globin, seperti pada talasemia (penyakit hemoglobin abnormal congenital).
Sedangkan klasifikasi anemia menurut etiologinya adalah :
1. Anemia Pasca Perdarahan (Post Hemorrhagic)
Anemia Karena Perdarahan Hebat adalah berkurangnya jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin (protein pengangkut oksigen) yang disebabkan oleh perdarahan hebat.
Jika kehilangan darah, tubuh dengan segera menarik cairan dari jaringan diluar pembuluh darah sebagai usaha untuk menjaga agar pembuluh darah tetap terisi. Akibatnya darah menjadi lebih encer dan persentase sel darah merah berkurang. Pada akhirnya, peningkatan pembentukan sel darah merah akan memperbaiki anemia. Tetapi pada awalnya anemia bisa sangat berat, terutama jika timbul dengan segera karena kehilangan darah yang tiba-tiba, seperti yang terjadi pada :
 Kecelakaan
 Pembedahan
 Persalinan
 Pecahnya pembuluh darah.
Yang lebih sering terjadi adalah perdarahan menahun (terus menerus atau berulang-ulang), yang bisa terjadi pada berbagai bagian tubuh:
 Perdarahan hidung dan wasir : jelas terlihat
 Perdarahan pada tukak lambung dan usus kecil atau polip dan kanker usus besar) : mungkin tidak terlihat dengan jelas karena jumlah darahnya sedikit dan tidak tampak sebagai darah yang merah di dalam tinja; jenis perdarahan ini disebut perdarahan tersembunyi
 Perdarahan karena tumor ginjal atau kandung kemih ; bisa menyebabkan ditemukannya darah dalam air kemih
 Perdarahan menstruasi yang sangat banyak.
Gejala
Hilangnya sejumlah besar darah secara mendadak dapat menyebabkan 2 masalah:
a. Tekanan darah menurun karena jumlah cairan di dalam pembuluh darah berkurang
b. Pasokan oksigen tubuh menurun karena jumlah sel darah merah yang mengangkut oksigen berkurang.
Kedua masalah tersebut bisa menyebabkan serangan jantung, stroke atau kematian. Anemia yang disebabkan oleh perdarahan bisa bersifat ringan sampai berat, dan gejalanya bervariasi. Anemia bisa tidak menimbulkan gejala atau bisa menyebabkan:
 Pingsan
 Pusing
 Haus
 Berkeringat
 Denyut nadi yang lemah dan cepat
 Pernafasan yang cepat
Penderita sering mengalami pusing ketika duduk atau berdiri (hipotensi ortostatik). Anemia juga bisa menyebabkan kelelahan yang luar biasa, sesak nafas, nyeri dada dan jika sangat berat bias menyebabkan kematian. Berat ringannya gejala ditentukan oleh kecepatan hilangnya darah dari tubuh. Jika darah hilang dalam waktu yang singkat (dalam beberapa jam atau kurang), kehilangan sepertiga dari volume darah tubuh bisa berakibat fatal. Jika darah hilang lebih lambat (dalam beberapa hari, minggu atau lebih lama lagi), kehilangan sampai dua pertiga dari volume darah tubuh bisa hanya menyebabkan kelelahan dan kelemahan atau tanpa gejala sama sekali.
Penatalaksanaan
Pengobatan tergantung kepada kecepatan hilangnya darah dan beratnya anemia yang terjadi. Satu-satunya pengobatan untuk kehilangan darah dalam waktu yang singkat atau anemia yang berat adalah transfusi sel darah merah. Selain itu, sumber perdarahan harus ditemukan dan perdarahan harus dihentikan. Jika darah hilang dalam waktu yang lebih lama atau anemia tidak terlalu berat, tubuh bisa menghasilkan sejumlah sel darah merah yang cukup untuk memperbaiki anemia tanpa harus menjalani transfusi. Zat besi yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah juga hilang selama perdarahan. Karena itu sebagian besar penderita anemia juga mendapatkan tambahan zat besi, biasanya dalam bentuk tablet.
2. Anemia Hemolitik
Anemia Hemolitik adalah anemia yang terjadi karena meningkatnya penghancuran sel darah merah. Dalam keadaan normal, sel darah merah mempunyai waktu hidup 120 hari. Jika menjadi tua, sel pemakan dalam sumsum tulang, limpa dan hati dapat mengetahuinya dan merusaknya. Jika suatu penyakit menghancurkan sel darah merah sebelum waktunya (hemolisis), sumsum tulang berusaha menggantinya dengan mempercepat pembentukan sel darah merah yang baru, sampai 10 kali kecepatan normal. Jika penghancuran sel darah merah melebihi pembentukannya, maka akan terjadi anemia hemolitik.
Beberapa etiologi dari anemia hemolitik meliputi:
Pembesaran Limpa
Ketika terjadi pembesaran, limpa cenderung menangkap dan menghancurkan sel darah merah; membentuk suatu lingkaran setan, yaitu semakin banyak sel yang terjebak, limpa semakin membesar dan semakin membesar limpa, semakin banyak sel yang terjebak. Anemia yang disebabkan oleh pembesaran limpa biasanya berkembang secara perlahan dan gejalanya cenderung ringan.
Pembesaran limpa juga seringkali menyebabkan berkurangnya jumlah trombosit dan sel darah putih. Pengobatan biasanya ditujukan kepada penyakit yang menyebabkan limpa membesar. Kadang anemianya cukup berat sehingga perlu dilakukan pengangkatan limpa (splenektomi).
Kerusakan Mekanik Sel Darah Merah
Dalam keadaan normal, sel darah merah berjalan di sepanjang pembuluh darah tanpa mengalami gangguan. Tetapi secara mekanik sel darah merah bisa mengalami kerusakan karena adanya kelainan pada pembuluh darah (misalnya suatu aneurisma), katup jantung buatan atau karena tekanan darah yang sangat tinggi. Kelainan tersebut bisa menghancurkan sel darah merah dan menyebabkan sel darah merah mengeluarkan isinya ke dalam darah. Pada akhirnya ginjal akan menyaring bahan-bahan tersebut keluar dari darah, tetapi mungkin saja ginjal mengalami kerusakan oleh bahan-bahan tersebut.
Jika sejumlah sel darah merah mengalami kerusakan, maka akan terjadi anemia hemolitik mikroangiopati. Diagnosis ditegakkan bila ditemukan pecahan dari sel darah merah pada pemeriksaan contoh darah dibawah mikroskop. Penyebab dari kerusakan ini dicari dan jika mungkin, diobati.
Reaksi Autoimun
Jika suatu reaksi autoimun ditujukan kepada sel darah merah, akan terjadi anemia hemolitik autoimun. Anemia hemolitik autoimun memiliki banyak penyebab, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Diagnosis ditegakkan jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi (autoantibodi) dalam darah, yang terikat dan bereaksi terhadap sel darah merah sendiri. Anemia hemolitik autoimun dibedakan dalam dua jenis utama, yaitu anemia hemolitik antibodi hangat (paling sering terjadi) dan anemia hemolitik antibodi dingin.
a. Anemia Hemolitik Antibodi Hangat
Anemia hemolitik antibodi hangat adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk autoantibodi yang bereaksi terhadap sel darah merah pada suhu tubuh. Autoantibodi ini melapisi sel darah merah, yang kemudian dikenalinya sebagai benda asing dan dihancurkan oleh sel perusak dalam limpa atau kadang dalam hati dan sumsum tulang.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita. Sepertiga penderita anemia jenis ini menderita suatu penyakit tertentu (misalnya limfoma, leukemia atau penyakit jaringan ikat, terutama lupus eritematosus sistemik) atau telah mendapatkan obat tertentu, terutama metildopa.
Gejalanya seringkali lebih buruk daripada yang diperkirakan, mungkin karena anemianya berkembang sangat cepat. Limpa biasanya membesar, sehingga bagian perut atas sebelah kiri bisa terasa nyeri atau tidak nyaman.
Pengobatan tergantung dari penyebabnya. Jika penyebabnya tidak diketahui, diberikan kortikosteroid (misalnya prednison) dosis tinggi, awalnya melalui intravena, selanjutnya peroral. Sekitar sepertiga penderita memberikan respon yang baik terhadap pengaobatan tersebut. Penderita lainnya mungkin memerlukan pembedahan untuk mengangkat limpa, agar limpa berhenti menghancurkan sel darah merah yang terbungkus oleh autoantibodi.
Pengangkatan limpa berhasil mengendalikan anemia pada sekitar 50% penderita. Jika pengobatan ini gagal, diberikan obat yang menekan sistem kekebalan (misalnya siklosporin dan siklofosfamid). Transfusi darah dapat menyebabkan masalah pada penderita anemia hemolitik autoimun.
b. Anemia Hemolitik Antibodi Dingin
Anemia hemolitik antibodi dingin adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk autoantibodi yang bereaksi terhadap sel darah merah dalam suhu ruangan atau dalam suhu yang dingin. Anemia jenis ini dapat berbentuk akut atau kronik.
Bentuk yang akut sering terjadi pada penderita infeksi akut, terutama pneumonia tertentu atau mononukleosis infeksiosa. Bentuk akut biasanya tidak berlangsung lama, relatif ringan dan menghilang tanpa pengobatan. Bentuk yang kronik lebih sering terjadi pada wanita, terutama penderita reumatik atau artritis yang berusia diatas 40 tahun.
Bentuk yang kronik biasanya menetap sepanjang hidup penderita, tetapi sifatnya ringan dan kalaupun ada, hanya menimbulan sedikit gejala. Cuaca dingin akan meningkatkan penghancuran sel darah merah, memperburuk nyeri sendi dan bisa menyebabkan kelelahan dan sianosis (tampak kebiruan) pada tangan dan lengan.
Penderita yang tinggal di daerah bercuaca dingin memiliki gejala yang lebih berat dibandingkan dengan penderita yang tinggal di iklim hangat.
Diagnosis ditegakkan jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi pada permukaan sel darah merah yang lebih aktif pada suhu yang lebih rendah dari suhu tubuh.
Tidak ada pengobatan khusus, pengobatan ditujukan untuk mengurangi gejala-gejalanya. Bentuk akut yang berhubungan dengan infeksi akan membaik degnan sendirinya dan jarang menyebabkan gejala yang serius. Menghindari cuaca dingin bisa mengendalikan bentuk yang kronik.
Hemoglobinuria Paroksismal Nokturnal.
Hemoglobinuria paroksismal nokturnal adalah anemia hemolitik yang jarang terjadi, yang menyebabkan serangan mendadak dan berulang dari penghancuran sel darah merah oleh sistem kekebalan.
Penghancuran sejumlah besar sel darah merah yang terjadi secara mendadak (paroksismal), bisa terjadi kapan saja, tidak hanya pada malam hari (nokturnal), menyebabkan hemoglobin tumpah ke dalam darah. Ginjal menyaring hemoglobin, sehingga air kemih berwarna gelap (hemoglobinuria).
Anemia ini lebih sering terjadi pada pria muda, tetapi bisa terjadi kapan saja dan pada jenis kelamin apa saja. Penyebabnya masih belum diketahui. Penyakit ini bisa menyebabkan kram perut atau nyeri punggung yang hebat dan pembentukan bekuan darah dalam vena besar dari perut dan tungkai. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium yang bisa menemukan adanya sel darah merah yang abnormal, khas untuk penyakit ini. Untuk meringankan gejala diberikan kortikosteroid (misalnya prednison).
Penderita yang memiliki bekuan darah mungkin memerlukan antikoagulan (obat yang mengurangi kecenderungan darah untuk membeku, misalnya warfarin). Transplantasi sumsum tulang bisa dipertimbangkan pada penderita yang menunjukkan anemia yang sangat berat.
Gejala
Gejala dari anemia hemolitik mirip dengan anemia yang lainnya. Kadang-kadang hemolisis terjadi secara tiba-tiba dan berat, menyebabkan krisis hemolitik, yang ditandai dengan:
 Demam
 Menggigil
 Nyeri punggung dan nyeri lambung
 Perasaan melayang
 Penurunan tekanan darah yang berarti.
 Sakit kuning (jaundice) dan air kemih yang berwarna gelap
Hal ini bisa terjadi karena bagian dari sel darah merah yang hancur masuk ke dalam darah. Limpa membesar karena menyaring sejumlah besar sel darah merah yang hancur, kadang menyebabkan nyeri perut. Hemolisis yang berkelanjutan bisa menyebabkan batu empedu yang berpigmen, dimana batu empedu berwarna gelap yang berasal dari pecahan sel darah merah.
Sferositosis Herediter
Sferositosis Herediter adalah penyakit keturunan dimana sel darah merah berbentuk bulat. Sel darah merah yang bentuknya berubah dan kaku terperangkap dan dihancurkan dalam limpa menyebabkan anemia dan pembesaran limpa. Anemia biasanya ringan, tetapi bisasemakin berat jika terjadi infeksi.
 Jika penyakit ini berat, bisa terjadi:
 sakit kuning (jaundice)
 anemia
 pembesaran hati
 pembentukan batu empedu.
Pada dewasa muda, penyakit ini sering dikelirukan sebagai hepatitis. Bisa terjadi kelainan bentuk tulang, seperti tulang tengkorak yang berbentuk seperti mnara dan kelebihan jari tangan dan kaki. Biasanya tidak diperlukan pengobatan, tetapi anemia yang berat mungkin memerlukan tindakan pengangkatan limpa. Tindakan ini tidak memperbaiki bentuk sel darah merah, tetapi mengurangi jumlah sel yang dihancurkan dan karena itu memperbaiki anemia.
Eliptositosis Herediter
Eliptositosis Herediter adalah penyakit yang jarang terjadi, dimana sel darah merah berbentuk oval atau elips. Penyaki ini kadang menyebabkan anemia ringan, tetapi tidak memerlukan pengobatan. Pada anemia yang berat mungkin perlu dilakukan pengangkatan limpa.
Defisiensi G6PD
Kekurangan G6PD adalah suatu penyakit dimana enzim G6PD (glukosa 6 fosfat dehidrogenase) hilang dari selaput sel darah merah. Enzim G6PD membantu mengolah glukosa (gula sederhana yang merupakan sumber energi utama untuk sel darah merah) dan membantu menghasilkan glutation (mencegah pecahnya sel). Penyakit keturunan ini hampir selalu menyerang pria. Beberapa penderita yang mengalami kekurangan enzim G6PD tidak pernah menderita anemia.
 Hal-hal yang bisa memicu penghancuran sel darah merah, yaitu:
 Demam
 infeksi virus atau bakteri
 krisis diabetes
 bahan tertentu (misalnya aspirin, vitamin K dan kacang merah) bisa menyebabkan anemia.
Anemia bisa dicegah dengan menghindari hal-hal tersebut. Tidak ada pengobatan yang dapat menyembuhkan kekurangan G6PD.
THALASSEMIA
Thalassemia adalah sekelompok penyakit keturunan yang merupakan akibat dari ketidakseimbangan pembuatan salah satu dari keempat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin.
Etiologi
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan. Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi pembawa tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.
Thalasemia digolongkan bedasarkan rantai asam amino yang terkena. 2 jenis yang utama adalah Alfa-thalassemia (melibatkan rantai alfa) dan Beta-thalassemia (melibatkan rantai beta). Thalassemia juga digolongkan berdasarkan apakah seseorang memiliki 1 gen cacat (Thalassemia minor) atau 2 gen cacat (Thalassemia mayor). Alfa-thalassemia paling sering ditemukan pada orang kulit hitam (25% minimal membawa 1 gen), dan beta-thalassemia pada orang di daerah Mediterania dan Asia Tenggara. 1 gen untuk beta-thalassemia menyebabkan anemia ringan sampai sedang tanpa menimbulkan gejala; 2 gen menyebabkan anemia berat disertai gejala-gejala. Sekitar 10% orang yang memiliki paling tidak 1 gen untuk alfa-thalassemia juga menderita anemia ringan.


Gejala
Semua thalassemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi. Sebagian besar penderita mengalami anemia yang ringan. Pada bentuk yang lebih berat, misalnya beta-thalassemia mayor, bisa terjadi sakit kuning (jaundice), luka terbuka di kulit (ulkus, borok), batu empedu dan pembesaran limpa. Sumsum tulang yang terlalu aktif bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran tulang, terutama tulang kepala dan wajah. Tulang-tulang panjang menjadi lemah dan mudah patah. Anak-anak yang menderita thalassemia akan tumbuh lebih lambat dan mencapai masa pubertas lebih lambat dibandingkan anak lainnya yang normal. Karena penyerapan zat besi meningkat dan seringnya menjalani transfusi, maka kelebihan zat besi bisa terkumpul dan mengendap dalam otot jantung, yang pada akhirnya bisa menyebabkan gagal jantung.
Diagnosa
Thalassemia lebih sulit didiagnosis dibandingkan penyakit hemoglobin lainnya. Hitung jenis darah komplit menunjukkan adanya anemia dan rendahnya MCV (mean corpuscular volume). Elektroforesa bisa membantu, tetapi tidak pasti, terutama untuk alfa-thalassemia. Karena itu diagnosis biasanya berdasarkan kepada pola herediter dan pemeriksaan hemoglobin khusus.
Terapi
Pada thalassemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan keracunan. Pada bentuk yang sangat berat, mungkin diperlukan pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik masih dalam tahap penelitian.
Pencegahan
Pada keluarga dengan riwayat thalassemia perlu dilakukan penyuluhan genetik untuk menentukan resiko memiliki anak yang menderita thalassemia.
Beberapa hal yang menyebabkan penghancuran tersebut secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi :
 Faktor intrasel
Misal talassemia, hemoglobinopatia (talassemia HbE, sickle cell anemia), sferositos congenital, defisiensi enzim eritrosit (G-6PD, piruvat kinase, glutation reduktase).
 Faktor ekstrasel
Misal intoksikasi, infeksi (malaria), imunologis (inkompabilitas golongan darah, reaksi hemolitik pada transfusi darah).
3. Anemia Defisiensi
Anemia defisiensi adalah suatu keadaan dimana jumlah sel darah merah kekurangan faktor pematangan eritrosit (besi, asam folat, vitamin B12, protein, piridoksin, eritropoetin, dan sebagainya).
ANEMIA DEFISIENSI BESI
Tanpa zat gizi dan hormon pematangan darah, pembentukan sel darah merah akan berjalan lambat dan tidak mencukupi, dan selnya bisa memiliki kelainan bentuk dan tidak mampu mengangkut oksigen sebagaimana mestinya.
Penyakit kronik juga bisa menyebabkan berkurangnya pembentukan sel darah merah. Asupan normal zat besi biasanya tidak dapat menggantikan kehilangan zat besi karena perdarahan kronik dan tubuh hanya memiliki sejumlah kecil cadangan zat besi. Sebagai akibatnya, kehilangan zat besi harus digantikan dengan tambahan zat besi.
Janin yang sedang berkembang menggunakan zat besi, karena itu wanita hamil juga memerlukan tambahan zat besi. Makanan rata-rata mengandung sekitar 6 mgram zat besi setiap 1.000 kalori, sehingga rata-rata orang mengkonsumsi zat besi sekitar 10-12 mgram/hari. Sumber yang paling baik adalah daging. Serat sayuran, fosfat, kulit padi (bekatul) dan antasid mengurangi penyerapan zat besi dengan cara mengikatnya.
Vitamin C merupakan satu-satunya unsur makanan yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi. Tubuh menyerap sekitar 1-2 mgram zat besi dari makanan setiap harinya, yang secara kasar sama dengan jumlah zat besi yang dibuang dari tubuh setiap harinya. Terjadinya anemia karena kekurangan zat besi. Anemia karena kekurangan zat besi biasanya terjadi secara bertahap, melalui beberapa stadium.
a. Stadium 1
Kehilangan zat besi melebihi asupannya, sehingga menghabiskan cadangan dalam tubuh, terutama di sumsum tulang. Kadar ferritin (protein yang menampung zat besi) dalam darah berkurang secara progresif.


b. Stadium 2.
Cadangan besi yang telah berkurang tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk pembentukan se darah merah, sehingga sel darah merah yang dihasilkan jumlahnya lebih sedikit.
c. Stadium 3.
Mulai terjadi anemia. Pada awal stadium ini, sel darah merah tampak normal, tetapi jumlahnya lebih sedikit. Kadar hemoglogin dan hematokrit menurun.
d. Stadium 4.
Sumsum tulang berusaha untuk menggantikan kekurangan zat besi dengan mempercepat pembelahan sel dan menghasilkan sel darah merah dengan ukuran yang sangat kecil (mikrositik), yang khas untuk anemia karena kekurangan zat besi.
e. Stadium 5.
Dengan semakin memburuknya kekurangan zat besi dan anemia, maka akan timbul gejala-gejala karena kekurangan zat besi dan gejala-gejala karena anemia semakin memburuk.
Etiologi
Tubuh mendaur ulang zat besi, yaitu ketika sel darah merah mati, zat besi di dalamnya dikembalikan ke sumsum tulang untuk digunakan kembali oleh sel darah merah yang baru. Tubuh kehilangan sejumlah besar zat besi hanya ketika sel darah merah hilang karena perdarahan dan menyebabkan kekurangan zat besi seperti epistaksis, hematemesis, ankilostomiasis
Makanan yang mengandung sedikit zat besi bisa menyebabkan kekurangan pada bayi dan anak kecil, yang memerlukan lebih banyak zat besi untuk pertumbuhannya. Pada pria dan wanita pasca menopause, kekurangan zat besi biasanya menunjukkan adanya perdarahan pada saluran pencernaan. Pada wanita pre-menopause, kekurangan zat besi bisa disebabkan oleh perdarahan menstruasi bulanan.
Gejala
Anemia pada akhirnya menyebabkan kelelahan, sesak nafas, kurang tenaga dan gejala lainnya. Kekurangan zat besi memiliki gejala sendiri, yaitu:
 Pika : suatu keinginan memakan zat yang bukan makanan seperti es batu, kotoran atau kanji
 Glositis : iritasi lidah
 Keilosis : bibir pecah-pecah
 Koilonikia : kuku jari tangan pecah-pecah dan bentuknya seperti sendok.
Anamnesis
1. Riwayat faktor predisposisi dan etiologi :
 Kebutuhan meningkat secara fisiologis
a. masa pertumbuhan yang cepat
b. menstruasi
c. infeksi kronis
a. Kurangnya besi yang diserap
i. asupan besi dari makanan tidak adekuat
ii. malabsorpsi besi
1. Perdarahan
a. Perdarahan saluran cerna (tukak lambung, penyakit Crohn, colitis ulserativa)
2. Pucat, lemah, lesu, gejala pika
Diagnosis
Kadar zat besi dan transferin (protein pengangkut zat besi yang berada di luar sel darah merah) diukur dan dibandingkan. Jika kurang dari 10% transferin yang terisi dengan zat besi, maka kemungkinan terjadi kekurangan zat besi. Tetapi pemeriksaan yang paling sensitif untuk kekurangan zat besi adalah pengukuran kadar ferritin (protein yang menampung zat besi).
Kadar ferritin yang rendah menunjukkan kekurangan zat besi. Tetapi kadang kadar ferritin normal atau tinggi walaupun terdapat kekurangan zat besi karena feritin kadarnya bisa meningkat pada kerusakan hati, peradangan, infeksi atau kanker. Kadang diperlukan pemeriksaan yang lebih memuaskan untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksan yang paling khusus adalah pemeriksaan sumsum tulang, dimana contoh dari sel diperiksa dibawah mikroskop untuk menentukan kandungan zat besinya.
Pada pemeriksaan laboratorium Kadar Hb<10 g%, MCV<79C, MHCV<32%, mikrositik, hipokromik, poikilositosis, sel target. Kurve price jones bergeser ke kiri. Leukosit dan trombisit normal. Pemeriksaan sumsum tulang menunnjukan sistem eritropoetik hiperaktiv dengan sel normoblas polikromatofil yang predominan. Dengan demikian terjadi maturation arrest pada tingkat normoblas polikromatofil. Dengan pewarnaan khusus dapat di buktikan tidak terdapat besi dalam sumsum tulang.
Serum iron (SSI) merendah dan iron binding capacity (IBC) meningkat (kecuali pada MEP, SI, IBC rendah.
Diagnosa Banding
Anemia hipokromik mikrositik :
• Thalasemia (khususnya thallasemia minor) :
• Hb A2 meningkat
• Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun
• Anemia karena infeksi menahun :
• biasanya anemia normokromik normositik. Kadang-kadang terjadi anemia hipokromik mikrositik
• Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun
• Keracunan timah hitam (Pb)
• terdapat gejala lain keracunan P

• Anemia sideroblastik :
• terdapat ring sideroblastik pada pemeriksaan sumsum tulang
Terapi
Langkah pertama adalah menentukan sumber dan menghentikan perdarahan, karena perdarahan merupakan penyebab paling sering dari kekurangan zat besi. Mungkin diperlukan obat-obatan atau pembedahan untuk:
 Mengendalikan perdarahan menstruasi yang sangat banyak
 Memperbaiki tukak yang mengalami perdarahan
 Mengangkat polip dari usus besar
 Mengatasi perdarahan dari ginjal.
Biasanya juga diberikan tambahan zat besi. Sebagian besar tablet zat besi mengandung ferosulfat, besi glukonat atau suatu polisakarida. Tablet besi akan diserap dengan maksimal jika diminum 30 menit sebelum makan. Biasanya cukup diberikan 1 tablet/hari, kadang diperlukan 2 tablet.
Kemampuan usus untuk menyerap zat besi adalah terbatas, karena itu pemberian zat besi dalam dosis yang lebih besar adalah sia-sia dan kemungkinan akan menyebabkan gangguan pencernaan dan sembelit. Zat besi hampir selalu menyebabkan tinja menjadi berwarna hitam, dan ini adalah efek samping yang normal dan tidak berbahaya. Biasanya diperlukan waktu 3-6 minggu untuk memperbaiki anemia karena kekurangan zat besi, meskipun perdarahan telah berhenti. Jika anemia sudah berhasil diperbaiki, penderita harus melanjutkan minum tablet besi selama 6 bulan untuk mengembalikan cadangan tubuh.
Pemeriksaan darah biasanya dilakukan secara rutin untuk meyakinkan bahwa pasokan zat besi mencukupi dan perdarahan telah berhenti. Kadang zat besi harus diberikan melalui suntikan. Hal ini dilakukan pada penderita yang tidak dapat mentoleransi tablet besi atau penderita yang terus menerus kehilangan sejumlah besar darah karena perdarahan yang berkelanjutan. Waktu penyembuhan dari anemia yang diobati dengan tablet besi maupun suntikan adalah sama.
Pencegahan
Lebih banyak mengkonsumsi daging, hati dan kuning telur; juga tepung, roti dan gandum yang telah diperkaya dengan zat besi. Jika makanan sehari-hari sedikit mengandung zat besi, maka harus diberikan tablet besi.
Pemeriksaan Fisis
a. Anemis, tidak disertai ikterus, organomegali dan limphadenopati
b. Stomatitis angularis, atrofi papil lidah
c. Takikardi, murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran jantung
Pemeriksaan Penunjang
1. Hemoglobin, Hct dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) menurun
2. Hapus darah tepi menunjukkan hipokromik mikrositik
3. Kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat, saturasi menurun
4. Kadar feritin menurun dan kadar Free Erythrocyte Porphyrin (FEP) meningkat
5. Sumsum tulang : aktifitas eritropoitik meningkat
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Pemberian preparat besi (ferosulfat/ferofumarat/feroglukonat) dosis 4-6 mg besi elemental/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis, diberikan di antara waktu makan. Preparat besi ini diberikan sampai 2-3 bulan setelah kadar hemoglobin normal. Asam askorbat 100 mg/15 mg besi elemental (untuk meningkatkan absorbsi besi).

Bedah
Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti perdarahan karena diverticulum Meckel.
Suportif
Makanan gizi seimbang terutama yang mengandung kadar besi tinggi yang bersumber dari hewani (limfa, hati, daging) dan nabati (bayam, kacang-kacangan)
Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya )
Ke sub bagian terkait dengan etiologi dan komplikasi (Gizi, Infeksi, Pulmonologi, Gastro-Hepatologi, Kardiologi )
PEMANTAUAN
Terapi
1. Periksa kadar hemoglobin setiap 2 minggu
2. Kepatuhan orang tua dalam memberikan obat
3. Gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala gangguan gastro-intestinal misalnya konstipasi, diare, rasa terbakar di ulu hati, nyeri abdomen dan mual. Gejala lain dapat berupa pewarnaan gigi yang bersifat sementara.
Tumbuh Kembang
1. Penimbangan berat badan setiap bulan
2. Perubahan tingkah laku
3. Daya konsentrasi dan kemampuan belajar pada anak usia sekolah dengan konsultasi ke ahli psikologi
4. Aktifitas motorik
Langkah Promotif/Preventif
Upaya penanggulangan diprioritaskan pada kelompok rawan yaitu balita, anak usia sekolah, ibu hamil dan menyusui, wanita usia subur termasuk remaja putri dan pekerja wanita. Upaya pencegahan efektif untuk menanggulangi adalah dengan pola hidup sehat dan upaya-upaya pengendalian faktor penyebab dan predisposisi terjadinya yaitu berupa penyuluhan kesehatan, memenuhi kebutuhan zat besi pada masa pertumbuhan cepat, infeksi kronis/berulang pemberantasan penyakit cacing dan fortifikasi besi.
ANEMIA DEFISIENSI VITAMIN B12
Anemia Defisiensi Vitamin B12 (anemia pernisiosa) adalah anemia megaloblastik yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B12. Selain zat besi, sumsum tulang memerlukan vitamin B12 dan asam folat untuk menghasilkan sel darah merah. Jika kekurangan salah satu darinya, bisa terjadi anemia megaloblastik.
Pada anemia jenis ini, sumsum tulang menghasilkan sel darah merah yang besar dan abnormal (megaloblas). Sel darah putih dan trombosit juga biasanya abnormal. Anemia megaloblastik paling sering disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 dan asam folat dalam makanan atau ketidakmampuan untuk menyerap vitamin tersebut. Kadang anemia ini disebabkan oleh obat-obat tertentu yang digunakan untuk mengobati kanker (misalnya metotreksat, hidroksiurea, fluorourasil dan sitarabin)
Etiologi
Penyerapan yang tidak adekuat dari vitamin B12 (kobalamin) menyebabkan anemia pernisiosa. Vitamin B12 banyak terdapat di dalam daging dan dalam keadaan normal telah diserap di bagian akhir usus halus yang menuju ke usus besar (ilium). Supaya dapat diserap, vitamin B12 harus bergabung dengan faktor intrinsik (suatu protein yang dibuat di lambung), yang kemudian mengangkut vitamin ini ke ilium, menembus dindingnya dan masuk ke dalam aliran darah. Tanpa faktor intrinsik, vitamin B12 akan tetap berada dalam usus dan dibuang melalui tinja.
Pada anemia pernisiosa, lambung tidak dapat membentuk faktor intrinsik, sehingga vitamin B12 tidak dapat diserap dan terjadilah anemia, meskipun sejumlah besar vitamin dikonsumsi dalam makanan sehari-hari. Tetapi karena hati menyimpan sejumlah besar vitamin B12, maka anemia biasanya tidak akan muncul sampai sekitar 2-4 tahun setelah tubuh berhenti menyerap vitamin B12. Selain karena kekurangan faktor intrinsik, penyebab lainnya dari kekurangan vitamin B12 adalah :
a. Pertumbuhan bakteri abnormal dalam usus halus yang menghalangi penyerapan vitamin B12
b. Penyakit tertentu (misalnya penyakit Crohn)
c. Pengangkatan lambung atau sebagian dari usus halus dimana vitamin B12 diserap
d. Vegetarian.
Gejala
Selain mengurangi jumlah pembentukan sel darah merah, kekurangan vitamin B12 juga mempengaruhi sistem saraf dan menyebabkan:
a. Kesemutan di tangan dan kaki
b. Hilangnya rasa di tungkai, kaki dan tangan
c. Pergerakan yang kaku.
d. Buta warna tertentu, termasuk warna kuning dan biru
e. Luka terbuka di lidah atau lidah seperti terbakar
f. Penurunan berat badan
g. Warna kulit menjadi lebih gelap
h. Linglung
i. Depresi
j. Penurunan fungsi intelektual.
Diagnosa
Biasanya, kekurangan vitamin B12 terdiagnosis pada pemeriksaan darah rutin untuk anemia. Pada contoh darah yang diperiksa dibawah mikroskop, tampak megaloblas (sel darah merah berukuran besar). Juga dapat dilihat perubahan sel darah putih dan trombosit, terutama jika penderita telah menderita anemia dalam jangka waktu yang lama. Jika diduga terjadi kekurangan, maka dilakukan pengukuran kadar vitamin B12 dalam darah. Jika sudah pasti terjadi kekurangan vitamin B12, bisa dilakukan pemeriksaan untuk menentukan penyebabnya.
Biasanya pemeriksaan dipusatkan kepada faktor intrinsik :
Contoh darah diambil untuk memeriksa adanya antibodi terhadap faktor intrinsik. Biasanya antibodi ini ditemukan pada 60-90% penderita anemia pernisiosa.
Pemeriksaan yang lebih spesifik, yaitu analisa lambung.
Dimasukkan sebuah selang kecil (selang nasogastrik) melalui hidung, melewati tenggorokan dan masuk ke dalam lambung. Lalu disuntikkan pentagastrin (hormon yang merangasang pelepasan faktor intrinsik) ke dalam sebuah vena. Selanjutnya diambil contoh cairan lambung dan diperiksa untuk menemukan adanya faktor intrinsik.
Jika penyebabnya masih belum pasti, bisa dilakukan tes Schilling.
Diberikan sejumlah kecil vitamin B12 radioaktif per-oral (ditelan) dan diukur penyerapannya. Kemudian diberikan faktor intrinsik dan vitamin B12, lalu penyerapannya diukur kembali. Jika vitamin B12 diserap dengan faktor intrinsik, tetapi tidak diserap tanpa faktor intrinsik, maka diagnosisnya pasti anemia pernisiosa.

Terapi
Pengobatan kekurangan vitamin B12 atau anemia pernisiosa adalah pemberian vitamin B12. Sebagian besar penderita tidak dapat menyerap vitamin B12 per-oral (ditelan), karena itu diberikan melalui suntikan. Pada awalnya suntikan diberikan setiap hari atau setiap minggu, selama beberapa minggu sampai kadar vitamin B12 dalam darah kembali normal. Selanjutnya suntikan diberikan 1 kali/bulan. Penderita harus mengkonsumsi tambahan vitamin B12 sepanjang hidupnya.
Pencegahan
Jika penyebabnya adalah asupan yang kurang, maka anemia ini bisa dicegah melalui pola makanan yang seimbang.
ANEMIA DEFISIENSI ASAM FOLAT
Anemia Defisiensi Asam Folat adalah suatu anemia megaloblastik yang disebabkan kekurangan asam folat. Asam folat adalah vitamin yang terdapat pada sayuran mentah, buah segar dan daging; tetapi proses memasak biasanya dapat merusak vitamin ini. Karena tubuh hanya menyimpan asam folat dalam jumlah kecil, maka suatu makanan yang sedikit mengandung asam folat, akan menyebabkan kekurangan asam folat dalam waktu beberapa bulan.
Etiologi
Kekurangan asam folat lebih sering terjadi dunia Barat dibandingkan dengan kekurangan vitamin B12, karena disana orang tidak cukup memakan sayuran berdaun yang mentah.
a. Penderita penyakit usus halus tertentu, terutama penyakit Crohn dan sprue, karena terjadi gangguan penyerapan asam folat.
b. Obat anti-kejang tertentu dan pil KB, karena mengurangi penyerapan asam folat
c. Wanita hamil dan wanita menyusui, serta penderita penyakit ginjal yang menjalani hemodialisa, karena kebutuhan akan asam folat meningkat
d. Peminum alkohol, karena alkohol mempengaruhi penyerapan dan metabolisme asam folat
Gejala
Orang yang mengalami kekurangan asam folat akan menderita anemia. Bayi, tetapi bukan orang dewasa, bisa memiliki kelainan neurologis. Kekurangan asam folat pada wanita hamil bisa menyebabkan terjadinya cacat tulang belakang (korda spinalis) dan kelainan bentuk lainnya pada janin.
Diagnosa
Pada pemeriksaan apus darah tepi dibawah mikroskop akan ditemukan megaloblas (sel darah merah berukuran besar). Jika ditemukan megaloblas (sel darah merah berukuran besar) pada seorang penderita anemia, maka dilakukan pengukuran kadar asam folat dalam darah.
Pada pemeriksaan laboratorium kadar hemoglobin rendah dan gambaran darah tepi makrositik (MCV lebih dari 96 C), serta terdapat hipersegmentasi neutrofil. Aktivitas asam folat dalam serum rendah ( normal 2,1-2,8 ng/ml) dan bila aktivitas asam folat lebih rendah dari 3 ng/ml, maka pemeriksaan FIGLU dalam urine akan positif. Gambaran sumsum tulang memperlihatkan eritropoetik yang megaloblastik, granulopoetik, dan trombopoetik menunjukkan hipersegmentasi dan sel raksasa.
Terapi
Diberikan tablet asam folat 1 kali/hari. Penderita yang mengalami gangguan penyerapan asam folat, harus mengkonsumsi tablet asam folat sepanjang hidupnya.
Pencegahan
Menambah asupan makanan yang banyak mengandung asam folat. Untuk mencegah kekurangan asam folat pada kehamilan, maka wanita hamil dianjurkan untuk mengkonsumsi tablet asam folat.
ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS
Penyakit kronik sering menyebabkan anemia, terutama pada penderita usia lanjut. Keadaan-keadaan seperti infeksi, peradangan dan kanker, menekan pembentukan sel darah merah di sumsum tulang. Karena cadangan zat besi di dalam tulang tidak dapat digunakan oleh sel darah merah yang baru, maka anemia ini sering disebut anemia anemia penggunaan ulang zat besi.
Etiologi
Pada semua penderita, infeksi (bahkan infeksi yang ringan) dan peradangan (misalnya artritis dan tendinitis) menghambat pembentukan sel darah merah dalam sumsum tulang, sehingga jumlah sel darah merah berkurang. Tetapi keadaan tersebut baru akan menimbulkan anemia jika sifatnya berat atau berlangsung dalam waktu yang lama (kronik).
Gejala
Karena anemia jenis ini berkembang secara perlahan dan biasanya ringan, anemia ini biasanya tidak menimbulkan gejala. Kalaupun timbul gejala, biasanya merupakan akibat dari penyakit kroniknya, bukan karena anemianya.
Diagnosa
Pemeriksaan laboratorium bisa menentukan bahwa penyebab dari anemia adalah penyakit kronik, tetapi hal ini tidak dapat memperkuat diagnosis. Karena itu yang pertama kali dilakukan adalah menyingkirkan penyebab anemia lainnya, seperti perdarahan hebat atau kekurangan zat besi. Semakin berat penyakitnya, maka akan semakin berat anemia yang terjadi; tetapi anemia karena penyakit kronik jarang yang menjadi sangat berat :
a. Hematokrit (persentase sel darah merah dalam darah) jarang sampai dibawah 25% (pada pria normal 45-52%, pada wanita normal 37-48%)
b. Hemoglobin (jumlah protein pengangkut oksigen dalam sel darah merah) jarang sampai dibawah 8 gram/dL (normal 13-18 gram/dL).
Terapi
Tidak ada pengobatan khusus untuk anemia jenis ini, sehingga pengobatan ditujukan kepada penyakit kronik penyebabnya. Mengkonsumsi tambahan zat besi tidak banyak membantu. Jika anemia menjadi berat, mungkin diperlukan transfusi atau eritropoietin (hormon yang merangsang pembentukan sel darah merah di sumsum tulang).
Pencegahan
Dengan mengobati penyakit kroniknya, maka bisa dicegah terjadinya anemia. Penyakit Crohn sulit diobati, sehingga penderitanya bisa mengalami anemia yang hilang timbul, tergantung keadaan penderita.
4. Anemia Aplastik
Anemia aplastik terjadi bila sel yang memproduksi butir darah merah (terletak pada sumsum tulang belakang) tidak dapat menjalankan tugasnya. Hal ini dapat terjadi karena infeksi virus, radiasi, kemoterapi atau obat tertentu.
Patofisiologi
1. Defek sel induk hematopoetik
2. Defek lingkungan mikro sumsum tulang
3. Proses imunologi
Anemia aplastik merupakan suatu gangguan yang mengancam jiwa pada sel induk di sumsum tulang, yang sel darahnya diproduksi dalam jumlah yang tidak mencukupi. Anemia aplastik dapat kongenital idiopatik (penyebabnya tidak diketahui) atau sekunder akibat penyebab-penyebab industri atau virus. Individu dengan anemia aplastik mengalami pensitopenia atau kekurangan semua jenis sel-sel darah.
Secara morfologis sel darah merah terlihat rendah atau tidak ada, dan biopsi sumsum tulang menunjukkan keadaan yang disebut pungsi kering dengan hipoplasi nyata dan penggantian dengan jaringan lemak. Pada sumsum tulang tidak dijumpai sel-sel abnormal. kompleks gejala anemia aplastik disebabkan oleh derajat pansitopenia. tanda dan gejala meliputi anemia disertai dengan kelelahan, kelemahan, napas pendek saat latihan fisik.
Tanda-tanda dan gejala lain diakibatkan oleh defisiensi trombosit dan sel-sel darah putih. Defisiensi trombosit dapat menyebabkan ekimosis dan petekie (perdarahan di dalam kulit), epistaksis (perdarahan hidung), perdarahan saluran cerna, perdarahan saluran kemih dan kelamin, perdarahan sistem saraf pusat. Defisiensi sel darah putih meningkatkan kerentanan dan keparahan infeksi, termasuk infeksi bakteri, virus, dan jamur. Aplasia berat disertai penurunan atau tidak adanya retikulosit, jumlah granulosit kurang dari 500/mm3 dan jumlah trombosit kurang dari 20.000 menyebabkan kematian akibat infeksi.
Pengaruh obat-obat pada sumsum tulang diduga sebagai berikut :
a. Penekanan bergantung dosis obat, reversible dan dapat diduga sebelumnya (obat-obat anti tumor)
b. Penekanan bergantung dosis, reversible, tetapi tidak dapat diduga sebelumnya.
c. Penekanan tidak bergantung dosis obat (idiosinkrasi)
Microenvironment :
Kelainan microenvironmet memegang peranan terjadinya anemia aplastik. Akibat radiasi, pemakaian kemoterapi yang lama atau dosis tinggi, dapat menyebabkan microarchitecture mengalami sembab yang fibrinus dan infiltrasi sel. Faktor humoral misalnya eritropoitin, ternyata tidak mengalami penurunan.
Cell Inhibitors :
Pada beberapa penderita anemia aplastik, dapat dibuktikan adanya T-limfosit yang menghambat pertumbuhan sel-sel sumsum tulang pada biakan.
Gejala Klinis
Gejala-gejala timbul sebagai akibat dari :
a. Anemia : pucat, lemah, mudah lelah, dan berdebar-debar.
b. Leukopenia ataupun granulositopenia : infeksi bakteri, virus, jamur, dan kuman patogen lain.
c. Trombositopenia : perdarahan seperti petekia, ekimosa, epistaksis, perdarahan gusi dan lain-lain.
Hepatosplenomegali dan limfadenopati tidak lazim ditemukan pada anemia aplastik.
Pemeriksaan dan Diagnosis
Kriteria anemia aplastik yang berat
Darah tepi :
Granulosit < 500/mm3
Trombosit < 20.000/mm3
Retikulosit < 1,0%
Sumsum tulang :
Hiposeluler < 25%
Diagnosis Banding
a. Leukemia akut
b. Sindroma Fanconi : anemia aplastik konstitusional dengan anomali kongenital.
c. Anemia Ekstren-Damashek : anemia aplastik konstitusional tanpa anomali kongenital
d. Anemia aplastik konstitusional tipe II
e. Diskeratosis kongenital
Penatalaksanaan
1. Hindari infeksi eksogen maupun endogen, seperti :
a. Pemeriksaan rektal
b. Pengukuran suhu rektal
c. Tindakan dokter gigi
Pada tindakan-tindakan di atas, resiko infeksi bakteri meningkat
i. Simtomatik
ii. Anemia : transfusi sel darah merah padat (PRC)
iii. Perdarahan profus atau trombosit < 10.000/mm3 : transfusi trombosit (tiap unit/10 kgBB dapat meningkatkan jumlah trombosit  50.000/mm3)
iv. Transfusi trombosit untuk profilaksis tidak dianjurkan.
v. Transfusi leukosit (PMN)
vi. Efek samping : panas badan, takipnea, hipoksia, sembab paru (karena timbul anti PMN leukoaglutinin)
vii. Kortikosteroid
Prednison 2 mg/kgBB/24 jam, untuk mengurangi fragilitas pembuluh kapiler, diberikan selama 4-6 minggu.
viii. Steroid anabolik
ix. Nandrolon dekanoat : 1-2 mg/kg/minggu IM (diberikan selama 8 -12 minggu)
x. Oksimetolon : 3-5 mg/kg/hari per oral
xi. Testosteron enantat : 4-7 mg/kg/minggu IM
xii. Testosteron propionat : ½ -2 mg/kg/hari sublingual
d. Efek samping :
i. Virilisme, hirsutisme, akne hebat, perubahan suara (revesibel sebagian bila obat dihentikan).
ii. Pemberian jangka panjang dapat menimbulkan adenoma karsinoma hati, kolestasis.
iii. Hepatotoksik pada pemberian sublingual
iv. Transplantasi sumsum tulang :
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama bagi anak-anak dan dewasa muda dengan anemia aplastik berat. Hindari transfusi darah yang berasal dari donor keluarga sendiri pada calon transplantasi sumsum tulang.
Komplikasi
a. Anemia dan akibat-akibatnya (karena pembentukannya berkurang)
b. Infeksi
c. Perdarahan
prognosis
a. Anemia aplastik ± 80% meninggal (karena perdarahan atas infeksi). Separuhnya meninggal dalam waktu 3-4 bulan setelah diagnosis.
b. Anemia aplastik ringan ± 50% sembuh sempurna atau parsial. Kematian terjadi dalam waktu yang lama.
Manifestasi Klinis
Beberapa faktor dalam manifestasi klinis ini dipengaruhi oleh hal-hal berikut:
1. Penurunan kapasitas daya angkut oksigen dari darah serta kecepatan dari penurunannya
2. Derajat serta kecepatan perubahan dari volume darah;
3. Penyakit dasar penyebab anemianya;
4. Kapasitas kompensasi sistem kardiopulmonal.
Rendahnya kadar hemoglobin dari seorang penderita anemia bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan ada atau tidaknya keluhan dan gejala anemia. Ketika kadar hemoglobin cukup rendah namun tidak terdapatnya penyakit lain dari sistem kardiopulmonal maka biasanya tidak akan ada keluhan tetapi apabila ada kelainan koroner maka akan timbul keluhan angina pectoris akibat hipoksianya.
Apabila turunnya kadar hemoglobin terjadi secara lambat-laun lalu akan terjadi kompensasi dari sistem kardiopulmonal sehingga kadar hemoglobin yang tidak terlalu rendah biasanya tidak menimbulkan keluhan.
Apabila penurunan kadar hemoglobin terjadi secara cepat seperti yang terjadi akibat suatu perdarahan masif, keluhan bisa terjadi mendadak berupa suatu renjatan apabila perdarahannya masif, atau hanya berupa hipotensi bahkan bisa tanpa gejala tergantung berat ringannya perdarahan yang terjadi.
Penurunan kadar hemoglobin secara cepat akibat destruksi eritrosit (hemolisis) tentu disamping keluhan kardiopulmonal akan disertai dengan tanda-tanda hemolisis seperti ikterus, hemoglobinemi, hemoglobinuria dan lain-lain.
Anemia jenis apapun yang diderita, gejala yang menandainya sama, yaitu keletihan. Gejala lain yang mungkin juga muncul adalah warna kekuning-kuningan pada kulit dan bagian putih mata, atau rasa sakit pada tulang.
Kekurangan zat besi menimbulkan beberapa gejala yang tidak terlalu kelihatan jelas, seperti mudah lelah, cepat capai bila berolahraga, sulit konsentrasi atau mudah lupa. Mengingat hal ini juga biasa dialami oleh orang sibuk yang sehat dan tidak kekurangan zat besi sekalipun, maka gejala-gejala seperti ini sering luput dari perhatian. Pada umumnya orang mulai curiga akan adanya anemia bila keadaan sudah makin parah sehingga kelihatannya lebih jelas, seperti kulit pucat, jantung berdebar-debar, pusing, mudah kehabisan nafas ketika naik tangga atau olahraga (karena jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa oksigen ke seluruh tubuh).
Anemia tidak menular, tetapi tetap berbahaya. Remaja berisiko tinggi menderita anemia, khususnya kurang zat besi karena remaja mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Dalam pertumbuhan, tubuh membutuhkan nutrisi dalam jumlah banyak, dan di antaranya adalah zat besi. Bila zat besi yang dipakai untuk pertumbuhan kurang dari yang diproduksi tubuh, maka terjadilah anemia.
Penderita mengeluh lemah, sakit kepala, telinga mendenging, penglihatan berkunang-kunang, merasa cepat letih, sempoyongan, mudah tersinggung, menstruasi berhenti, libido berkurang, gangguan saluran cerna, sclera ikterik, organ limpa membesar, sesak nafas (mula-mula nafas dalam, lama-kelamaan nafas menjadi dangkal akhirnya payah jantung sampai syok), nadi lemah dan cepat, hipotensi ortostatik serta tekanan darah sedikit naik sebagai akibat refleks penyempitan pembuluh darah arteriola. Jika anemia bertambah berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung.
Komplikasi
Biasanya jarang terjadi komplikasi, tetapi anemia kekurangan besi sering kambuh kembali, sehingga pemantauan yang teratur diperlukan. Anak dengan anemia kekurangan besi lebih mudah mengalami penyakit infeksi
1. Merasa cepat lelah saat bekerja se1 hingga produktivitas juga menurun.
2. Karena jantung harus bekerja lebih keras untuk mengkompensasi kekurangan oksigen di dalam darah akibat anemia, pada akhirnya dapat menyebabkan serangan jantung.
3. Jika anemia terjadi akibat defisiensi B12, secara bersamaan juga bias terjadi kerusakan syaraf dan gangguan fungsi otak. Karena vitamin B12 juga dibutuhkan untuk kesehatan saraf dan fungsi otak.
4. Bisa terjadi gangguan kosentrasi, daya ingat rendah, kapasitas pemecahan masalah dan kecerdasan intelektual (IQ) yang rendah, serta gangguan perilaku.
5. Anemia dapat juga menyebabkan beban kerja jantung meningkat sehingga terjadi penebalan jantung sebelah kiri (LVH atau left ventricular hypertrophy) yang dapat berlanjut menjadi gagal jantung.
Tatalaksana
Penderita baru dengan anemia tidak perlu dirawat inap bilamana tidak ada indikasi antara lain :
a. Keadaan umum jelek, gagal jantung (mengancam), dan ada perdarahan
b. Anemia berat : Hb < 7 gr %
c. Ada tanda-tanda keganasan atau penyakit lain dengan indikasi perlu perawatan
d. Diagnosis belum jelas dan perlu pemeriksaan intensif, khususnya untuk menemukan etiologi atau penyakit primer
e. Perlu pemeriksaan dengan persiapan khusus
Tatalaksana penderita rawat inap tergantung pada jenis anemia dan etiologinya. Pasien dengan anemia harus ditransfusi yaitu pada keadaan :
1. Sebelum operasi segera, jika Hb < 10 gr%
2. Pendarahan aktif
3. Tampaknya tidak ada terapi spesifik yang efektif
4. Selama terapi supresif sumsum tulang (missal kemoterapi)
5. Jika ada defek yang berkaitan dalam transfer oksigen (missal dekompensasi jantung atau dekompensasi pernafasan)
6. Jika ada peningkatan kebutuhan oksigen
Pasien dengan anemia tidak boleh ditransfusi pada keadaan :
1. Anemia ringan pada pasien muda
2. Jika anemia dapat pulih kembali dalam waktu singkat
3. Sebagai “persiapan utama” preoperatif untuk operasi efektif, jika tersedia terapi definitive (misalnya defisiensi besi)
4. Jika efek hemodilusi dari anemia mungkin menguntungkan (misalnya kehamilan anemia pada penyakit kronis, penyakit vaskular).
Tatalaksana penderita rawat jalan pada prinsipnya serupa dengan penderita rawat inap, yaitu :
1. Medikamentosa tergantung dari jenis anemianya
2. Pengawasan keadaan klinis dan laboratories, dengan kemungkinan perlu dirawat inap atas berbagai indikasi.

Asuhan Keperawatan Anak dengan Masalah Anemia
Pengkajian Keperawatan
Pada pengkajian anak dengan anemia pada umumnya didapati tanda dan gejala seperti adanya kelemahan otot, mudah lelah seperti sering beristirahat, napas pendek, kulit pucat, pika, kemudian adanya gangguan pada system saraf seperti adanya sakit kepala, pusing, kunang-kunang, peka terhadap rangsang, menurunnya lapang pandang (kabur), apatis, apabila sudah berat terjadi perfusi perifer yang buruk, kulit lembab dan dingin, menurunnya tekanan darah serta adanya peningkatan frekuensi jantung.
Pengkajian terhadap faktor penyebab didapati adanya riwayat diet yang salah (kurang kadar Fe), makan pasta, makan tanah, dan lain-lain atau kurangnya komposisi makanan seperti banyak makanan sayuran akan tetapi kurang daging; adanya faktor pertumbuhan yang cepat tidak diimbangi dengan kebutuhan Fe yang banyak, adanya gangguan penyerapan Fe akibat berbagai penyakit seperti penyakit usus; kemudian akibat pendarahan yang hebat yang menyebabkan kehilangan sel darah merah atau kadar Hb akan menurun; dan lain hal sehingga memicu terganggunya kadar Fe dalam darah.
Pada pemeriksaan fisik, didapati adanya penurunan perfusi perifer, penurunan tekanan darah, dan frekuensi jantung. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb dan jumlah eritrosit menurun, kadar MCV, MCH dan MCHC menurun, kadar besi serum menurun, feritin serum darah menurun atau rendah kurag dari 10-12 µg/L dan free erythroce porphyrin meningkat.

Diagnosa/Masalah Keperawatan
Diagnosis atau masalah keperawatan yang terjadi pada anak dengan anemia kurang besi adalah sebagai berikut:
1. Intoleransi aktivitas
2. Kurang nutrisi (kurang dari kebutuhan)
3. Ansietas/cemas
Rencana Tindakan Keperawatan
a. Intoleransi Aktivitas
Masalah intoleransi aktivitas disebabkan oleh adanya kelemahan secara umum dan adanya penurunan pengiriman kadar oksigen ke dalam jaringan. Untuk mengatasi masalah tersebut maka rencana yang yang dilakukan adalah mempertahankan aktivitas atau memberikan istirahat yang cukup dan memperlancar pengiriman oksigen ke jaringan sehingga aktivitas dapat ditoleransi, sehingga harapannya kondisi pernapasan cukup normal.
Tindakan:
a. Monitor tanda fisik seperti adanya takikardi, palpitasi, takipneu, dispneu, pusing, perubahan warna kulit, dan lain-lain.
b. Bantu aktivitas dalam batas toleransi.
c. Berikan aktivitas bermain, pengalihan untuk mencegah kebosanan dan meningkatkan istirahat.
d. Pertahankan posisi fowler dan berikan oksigen suplemen.
e. Monitor tanda vital dalm keadaan istirahat.



b. Kurang Nutrisi (Kurang dari Kebutuhan)
Masalah kekurangan nutrisi dapat disebabkan karena adanya ketidakadekuatan masukan kadar Fe atau kurang pengetahuan keluarga tentang pentingnya kebuthan kadar Fe dan juga dapat disebabkan karena gangguan penyakit atau pertumbuhan.
Tindakan:
a. Berikan nutrisi yang kaya zat besi (Fe) seperti makanan daging, kacang, gandum, sereal kering yang diperkaya besi.
b. Berikan susu suplemen setelah makan padat.
c. Berikan preparat bei peroral seperti fero sulfat, fero fumarat, fero sukinat, fero glukonat, dan berikan antara waktu makan untuk meningkatkan absorpsi berikan bersama jus buah.
d. Ajarkan cara mencegah perubahan warna gigi akibat minum atau makan zat besi dengan cara berkumur setelah minum obat, minum preparat dengan air atau jus jeruk.
e. Berikan multivitamin.
f. Jangan berikan preparat Fe bersama susu.
g. Kaji feses karena pemberian yang cukup akan mengubah fese menjadi hijau gelap.
h. monitor kadar Hb atau tanda klinis lain.
i. Anjurkan malanan beserta air untuk mengurangi konstipasi.
j. Tingkatkan asupan daging dan tambahkan padi-padian serta sayuran hijau dalam diet.
c. Ansietas/Cemas
Masalah ansietas atau kecemasan pada anak sering terjadi akibat kondisi tubuhnya, karena adanya prosedur diagnosis atau juga tindakan transfusi, untuk itu diperlukan keterlibatan keluarga dalam menurunkan stress emosional.
Tindakan:
1. Libatkan orang tua bersama anak dalam persiapan prosedur diagnosis.
2. Jelaskan tujuan pemberian komponen darah.
3. Antisipasi peka rangsang anak, kerewelan dengan membantu aktivitas anak.
4. Dorong anak untuk mengekspresikan perasaan.
5. Berikan darah, sel darah atau trombosit sesuai dengan ketentuan, dengan harapan anak mau menerima.

REFERENSI

Anna.2007.Jangan Remehkan Anemia pada Anak.Terdapat dalam: kompas.com/ver1/Kesehatan/0705/01/145600.htm
Anonim. 2007. Anemia Pada Anak (On-Line).Terdapat pada: medlinux.blogspot.com/2007/09/anemia-pada-anak.html
Anonim. 2006. Anemia (On-Line). Terdapat pada: library.usu.ac.id/download/fk/ penydalam-ida%20nensi.pdf
Anonim.2007.Atasi Anemia.Terdapat dalam://familiedyka.multiply.com/journal/ item/ 96/Tulisan.
Drosalina.2007.Oral Health is Key Through Body Health.Terdapat dalam: drosalina.blogspot.com/2006/11/oral-health-is-key-through-body-health.
Drupadi, 2007. Anemia defisiensi besi.Terdapat dalam: 202.155.15.208/koran_ detail.asp?id=288725&kat_id=123
Hidayat, Aziz A.2006. Pengantar ilmu keperawatan anak. Penerbit Salemba Medika: Jakarta.
Price, Syilvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:EGC.
Salma.2007.Anemia.Terdapat dalam: ummusalma.wordpress.com/2007/01/24/ anemia-defisiensi-besi/
Sari,Arlinda Wahyuni.2004. Anemia Defisien Besi pada Balita. USU digital libraryLSumatra Utara.

Stoppard, Miriam. Panduan Penjagaan Kanak-kanak. Tropical Press, 1998. ms 52.Terdapat dalam: ww.sabah.org.my/bm/nasihat/artikel_kesihatan/an…
Wikipedia.2007. Anemia. terdapat dalam: http://id.wikipedia.org/wiki/Anemia

Lampiran







THALASEMIA













Disusun oleh :
KELOMPOK II
Agnes Fitria NIA005001
Ima Sukmawati N1A005012
Denty Budiarty N1A005013
Titis Aprilia N1A005014
Agus Aji P N1A005017
Bambang Aditya N1A005026
Elfira Wahyuni N1A005048
Maritha Widy P N1A005049
Yulia Rahmi N1A005059









DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM SARJANA KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2007
THALASEMIA

A. PENGERTIAN
Thalasemia atau yang disebut juga Anemia Cooley adalah suatu gangguan darah yang diturunkan, ditandai oleh defisiensi produksi rantai globin pada hemoglobin.
Terdapat dua tipe thalasemia utama yaitu:
1. Thalasemia Mayor ( Thalasemia  homozigot ) adalah thalasemia yang menyebabkan seorang anak tidak dapat menghasilkan hemoglobin  normal.
• Gejala tidak tampak sampai hemoglobin janin pada anak sebagian besar diganti oleh hemoglobin dewasa selama setengah tahun pertama.
• Mengakibatkan hipertrofi sumsum tulang, hemosiderosis ( deposit besi yang berlebihan pada jaringan tubuh) , dan dekompensasi jantung yang dapat menyebabkan masalah serius
• Prognosis untuk penyakit tingkat sedang biasanya membaik, tetapi kebanyakan anak dengan penyakit ini meninggal karena gagal jantung pada masa remaja atau masa dewasa muda.
2. Thalasemia Minor ( Thalasemia  heterozigot) adalah anemia yang menyebabkan anak menghasilkan baik hemoglobin beta defektif maupun hemoglobin normal.
• Gangguan ini adalah bentuk anemia minor dan tidak memerlukan penanganan.

B. ETIOLOGI
Kelainan hemoglobin ini karena adanya gangguan pembentukan yang disebabkan oleh:
1. Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglobin abnormal) misalnya pada HbS, HbF, HbD dan sebagainya
2. Gangguan jumlah (salah satu/beberapa) rantai globin seperti pada talasemia.

C. TANDA DAN GEJALA
Temuan pengkajian dari penyakit ini (Pillitery, 2002).
1. Thalasemia Mayor:
 Pucat
 Lemah
 Anoreksia
 Sesak napas
 Peka rangsang
 Tebalnya tulang kranial
 Pembesaran hati dan limpa / hepatosplenomegali
 Menipisnya tulang kartilago, nyeri tulang
 Disritmia
 Epistaksis
 Sel darah merah mikrositik dan hipokromik
 Kadar Hb kurang dari 5gram/100 ml
 Kadar besi serum tinggi
 Ikterik
 Peningkatan pertumbuhan fasial mandibular; mata sipit, dasar hidung lebar dan datar.
2. Thalasemia Minor
Pucat
Hitung sel darah merah normal
Kadar konsentrasi hemoglobin menurun 2 sampai 3 gram/ 100ml di bawah kadar normal
Sel darah merah mikrositik dan hipokromik sedang
Pada anak yang besar sering dijumpai adanya:
 Gizi buruk
 Perut buncit karena pembesaran limpa dan hati yang mudah diraba
 Aktivitas tidak aktif karena pembesaran limpa dan hati. Limpa yang besar ini mudah ruptur karena trauma ringan saja
Gejala khas adalah:
 Bentuk muka mongoloid yaitu hidung pesek, tanpa pangkal hidung, jarak antara kedua mata lebar dan tulang dahi juga lebar.
 Keadaan kuning pucat pada kulit, jika sering ditransfusi, kulitnya menjadi kelabu karena penimbunan besi.
D. PATOFISIOLOGI
a. Hemoglobin normal adalah terdiri dari dari Hb-A dengan dua polipeptida rantai alpha dan dua rantai beta.
b. Pada beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kurangnya rantai beta dalam molekull hemoglobin, sehingga ada gangguan kemampuan eritrosit membawa oksigen
c. Ada suatu kompensator yang meningkat dalam rantai alpha, tetapi rantai beta memproduksi secara terus-menerus sehingga menghasilkan hemoglobin defektif. Ketidakseimbangan polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi. Hal ni menyebabkan sel darah merah menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia dan atau hemosiderosis.
d. Kelebihan pada rantai alpha ditemukan pada beta thalasemia dan kelebihan rantai beta dan gama ditemukan pada alpha thalasemia. Kelebihan rantai polipeptida ini mengalami presippitasi dalam sel eritrosit. Globin intra eritrosik yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stabil-badan Heinz, merusak sampul eritrosit dan menyebabkan hemolisis.
e. Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi bone marrow memproduksi RBC yang lebih. Dalam stimulasi yang konstan pada bone marrow, produksi RBC secara terus-menerus pada suatu dasar kronik, dan dengan cepatnya destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh.
E. KOMPLIKASI
Akibat dari anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Transfusi darah yang berulang-ulang dan hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga ditimbun di berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung, dan lain-lain. Hal ini dapat mengganggu fungsi organ-organ tersebut (hemokromatosis). Limpa yang besar mudah rupture akibat trauma yang ringan. Kadang thalasemia disertai tanda hipersplenime seperti leukopenia dan trombopenia. Komplikasi yang lain yaitu terganggunya pertumbuhan dan pubertas yang lambat. Kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung.



F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Pillitery ( 2002) pemeriksaan diagnostic untuk thalasemia diantaranya:
• Hitung darah lengkap
• Angka retikulosit
• Fe serum dan TIBC (total iron-binding capacity)
• Aspirasi bone marrow (BMP)
G. MANAJEMEN TERAPI
Penatalaksanaan medis antaralain :
 Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari pemberian transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi yang disebut hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan pemberian deferoxamine (Desferal), yang berfungsi untuk mengeluarkan besi dari dalam tubuh (iron chelating agent). Deferoxamine diberikan secar intravena, namun untuk mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan secara subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam.
 Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen (transfusi)
RENCANA KEPERAWATAN

No Diagnosa Keperawatan Rencana Keperawatan
Tujuan & Kriteria Rencana Intervensi
1 Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen ke sel Setelah tindakan keperawatan selama 3x24 jam perfusi jaringan baik

Kriteria hasil:
- Tidak terjadi palpitasi
- Kulit tidak pucat
- Membran mukosa lembab
- Keluaran urine adekuat
- Tidak terjadi mual/muntah dan distensi abdomen
- Tidak terjadi perubahan tekanan darah
- Orientasi klien baik 1. Awasi tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/membran mukosa, dasar kuku.
2. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi (kontra indikasi pada pasien dengan hipotensi.
3. Selidiki keluhan nyeri dada, palpitasi
4. Kaji respon verbal melambat, mudah terangsang, agitasi gangguan memori, bingung.
5. Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh hangat sesuai indikasi.
6. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium Hb, Hmt, AGD dll
7. Kolaborasi dalam pemberian transfusi.
8. Awasi ketat untuk terjadinya komplikasi transfusi.
2 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam toleransi terhadap aktivitas meningkat

Kriteria hasil:
Menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi, misalnya nadi, pernapasan, dan tekanan darah masihd alam rentang normal pasien. 1. Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas, catat kelelahan dan kesulitan dalam beraktivitas.
2. Awasi tanda-tanda vital selama dan sesudah aktivitas.
3. Catat respon terhadap tingkat aktivitas.
4. berikan lingkungan yang tenang
5. Pertahankan tirah baring jika diindikasikan
6. Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
7. Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat.
8. Pilih periode istirahat dengan periode aktivitas.
9. Beri bantuan dalam beraktivitas bila diperlukan.
10. Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien, tingkatkan aktivitas sesuai toleransi
11. Gunakan teknik penghematan energi misalnya mandi dengan duduk.
3 Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan / absorbsi nutrien yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah normal. Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 5x24 jam masukan nutrisi adekuat

Kriteria hasil:
- Menunjukkan peningkatan berat badan atau BB stabil
- Tidak ada tanda malnutrisi
1. kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai.
2. Observasi dan catat masukan makanan pasien
3. Timbang BB tiap hari
4. Beri makanan sedikit tapi sering
5. Onservasi dan catat kejadian mual, muntah, flatus dan gejala lain yang berhubungan
6. Pertahankan higiene mulut yang baik
7. Kolaborasi dengan ahli gizi.
8. Kolaborasi pemeriksaan lab: Hb, Hmt, BUN, Albumin, transferin, protein, dll.
9. Berikan obat sesuai indikasi yaitu \vitamin dan suplemen mineral, pemberian Fe tidak dianjurkan
4 Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan neurologis. Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam tidak terjadi kerusakan integritas kulit.

Kriteria hasil:
Kulit utuh 1. Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, eritema dan ekskoriasi.
2. Ubah posisi secara periodik
3. Pertahankan kulit kering dan bersih, batasi penggunaan sabun.
5 Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat: penurunan Hb, leukopenia atau penurunan granulosit Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 524 jam tidak terjadi infeksi

Kriteria hasil:
- Tidak ada demam
- Tidak ada drainage purulen atau erotema
- Ada peningkatan penyembuhan luka
1. Pertahankan teknik septik antiseptik pada prosedur perawatan
2. Dorong perubahan ambulasi yang sering.
3. Tingkatkan masukan cairan yang adekuat
4. Pantau dan batasi pengunjung.
5. Pantau tanda-tanda vital
6. Kolaborasi dalam pemberian antiseptik dan antipiretik
6 Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan salah interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber informasi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x30 menit pengetahuan meningkat

Kriteria hasil:
- Menyatakan pemahaman proses penyakit, prosedur diagnostik dan rencana pengobatan.
- Mengidentifikasi faktor penyebab
- Melakukan tindakan yang perlu/perubahan pola hidup. 1. berikan informasi tentang talasemia secara spesifik
2. Diskusikan kenyataan bahwa terapi tergantung pada tipe dan beratnya talassemia.
3. Rujuk ke sumber komunitas untuk mendapat dukungan secara psikologis.
4. Konseling keluarga tentang pembatasan punya anak/deteksi dini keadaan janin melalui air ketuban dan konseling pernikahan ; menganjurkan untuk tidak menikah dg sesama penderita thalasemia, baik mayor ataupun minor


Daftar Pustaka

Ngastiyah ; 1997 ; Perawatan Anak Sakit; EGC ; Jakarta
Tucker, Susan Martin et al : 1998 ; Standar Perawatan Pasien-Proses Keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi ; Edisi V ; Volume 4 ; EGC ; Jakarta
Nelson ; 1995 ; Ilmu Kesehatan Anak ; Edisi 15 ; Volume 2 ; EGC ; Jakarta
Doenges, Marilynn E et al ; 1999 ; Rencana Asuhan Keperawatan ; Edisi 3 ; Jakarta























LEUKEMIA













Disusun Oleh :
Kelompok 3
Agung Ari. S N1A005005
Fendi Budi N1A005009
Ida Rahayu N1A005010
Eris Rimayanto N1A005023
Cecep Triwibowo N1A005025
Rahayu Nugrainai N1A005035
Marissa Wigianti N1A005040
Bejo Wahyu N1A005041
Itasari N1A005044




DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2007

LEUKEMIA
1. Definisi
Leukemia adalah poliferasi sel lekosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk leukosit yang lain dari pada normal, jumlahnya berlebihan dan dapat menyebabkan anemia, trombisitopeni dan diakhiri dengan kematian.
Leukemia adalah penyakit neoplasmik yang ditandai oleh poliferasi abnormal dari sel-sel hematopoietik. (Virchow, 1847)

2. Etiologi
Walaupun sebagian besar penderita leukemia faktor-faktor penyebabnya tidak dapat diidentifikasi, tetapi ada beberapa faktor yang terbukti dapat menyebabkan leukemia. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah:
a. Faktor genetik
Insiden leukemia akut pada anak-anak penderita sindrom Down adalah 20 kali lipat lebih banyak dari pada normal. Dari data ini, ditambah kenyataan bahwa saudara kandung penderita leukemia mempuyai resiko lebih tinggi untuk menderita sindrom Down, dapat diambil kesimpulan pula bahwa kelainan pada kromosom 21 dapat menyebabkan leukemia akut. Dugaan ini diperkuat lagi oleh data bahwa penderita leukemia garanulositik kronik dengan kromosom Philadelphia translokasi kromosom 21, biasanya meninggal setelah memasuki fase leukemia akut.
b. Faktor lingkungan
Faktor-faktor lingkungan berupa kontak dengan radiasi ionisasi desertai manifestasi leukemia yang timbul bertahun-tahun kemudian. Zat-zat kimia (misalnya, benzen, arsen, klorampenikol, fenilbutazon, dan agen antineoplastik) dikaitkan dengan frekuensi yang meningkat, khususnya agen-agen akil. Leukemia juga meningkat pada penderita yang diobati baik dengan radiasi atau kemoterapi.
c. Virus
Ada beberapa hasil penelitian yang menyebutkan bahwa virus sebagai penyebab leukemia antaralain: enzyme reverse transcriptase ditenukan dalam darah penderita leukemia. Seperti diketahui, ensim ini ditemukan didalam virus onkogenik seperti retrovirus tipe – C, yaitu jenis virus RNA yang menyebabkan leukemia pada binatang.


3. Tanda dan Gejala
Manifestasi klinik berkaitan dengan berkurangnya atau tidak adanya sel hematopoietik.
a. Peningkatan produksi seri granulosit yang relatif matang.
b. Rasa leleh, penurunan berat badan, anemia, rasa penuh dan sakit di perut dan mudah berdarah
c. Pada pemeriksaan fisis hampir 90% ditemukan splenomegali.
d. Nyeri tekan pada tulang dada dan hematomegali.
e. Poliferasi limfoblas abnormal alam susum tulang dan tempat-tempat ekstramedular.
f. Pembesaran kelenjar getah bening, limpa, hati dan kelenjar mediastinum.
g. Infiltrasi alat tubuh lain (paru, pleura, tulang, kulit)

4. Klasifikasi dan patofisiologi
Klasifikasi leukemia terdiri dari akut dan kronik, Klasifikasi kronik didasarkan pada ditemukannya sel darah putih matang yang mencolok – granulosit (leukemia granulositik/mielositik) atau limfosit (leukememia limfositik).
Klasifikasi leukemia akut menurut the French-American-British (FAB) Sbb:
Leukemia limfoblastik akut :
L-1 Leukemia limfositik akut pada masa kanak-kanak : pospulasi sel homogen
L-2 Leukemia limfositik akut tampak pada orang dewasa : populasi sel heterogen
L-3 Limfoma Burkitt-tipe leukemia : sel-sel besar, populasi sel homogen
Leukemia mieloblastik akut :
M-1 Deferensiasi granulisitik tanpa pematangan
M-2 Deferensiasi granulositik disertai pematangan menjadi stadium promielositik
M-3 Deferensiasi granulositik disertai promielosit hipergranular yang dikaitkan dengan pembekuan intravaskular tersebar (Disseminated intavascular coagulation)
M-4 Leukemia mielomonositik akut : kedua garis sel granulosit dan monosit
M-5a Leukemia monositik akut : kurang berdeferensiasi
M-5b Leukemia monositik akut : berdeferensiasi baik
M-6 Eritroblas predominan disertai diseritropoesis berat
M-7 Leukemia megakariosit

Leukemia dibagi menurut jenisnya kedalam limfoid dan mieloid. Masing-masing ada yang akut dan kronik. Pada garis besarnya pembagian leukemia adalah sebagai berikut:
I. Leukemia mieloid
a. Leukemia granulositik kronik/LGK(leukemia mieloid/mielositik/ mielogenus kronik)
Adalah suatu penyakit mieloproliferatif karena sumsum tulang penderita ini menujukan gambaran hiperselular disertai adanya proliferasi pada semua garis diferensiasi sel, yang ditandai dengan produksi berlebihan seri granulosit yang relatif matang, jumlah garanulosit umumnya lebih dari 30.000/mm3 dan paling sering terlihat pada orang dewasa usia pertengahan tetapi juga dapat timbul pada setiap kelompok umur lainnya.
Tamda dan gejala berkaitan dengan keadaan hipermetabolik yaitu kelelahan, kehilangan berat badan, diaforesis meningkat dan tidak tahan panas, limpa membesar pada 90 % kasus yang mengakibatkan penuh pda abdomen dan mudah merasa kenyang. Angka harapan hidup mediannya sekitar 3 tahun, baik dengan pengobatan maupun tanpa pengobatan. Pengobatan dengan kemoterapi intermiten ditujukan pada penekanan hematopoesis yang berlebihan dan mengurangi ukuran limpa, berbagai penderita berkembang menjadi lebih progresif, fase resisten diseertai dengan pembentukan mieloblas yang berlebihan (tansformasi blas). Kematian terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan setelah transformasi blas, transplantasi sumsum tulang dari individu lain (allogenik) yang dilakukan pada fase kronik stabil penderita LGK memberikan suatu harapan kesembuhan , walaupun morbiditas dan mortalitas selama transplantasi tetap tinggi.
b. Leukemia mielositik akut atau leukemia granulositik akut/ LGA (leukemia mieloid/mielositik/granulositik/ mielogenus akut)
Merupakan neoplasma uniklonal yang berasal dari trasformasi suatu atau beberapa sel hematopoietik. Sifat sebenarnya dari lesi molekular yang bertanggung jawab atas sifat-sifat neoplasmik dari sel yang berubah bentuknya tidak jelas, tapi defek kritis adanya intrisik dan dapat diturunkan oleh keturunan sel tersebut (Clarkson, 1988). Tanda dan gekala leukemia akut berkaitan dengan netropenia dan trombositopenia, ini adalah infeksi berat yang rekuren disertai dengan timbulnya tukak pada membren mukosa, abses perirektal, pneumonia, septikemia disertai menggigil, demam, takikardia, dan takipnea. Trombositopenia mengakibatkan perdarahan yang dinyatakan dengan petekie dan ekimosis, epistaksis, hematoma pada membran mukosa, serta perdarahan saluran cerna dan sistem saluran kemih, tulang mungkin sakit dan lunak yang disebabkan oleh infark tulang atau infiltrat periosteal. Anemia bukan merupakan manifestasi awal disebabkan oleh karena umur eritrosit yang panjang (120 hari), jika terdapat anemia maka akan terdapat gejala kelelahan, pusing dan dispnea waktu kerja fisik serta pucat yang nyata.
Diagnosis LGA ditegakan dengan melalui hitung jenis darah tepi dan pemeriksaan sumsum tulang serta pemeriksaan kromosom. Hitung sel darah tepi dapat meninggi, normal atau menurun disertai mieloblas dalam sirkulasi. Sumsum tulang hiperseluler disertai adanya kelebihan (50%) mieloblas yang mengandung badan Auer. Perubahan metabolik juga terlihat disertai peningkatan asam urat yang disebabkan oleh tingginya pergantian sel darah putih

II. Leukemia limfoid
a. Leukemia limfositik kronik
Merupakan suatu gangguan limfoproliferatifyang ditemukan pada kelompok umur tua (sekitar 60 tahun) yang dimanifestasikan oleh poliferasi dan akmulasi limfosit matang kecil dalam sumsum tulang, darah perifer,dan tempat-tempat ekstramedular dengan kadar yang mencapai 100.000/mm3 atau lebih, limposit abnormal umumnya adalah limposit B.
b. Leukemia limfoblastik akut
Penyakit ini terdapat pada 20% orang dewasa yang menderita leukemia, keadaan ini merupakan kanker yang paling sering menyerang anak-anak dibawah umur 15 tahun denga puncak insidens antara umur 3 dan 4 tahun. Manifestasi berupa poliferasi limfoblas abnormal dalam sumsum tulamg dan tempat-tempat ekstramedular.
5. Pemeriksaan diagnostik
• Pemeriksaan Laboratorium
Gejala yang terlihat pada darah tepi berdasarkan pada kelainan sumsum tulang belakang berupa adanya pansitopenia, limfositosis yang kadang-kadang menyebabkan gambaran darah tepi monoton dan terdapat sel blast. Terdapatnya sel blast dalam tepi merupakan gejala patognomik untuk leukemia. Kolesterol mungkin rendah, asam urat dapat meningkat, hipogamaglobinemia. Dari pemeriksaan sumsum tulang akan ditemukan gambaran yang monoton yaitu hanya akan ditemukan sel limfopoietik patologis sedangkan sistem lain terdesak (aplasia sekunder). Pada LMA selain gambaran yang monoton, terlihat pila adanaya hiatus leukemia ialah keadaan yang memperlihatkan banyak sel blast (mieloblast), beberapa sel tua (segmen) dan sangat kurang bentuk pematangan sel yang berada di antaranya (promielosit, mielosit, metamielosit, dan sel batang).
• Biopsi Limfa
Pemeriksaan ini memperlihatkan proloferasi sel leukemia dan sel yang berasal dari jaringan limfa yang terdesak, seperti limfosit normal, RES, granulosit, dan pulp cell.
• Cairan Serebrospinalis
Bila terdapat peninggian jumlah sel patologis dan protein berarti suatu leukemia meningel. Kelainan ini dapat terjadi setiap saat pada perjalanan penyakit baik dalam keadaan remisi maupun keadaan kambuh. Untuk mencegahnya diberikan metotreksat (MTX) secara intratecal secara rutin pada setiap pasien baru atau pasien yang menunjukan gejala tekanan intrakranial meninggi.
• Sitogenik
Pada kasus LMK 70-90% menunjukan kelaianan kromosom yaitu kromosom 21 (kromosom Philadelphia atau ph 1). 50-70% dari pasien LLA dan LMA mempunyai kelaian berupa:
• Kelaianan jumlah kromosom seperti diploid (2n), hiploid (2n-a), hiperploid (2n+a)
• Kariotip yang pseudodiploid pada kasus dengan jumlah kromosom yang diploid
• Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial depletion)
• Terdapat marker kromosom yaitu elemen yang secara morfologis bukan merupakan kromosom normal dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat kecil
Untuk menentukan pengobatannya harus diketahui jenis kelainan yang ditemukan. Pada Leukemia biasanya didapatkan dari hasil darah tepi berupa limfositosis > 80% atau terdapat sel blast juga diperlukan pemeriksaan darah sumsum tulang dengan menggunakan mikroskop elektron akan terlihat adanya sel patologis.
6. Penatalaksanaan Medis
1. Transfusi darah, biasanya diberikan jika kadar Hb < 6 gr%. Pada trombositopenia yang berat dan peradangan masif dapat diberikan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda-tanda DIC dapat diberikan heparin.
2. Kortikosteroid, setelah dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan
3. Sitotatika, selain sitotstika yang lama pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vincristin, rubidomosin, dan berbagai nama obat lainnya. Umumnya sititatika diberika dalam kombinasi bersama sama dengan prednison. Pada pemberisn obst0obstsn in sering terdapat efek samping berupa alopesia, stomatitis, leukopenia, dan infeksi sekunder. Bila jumlah leukosit < 2000 mm3 pemberiannya harus hati-hati
4. Infeksi sekunder dihilangkan (lebih baik pasien dirawat dikamar suci hama)
5. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapai remisi dan jumlah sel leukemia cukup rendah, imunoterapi mulai diberikan.
7. Pengobatan
a. Protokol pengobatan leukemia limfoblatik akut (LLA)
INDUKSI
Protokol Nasional Prancis LALA’ 87
Syarat : belum mendapatkan pengobatan sebelumnya, usia 60 tahun

Prednison : 60 mg/m²/oral (hari 1 s/d 22, tapp.of 22 s/d 28)
Vinkristin : 1,5 mg/ m²/IV, ( hari 1,8,15,22), dosis total tidak boleh lebih dari 2,5 mg/1x.
Cyclophosphanamide : 600 mg/ m²/IV, (hr 1,8)
Daunorubicin : 50 mg/ m²/IV, (hr 1,2,3)
Profilaksis CNS : Methotrexante: 12 mg/total/intratekal, (hr 1 atau 3,8,15,22,125,150)
b. Protokol pengobatan leukemia mieloblastik akut (LMA)
1) CHA (tidak termasuk Lam tipe M-3,FAB/progranulostik akut)
INDUKSI :
CCNU : 70 mg/ m²/oral, (hr 1)
Adriamycin : 35 mg/ m²/IV (hr 1,2,3 = 3 hari)
ARA-C : 100 mg/ m²/IV-continous, (hr 1s/d 10 = 10 hari)
2) LAM-VIII
INDUKSI : = LAM IV modified
3) LAM-IV modified
INDUKSI :
Daunorubicin : 45 mg/ m²/IV, (hr 1,2,3)
Cystosine arabinoside : 200 mg/ m²/IV-continous drip, (hr 1s/d 7)
MAINTENANCE :
kapsul
c. Protokol pengobatan leukemia granulosit kronik (LGK)
1) INDUKSI : bila leukosit 50.000/ml → myleran 6 mg/hr s/d leukosit 5 – 15.000 mg, kemudian istirahat 3 minggu, selanjutnya teruskan dengan “maintenance”
2) Maintenance : Myleran
15.000 :
15-25.000 : 2 mg/hari (7 hari)
25-35.000 : 4 mg/hari (7 hari)
35.000 : 6 mg/hari (7 hari)
3) Pengobatan dengan Hydroxpurea (HYDREA) 500 mg (menurut AZL)
Dosis : 15-25 mg/kg BB dalam 2 jam dosis peroral
4) Pengobatan dengan Hydroxpurea (HYDREA) menurut “anjuran pembuat obat”
BB (kg) Terapi INTERMITEN
(80 mg/kg BB, setiap 3 hari
sebagai dosis tunggal) Terapi CONTINUOUS
(20-30 mg/kg BB, setiap hari dosis tunggal)
10 1 ½ kapsul ½ kapsul
15 2 kapsul 1 kapsul
10 3 kapsul 1 kapsul
10 5 kapsul 2 kapsul
10 6 kapsul 2 kapsul
10 8 kapsul 3 kapsul
10 10 kapsul 3 kapsul
10 11 kapsul 4 kapsul
10 13 kapsul 4 kapsul
10 14 kapsul 5 kapsul
100 16 kapsul 6 kapsul
Efek samping :
 supresi sumsum tulang : leukopenia, terombositopenia, anemia.
 Anoreksia, nausea, vomiting, nyeri kepala, pusing, stomatitis,alopesia, skin rash, melena, nyeri perut, diorientasi, edema paru.
8. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :
a. PK : Depresi sumsum tulang
b. PK : Leukositosis
c. PK : Keterlibatan SP
d. Risiko Infeksi b.d tidak adekuatnya pertahanan sekunder
e. Risiko terhadap cedera b.d bentuk darah abnormal, kecenderungan perdarahan sekunder terhadap leukemia dan efek samping kemoterapi
f. Ketidakberdayaan b.d ketidakmampuan untuk mengontrol situasi, ketidakberdayaan gaya hidup

Daftar Pustaka
Behrman, Kliegman&Arvin, Nelson. 1996. Ilmu Kesehatan Anak vol.3 ed.15. Jakarta: EGC.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit edisi 2. Jakarta: EGC.
NN. 4 Oktober 2007. Leukemia Mengintai Anak http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/kesehatan/leukemia-mengintai-anak-3.html
NN. Desember 2007. leukemia limfositik akut. http://www.medicastore.com






Systemic Lupus Erythematosus







Oleh:
Kelompok V
Farida N N1A005004
Atika Dhiah N1A005011
Syafirial Uzaldy N1A005019
Meisa Agustin N1A005020
Ryan Hara. P N1A005029
M. Ghofur Feizal N1A005038
Eka Rehatiningrum N1A005045
Cicilia Rosqi’ah N1A005054
Ari Nurlaeli N1A005057
Sulastini N1A005062






DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2007
Systemic Lupus Erythematosus

A. Pengertian

Lupus adalah bahasa Latin yang berarti "anjing hutan." Istilah ini mulai dikenal sekitar satu abad lalu. Awalnya, penderita penyakit ini dikira mempunyai kelainan kulit karena digigit anjing hutan tersebut, yakni, berupa kemerahan di sekitar hidung dan pipi. Inilah yang dikenal istilah Eritomatosus berarti kemerahan. Sehingga istilah lupus ini didiagnosa menjadi Lupus Eritomatosus Sistemik (LES). Penyakit lupus yang dalam bahasa kedokterannya dikenal sebagai systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit radang yang menyerang banyak sistem dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa akut atau kronis, dan disertai adanya antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri. Penyakit lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti ras kulit hitam, Cina, dan Filipina. Penyakit ini terutama diderita oleh wanita muda dengan puncak kejadian pada usia 15-40 tahun (selama masa reproduktif) dengan perbandingan wanita dan laki-laki 5:1. Penyakit ini sering ditemukan pada beberapa orang dalam satu keluarga. Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sitem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara dan sulit untuk didiagnosis. Karena itu angka yang pasti tentang jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit diperoleh. SLE menyerang perempuan kira-kira delapan kali lebih sering daripada laki-laki. Penyakit ini seringkali dimulai pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Di Amerika Serikat, penyakit ini menyerang perempuan Afrika Amerika tiga kali lebih sering daripada perempuan Kaukasia. Jika penyakit ini baru muncul pada usia di atas 60 tahun, biasanya akan lebih mudah untuk diatasi.
Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar tahun 1800-an, dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk “kupu-kupu”, melintasi tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan serigala (lupus adalah kata dalam bhasa Latin yang berarti serigala). Lupus diskoid adalah nama yang sekarangdiberikan pada penyakit ini apabila kelainannya hanya terbatas pada gangguan kulit.
SLE adalah salah satu kelompok penyakit jaringan ikat difus yang etiologinya tidak diketahui. Kelompok ini meliputi SLE, skleroderma, polimiositis, arthritis rheumatoid, dan sindrom Sjogren. Gangguan-gangguan ini seringkali memiliki gejala yang saling tumpang tindih satu dengan lainnya dan dapat tampil secara bersamaan, sehingga diagnosis menjadi semakin sulit untuk ditegakkan secara akurat. SLE dapat bervariasi dari suatu gangguan ringan sampai suatu gangguan yang bersifat fulminan dan mematikan. Namun demikian, keadaan yang paling sering ditemukan adalah keadaan eksaserbasi atau hampir remisi yang berlangsung untuk waktu yang lama. Identifikasi dan penatalaksanaan dini SLE biasanya dapat memberikan prognosis yang lebih baik.
B. Penyebab

Penyebab dan mekanisme terjadinya SLE masih belum diketahui dengan jelas. Namun diduga mekanisme terjadinya penyakit ini melibatkan banyak faktor seperti genetik, lingkungan, dan sistem kekebalan humoral. Faktor genetik yang abnormal menyebabkan seseorang menjadi rentan menderita SLE, sedangkan lingkungan berperan sebagai faktor pemicu bagi seseorang yang sebelumnya sudah memiliki gen abnormal. Sampai saat ini, jenis pemicunya masih belum jelas, namun diduga kontak sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat golongan sulfa, penghentian kehamilan, dan trauma psikis maupun fisik. Penyebab Lupus diketahui adalah otoimun, penyakit yang muncul lantaran sistem kekebalan tubuh bereaksi berlebihan, yang justru mengganggu kesehatan tubuh. Artinya tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh kita sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, eritrosit, leukosit, atau trombosit.
SLE karena obat
Ada sejumlah obat yang dapat menginduksi penyakit SLE pada orang-orang yang peka, suatu sindrom yang menyerupai SLE. Sindrom ini memiliki hampir semua gejala SLE, termasuk uji ANA yang positif, tetapi jarang menyerang ginjal dan SSP. Gejala-gejala SLE yang timbul akan memghilang dalam waktu beberapa minggu setelah obat yang menyebabkannya dihentikan. Hasil pemeriksaan ANA akan kembali menjadi negatif dalam waktu beberapa bulan kemudian. Hidralazin dan prokainamid adalah dua dari kelompok obat-obatan yang peling sering menimbulkan gangguan ini. Selain itu juga beberapa obat yang mampu menimbulkan ANA positif, misalnya penisilamin, isoniazid, klorpromazin, dan obat-obatan anti-konvulsan seperti barbiturat, fenitonin, etosuksimid, metsuksimid, dan primidon. Beberapa obat dapat menyebabkan eksaserbasi SLE pada pasien yang sebelumnya berada dalam keadaan remisi. Kelompok ini mencakup sulfonamid, penisilin dan kontraseptiforal


Gambar.1. Penderita lupus
C. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis LES pada sistem saraf dapat berupa neuropsikiatrik psikosis, kejang, stroke, kelumpuhan saraf kranial, maupun mielopati2α. Angka kejadian mielopati transversa pada LES sekitar 1--2 %, sedangkan insiden kejadian mielopati transversa pada populasi umum 1,34/satu juta. Prevalensi LES di antara etnik adalah wanita kulit hitam 1: 250, wanita kulit putih 1: 4300, dan wanita cina 1 : 10001,2α.
Manifestasi klinis LES pada sistem saraf lebih sering terjadi di serebral dibanding medula spinalis. Serebral lupus dengan gejala neuropsikiatrik psikosis 50–67 %, kejang 15–20%, stroke 3–5%, serta paresis saraf kranial dan gangguan pergerakan. Mielopati yang terjadi pada medula spinalis sehingga menimbulkan defisit neurologis dapat berlangsung dalam beberapa jam, hari, atau beberapa minggu. Sebagian besar gejala klinik yang muncul berupa paraparesis atau paraplegia pada sekitar 85% kasus, sedangkan quadriparesis atau quadriplegia yang terjadi pada lesi daerah medula spinalis servikalis sebanyak 15%. Refleks fisiologis dapat menurun atau menghilang karena terjadi syok spinal. Gangguan sensibilitas bisa komplit atau tidak komplit yang dapat terjadi secara asending, daerah yang terlibat sering pada torakal 3–-11, serta inkontinensia urin dan alvi1,3,5,6,7,8,9α. Pada pasien ini proses mielopati yang terjadi dari paraparesis sampai paraplegia sekitar 4 minggu merupakan kasus yang jarang terjadi. Lokasi kelainan di torakal 5--8 lebih sering karena pembuluh darah dan kolateral lebih terbatas, sehingga lebih mudah mengalami gangguan. Gejala yang paling sering adalah artritis simetris atau atralgia, yang muncul pada 90% dari waktu perjalanan penyakit, seringkali sebagai manifestasi awal. Sendi-sendi yang paling terserang adalah sendi-sendi proksimal tangan, siku, bahu, lutut dan pergelangan kaki. Poliartritis SLE berbeda dari artritis reumatoid karena jarang bersifat erosif atau menimbulkan deformitas. Nodul subkutan juga jarang ditemukan pada penyakit SLE. Gejala-gejala konstitusional adalah demam, rasa lelah, lemah dan berkurangnya berat badan yang biasanya timbul pada awal penyakit ini. Keletihan dan rasa lemah bisa timbul sebagai gejala sekunder dari anemia ringan yang ditimbulkan oleh SLE.
Manifestasi kulit mencakup ruam eritematosa yang dapat timbul pada wajah, leher, ekstremitas, atau pada tubuh. Kira-kira 40% dari pasien SLE memiliki ruam khas berbentuk kupu-kupu. Sinar matahari dapat memperburuk ruam kulit ini. Dapat timbul alopesia (rambut rontok), yang kadang-kadang dapat menjadi berat. Rambut biasanya dapat tumbuh kembali tanpa masalah. Juga, dapat terjadi ulserasi pada mukosa mulut dan nasofaring.
Pleuritis (nyeri dada) dapat timbul akibat proses peradangan kronik dari SLE. SLE juga dapat menyebabkan karditis yang menyerang miokardium, endokardium atau perikardium.
Fenomena Raynaud timbul pada sekitar 40% pasien SLE. Beberapa kasus dapat sangat berat sehingga dapat terjadi ganggren pada jari. Vaskulitis dapat menyerang semua ukuran arteria dan vena.
Nefritis lupus timbul pada waktu antibodi antinuklear (anti-DNA) melekat pada antigennya (DNA) dan diendapkan pada glomerolus ginjal. Biasanya DNA tidak bersifat antigenik pada orang normal tetapi dapat menjadi antigenik pada pasien SLE. Komplemen terfiksasi pada kompleks imun ini, dan proses peradangan dimulai. Akibatnya dapat terjadi peradangan ginjal, kerusakan jaringan dan pembentukan jaringan perut.
Kira-kira 65% dari pasien SLE akan mengalami gengguan pada ginjalnya. Tetapi hanya 25% yang menjadi berat. Nefritis lupus diketahui dengan melakukan pemeriksaan adanya protein eritrosit (RBC) atau silinder di dalam air kemih. Untuk mendapatkan suatu diagnosis pasti mungkin perlu dilakukan biopsi ginjal.
SLE juga dapat menyerang sistem saraf pusat maupun perifer. Gejala-gejala yang ditimbulkannya meliputi perubahan tingkah laku (depresi, psikosis), kejang-kejang, gangguan saraf otak, dan neuropati perifer. Perubahan-perubahan pada sistem saraf pusat sering diakibatkan oleh bentuk penyakit yang ganas dan seringkali bersifat fatal.
Antibody terhadap untai ganda DNA (dsDNA) dan terhadap kompleks protein asam ribonukleat (RNA) yang disebut Sm, hanya ditemukan pada pasien SLE. Gangguan reumatologik lain dapat menyebabkan antibody antinuclear menjadi positif (ANA), namun anti-dsDNA dan anti-Sm jarang ditemukan kecuali pada SLE.
Penyakit dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh terkenanya sistem yang lain. Pada tipe menahun terdapat masa bebas gejala dan masa kambuh kembali. Masa bebas gejala dapat berlangsung bertahun-tahun. Munculnya penyakit dapat spontan atau didahului faktor pemicu. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum, seperti demam, badan lemah, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun.
D. Patofisiologi
Penyebab dan mekanisme terjadinya SLE masih belum diketahui dengan jelas. Namun diduga mekanisme terjadinya penyakit ini melibatkan banyak faktor seperti genetik, lingkungan, dan sistem kekebalan humoral.
Faktor genetik yang abnormal menyebabkan seseorang menjadi rentan menderita SLE, sedangkan lingkungan berperan sebagai faktor pemicu bagi seseorang yang sebelumnya sudah memiliki gen abnormal. Sampai saat ini, jenis pemicunya masih belum jelas, namun diduga kontak sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat golongan sulfa, penghentian kehamilan, dan trauma psikis maupun fisik.
Lupus diketahui sebagai penyakit otoimun, penyakit yang muncul lantaran sistem kekebalan tubuh bereaksi berlebihan, yang justru mengganggu kesehatan tubuh. Di dalam tubuh manusia selalu ada sistem kekebalan tubuh, yang terdiri atas zat anti dan sel darah putih. Sistem imun ini bertugas melindungi tubuh manusia dari serangan antigen (musuh berupa bakteri, virus, mikroba lain). Pada lupus, oleh sebab yang belum diketahui, zat anti dan sel darah putih tadi justru menjadi liar dan menyerang tubuh yang seharusnya dilindungi. Akibatnya, organ-organ tubuh menjadi rusak dan gejala lupus pun muncul.
Perusakan jaringan tadi terjadi dengan dua cara. Zat anti langsung menyerang sel jaringan tubuh. Atau, zat itu masuk aliran darah dan bertemu antigen, lalu berkoalisi membentuk kompleks imun. Kompleks ini tetap ikut aliran darah sebelum tersangkut di pembuluh darah kapiler organ tertentu. Dalam keadaan normal, kompleks ini akan dieliminasi oleh sel-sel radang.
Sebaliknya, dalam keadaan tidak normal kompleks itu tidak dapat dihilangkan dengan baik dan sel-sel radang sebaliknya malah bertambah banyak sambil mengeluarkan enzim yang menimbulkan peradangan. Bila peradangan berlanjut, organ tubuh akan rusak, fungsinya terganggu sehingga menimbulkan gejala penyakit. Diduga, sinar matahari maupun hormon estrogen mempermudah terjadinya reaksi otoimun.
E. Komplikasi
Pada wanita dgn kehamilan dpt menyebabkan keguguran. Odapus dianjurkan menghindari kontrasepsi yang mengandung estrogen.
Setelah penyakitnya teratasi, barulah merencanakan kehamilan.

F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang antibody anti nuclear (ANA) merupakan uji penyaring yang terbaik untuk menegakkan diagnosis LES.
ANA hampir selalu positif pada lebih dari 95% pasien LES dan pemeriksaan ANA harus selalu dilakukan pada kasus yang dicurigai sebagai LES. ANA tidak selalu spesifik untuk LES karena ANA dapat juga dijumpai pada penyakit lain seperti skeloderma, artritis rematoid, atau drugs induced LE seperti isoniazid. Antibodi yang lebih spesifik untuk LES adalah antibodi anti ds-DNA dan anti SM, walaupun sensitivitasnya pada LES masing-masing adalah 75% (anti ds-DNA) dan 25% (anti SM)3,4,12a. Pemeriksaan ANA pada pasien menunjukkan positif 1/40, titer yang tinggi anti dsDNA ( positif 949 iu/ml ), C3 adan C4a yang menurun, serta LED meningkat menandakan proses penyakit pada pasien ini sedang aktif dan berat. Pemeriksaan lain yang cukup bermanfaat untuk melihat proses penyakit yang sedang aktif adalah nilai C Reactive Protein yang tinggi4,5a.
Analisa cairan otak pada mielopati LES harus dilakukan dalam 24 jam sejak gejala timbul. Pada 70–85% kasus yang melibatkan sistem saraf, ditemukan peningkatan protein sampai 639 mg/dl, jumlah sel lebih dari 20. Selain itu, juga bermanfaat untuk menyingkirkan proses infeksi yang terjadi5,7,8,9a. Pada kasus ini, didapatkan likuor sel 16/3, protein 244mg/dl, dan perbandingan glukosa likuor – darah 36/93 mg/dl adalah 0,38. Nilai perubahan likuor dapat terjadi pada LES dan disertai gejala klinis seperti sakit kepala dan kaku kuduk yang diagnosis sebagai meningitis aseptik.
Pemeriksan imajing mielografi dan CT mielografi sensitif, tapi tidak spesifik untuk mendiagnosis mielopati yang berhubungan dengan LES. Sebagian besar kasus yang dilaporkan, hasil mielogramnya normal. Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan pilihan yang terbaik karena pemeriksaan tidak invasif dan sensitif dalam mengevaluasi kelainan pada medula spinalis2,13a. Pembesaran medula spinalis selalu terlihat pada fase akut, sedangkan fase remisi akan kembali normal atau atrofi. Pada pasien ini, imajing seharusnya dilakukan untuk melihat proses kelainan anatomi seberapa luas dan berat serta untuk menyingkirkan kemungkinan proses lain yang dapat menyebabkan mielopati5,13,14a. Pada pasien ini, CT scan otak dilakukan atas pertimbangan saat itu terjadinya perburukan dalam perawatan yang diduga akibat stroke. Hasil yang didapatkan merupakan gambaran hiperdens berupa garis multipel kecil-kecil di lobus parital kanan (vaskulitis). Vaskulitis dapat terjadi pada serebral lupus meskipun sangat jarang15a. Infark luas, atrofi kortikal, lesi multifokal pada substansia alba, dan grisea sering terlihat pada imajing serebral LES14,16a.
Hasil SSEP yang menunjukkan hambatan total antara C7a - Th12a kiri dan kanan menunjukkan kelainan yang menetap karena medula spinalis tidak dapat beregenerasi kembali.
G. Pemeriksaan Penunjang

ANA positif pada lebih dari 95% pasien SLE. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya antibodi yang mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi adanya ANA, juga berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan antibodi spesifik. Pola ANA dapat diketahui dari pemeriksaan preparat yang diperiksa di bawah lampu ultraviolet. Suatu pemeriksaan banding untuk mengetahui tipe ANA spesifik saat ini sudah dapat dilakukan, dan pemeriksaan ini berguna untuk membedakan SLE dari tipe-tipe gangguan lain. Antibodi terhadap dsDNA merupakan uji spesifik untuk SLE. Gangguan reumatologik lain dapat juga menyebabkan ANA positif, tetapi antibodi anti-DNA jarang ditemukan kecuali pada SLE.
Laju endap darah pada pasien SLE biasanya meningkat. Ini adalah uji nonspesifik untuk mengukur peradangan dan tidak berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit.
Uji laboratorium yang sudah dipakai sebelumnya dan yang terkadang masih dipakai sampai sekarang adalah uji faktor LE. Sel LE dibentuk dengan merusak beberapa leukosit pasien sehingga sel-sel tersebut mengeluarkan nukleoproteinnya. Protein ini bereaksi dengan IgG, dan kompleks ini difagositosis oleh leukosit normal yang masih ada. Sel LE mudah dikenali. Factor ini biasanya dapat ditunjukkan dalam perjalanan penyakit apabila pemeriksaan cukup sering dilakukan. Sel LE dapat juga ditemukan pada gangguan sistemik lain dari penyakit golingan reumatik yang juga diperantarai oleh imunitas.
Urine diperiksa untuk mengetahui adanya protein, leukosit, eritrosit dan silinder. Uji ini dilakukan untuk menentukan adanya komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan penyakit ini.
H. Penetalaksanaan Medis

Penatalaksanaan pasien SLE bersifat banyak segi dan meliputi penyuluhan, terapi obat yang kompleks, dan tindakan-tindakan pencegahan. Periode timbulnya penyakit ini tersering adalah pada akhir masa remaja, dan awal dari masa dewasa seorang perempuan. Karena masa ini adalah tahun-tahun reproduksi yang paling prima, maka diperlukan penyuluhan serius dalam mengambil keputusan akan memiliki anak atau tidak. Kehamilan dapat menyebabkan timbulnya SLE, yang dapat yang dapat berbahaya bagi perempuan yang memiliki kerusakan ginjal. Obat-obatan sitotoksik mungkin diperlukan untuk mengendalikan penyakit ini, dan obat-obatan ini sangat berpotensi untuk mencelakakan fetus. Metode kontrasepsi oral tidak diperbolehkan, karena kontrasepsi oral dapat memperberat SLE. IUD dapat menjadi suatu masalah bagi perempuan yang mendapatkan pengobatan dengan kortikosteroid sistemik, karena adanya potensi untuk menimbulkan infeksi.
Terapi dengan obat bagi pasien SLE mencakup pemberian obat-obat anti inflamasi non-steroid (OAINS), kortikosteroid, antimalaria, dan agen penekan imun. Pemilihan obat yang sesuai bergantung pada organ-orga yang terserang oleh penyakit ini. OAINS dipakai untuk mengatasi arthritis dan antralgia. Aspirin saat ini lebih jarang dipakai karena memiliki insidens hematotoksik tertinggi, dan sebagian pasien SLE juga memiliki resiko tinggi terhadap efek samping OAINS pada kulit, hepar dan ginjal, sehingga pemberiannya harus dipantau dengan seksama.
Terapi antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila OAINS tidak dapat mengendalikan gejala-gejala SLE. Biasanya antimalaria mula-mula diberikan dengan dosis tinggi untuk memperoleh keadaan remisi. Bersihnya lesi kulit merupakan parameter untuk memantau pemakaian dosis. Tetapi penekan imun (siklofosfamid atau azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun SLE.
Obat-obatan ini biasanya dipakai ketika :
1. Diagnosis pasti sudah ditegakkan
2. Adanya gejala-gejala berat yang mengancam jiwa
3. Kegagalan tindakan-tindakan pengobatan lainnya, misalnya bila pemberian steroid tidak memberikan respons atau bila dosis steroid harus diturunkan karena adanya efek samping
4. Tidak adanya infeksi, kehamilan dan neoplasma.
Serangan akut SLE, terutama pada orang yang juga memiliki nefritis interstisial, diobati dengan kortikosteroid oral dosis tinggi untuk waktu yang singkat. Dosis obat-obatan ini biasanya dikurangi setelah beberapa minggu. Baik SLE dan kortokosteroid istemik dapat menimbulkan perubahan tingkah laku dan akan sulit untuk dibedakan.
Aspek penting dari pencegahan serangan SLE adalah menghindari terkena sinar ultraviolet (UV). Bagaimana sinar matahari dapat menimbulkan serangan SLE masih belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah satu penjelasan adalah DNA yang terkena sinar ultraviolet secara normal akan bersifat antigenik, dan hal ini akan menimbulkan serangan setelah terkena sinar. Pasien SLE harus dianjurkan untuk memakai payung, topi dan baju lengan panjang apabila ke luar rumah. Untuk anak remaj, megikuti nasehat ini mungkin akan sulit. Tabir surya dengan proteksi 15 harus dipakai untuk penahan sinar ultraviolet. Tabir surya ini harus dipakai setelah berenang atau setelah berolah raga berat. Pasien juga harus diberi daftar obat-obatan yang dapat menimbulkan serangan penyakit, agar timbulnya penyakit akibat pemakaian obat-obat ini dapat dicegah.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosis SLE seringkali sulit ditegakkan karena gejala klinis penyakitnya sangat beraneka ragam. Untuk menegakkan diagnosis SLE umumnya harus dilakukan melalui dua tahapan. Pertama, menyingkirkan kemungkinan diagnosis penyakit lain. Kedua, mencari tanda dan gejala penyakit yang memiliki nilai diagnosis tinggi untuk SLE. Berdasarkan kriteria American College of Rheumatology (ACR) 1982, diagnosis SLE dapat ditegakkan secara pasti jika dijumpai empat kriteria atau lebih dari 11 kriteria, yaitu bercak-bercak merah pada hidung dan kedua pipi yang memberi gambaran seperti kupu-kupu (butterfly rash), kulit sangat sensitif terhadap sinar matahari (photohypersensitivity), luka di langit-langit mulut yang tidak nyeri, radang sendi ditandai adanya pembengkakan serta nyeri tekan sendi, kelainan paru, kelainan jantung, kelainan ginjal, kejang tanpa adanya pengaruh obat atau kelainan metabolik, kelainan darah (berkurangnya jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan keping darah), kelainan sistem kekebalan (sel LE positif atau titer anti-ds-DNA abnormal atau antibodi anti SM positif atau uji serologis positif palsu sifilis) dan antibodi antinuklear (ANA) positif.
Kelainan yang paling sering pada SLE adalah kelainan sendi dan kelainan kulit. Sendi yang sering terkena adalah sendi jari-jari tangan, sendi lutut, sendi pergelangan tangan dan sendi pergelangan kaki. Kelainan kulit berupa butterfly rash dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan diagnosis SLE.
Daftar Pustaka
Tonam dkk. 2002. Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus Sistemik. www.tempo.co.id.
Suyono, Slamet. 2001. Ilmu Penyakit Dalam. FKUI. Jakarta.
http://www.geocities.com/alam_penyakit/PenyakitSistemikLupusErythematosus.htm
www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/abstrak/Freddy200401.pdf -
http://www.kalbe.co.id/index.php?mn=med&tipe=cdk&detail=printed&cat=det&det_id=63
http://www.balipost.com/balipostcetak/2003/12/7/ink1.html
www.warmasif.co.id/kesehatan/
http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/mb11napza03.html
William C. Shiel Jr. 2007. http://www.medicinet.com. Diakses pada tanggal: 30/11/2007





HEMOFILIA






Oleh :
Gina Meirawaty NIA005007
Nur Afip Alfian N1A005015
Rini Astuti N1A005021
Pandu Prabowo N1A005024
Ima Setya Ningrum N1A005031
Dyah Rofi P N1A005032
Yulia Fauziyah N1A005033
Yusep Abdul Latief N1A005034
Romantika Vesdita N1A005037
Rofiyana N1A005056







PROGRAM SARJANA KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2007
HEMOFILI

A. Pengertian
Hemofilia adalah gangguan atau kelainan turunan akibat terjadinya mutasi atau cacat genetik pada kromosom X. Kerusakan kromosom ini menyebabkan penderitakekurangan faktor pembeku darah sehingga mengalami gangguan pembekuan darah.Dengan kata lain, darah pada penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya secara normal.
Hemofilia berasal dari bahasa Yunani Kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu haima yang berarti darah dan philia yang berarti cinta atau kasih sayang. Hemofilia adalah suatu penyakit yang diturunkan, yang artinya diturunkan dari ibu kepada anaknya pada saat anak tersebut dilahirkan.
Hemofilia adalah penyakit berupa kelainan pembekuan darah akibat defisiensi (kekurangan) salah satu protein yang sangat diperlukan dalam proses pembekuan darah.
B. Sejarah
Hemofilia adalah salah satu penyakit genetik tertua yang pernah dicatat. kelainan perdarahan yang diturunkan yang terjadi pada seorang laki-laki tercatat dalam berkas Talmud pada Abad Kedua. Sejarah modern dari hemofilia dimulai pada tahun 1803 oleh John Otto yang menerangkan adanya anak yang menderita hemofilia, diikuti oleh Nasse pada tahun 1820 yang pertamakali mereview hemofilia. Wright pertama kali mendemonstrasikan adanya bukti suatu defek pada proses pembekuan darah pada hemofilia tahun 1893, namun faktor VIII (FVIII) belum teridentifikasi sampai pada tahun 1937 ketika Patek dan Taylor berhasil mengisolasi faktor pembekuan dari darah, yang saat itu mereka sebut sebagai faktor antihemofilia (AHF).
Suatu bioassay dari faktor VIII diperkenalkan pada tahun 1950. alaupun hubungan antara FVIII dan faktor von Willbrad (vWF) saat ini telah diketahui, namun hal ini tidak disadari saat itu. Pada tahun 1953, kurangnya faktor VIII pada pasien dengan defisiensi vWF pertama kali diterangkan. lalu penelitian berikutnya oleh Nilson dan kawan-kawan mengindikasikan adanya interaksi antara 2 faktor pembekuan tadi.
Pada tahun 1952, penyakit christmas pertama kali dideskripsikan dan nama penyakit tersebut diambil dari nama keluarga pasien pertama yang diteliti secara menyeluruh. penyakit ini sangat berbeda dari hemofilia karena pencampuran plasma pasien penyakit christmas dengan plasma pasien hemofilia menormalkan masa pembekuan (clotting time/CT) karena itu hemofilia A dan B kemudian dibedakan.
Pada awal tahun 1960an, kriopresipitat adalah konsentrat yang pertama kali ada untuk terapi hemofilia. pada tahun 1970an, lyophilized intermediate-purity concentrates atau konsentrat murni liofil menengah pertama kali dibuat dari kumpulan darah donor. Sejak saat itu terapi hemofilia secara dramatis berhasil meningkatkan harapan hidup penderitanya dan dapat memfasilitasi mereka untuk pembedahan dan perawatan di rumah.
Pada tahun 1980an, resiko tertular penyakit yang berasal dari konsentrat FVII pertamakali diketahui. kebanyakan pasien dengan hemofilia berat terinfeksi oleh penyakit hepatitis B dan hepatitis C. pada akhir tahun 1980an hampir semua pasien hemofilia berat terinfeksi hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C dan HIV. Teknik virisidal terbaru kemudian ditemukan dan efektif membunuh virus-virus tersebut. Standar terbaru tatalaksana hemofilia sekarang menggunakan konsentrat FVIII rekombinan sehingga dapat menghilangkan resiko tertular virus
C. Prevalensi
Menurut World Federation of Hemophilia, peluang kelahiran penderita Hemofilia di dunia adalah 1: 10.000 kelahiran bayi. Dengan asumsi terebut maka untuk wilayah Jawa Barat dan Banten akan terdapat sekira 3.800 orang penderita. Sejauh ini data yang tercatat di RS Hasan Sadikin per Desember 2002 ada 14 orang penderita (belum terdaftar di perhimpunan), dan data yang terdaftar di Perhimpunan Hemofilia Jawa Barat ada 28 orang penderita. Jadi jumlah total baru 42 orang penderita hemofilia.
Saat ini diperkirakan terdapat 350.000 penduduk dunia yang mengidap hemofilia. Di Indonesia, Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) memperkirakan terdapat sekitar 200 ribu penderita. Namun, yang ada dalam catatan HMHI hanya 895 penderita
D. Etiologi
Penyakit genetis (bersifat menurun) ditandai adanya gangguan dalam proses pembekuan darah. Pasien yang mengidap Hemofilia tidak bisa menghasilkan protein plasma yang diperlukan untuk pembekuan darah. Gejala yang mudah dikenali adalah bila terjadi luka yang menyebabkan sobek di permukaan tubuh, maka darah akan terus mengalir dan memerlukan waktu berhari-hari untuk membeku, bahkan gumpalan darah itu menjadi lunak dan tidak efektif menyumbat pembuluh darah yang terluka. Tetapi bila luka terjadi di bawah kulit karena terbentur, maka akan timbul memar/lebam kebiruan disertai rasa nyeri yang hebat pada bagian tersebut. Perdarahan yang berulang-ulang pada persendian akan menyebabkan kerusakan pada sendi sehingga pergerakan jadi terbatas (kaku), selain itu terjadi pula kelemahan pada otot di sekitar sendi tersebut.
Hemofilia diturunkan oleh ibu sebagai pembawa sifat yang mempunyai 1 kromosom X normal dan 1 kromosom X hemofilia. Penderita hemofilia, mempunyai kromosom Y dan 1 kromosom X hemofilia. Seorang wanita diduga membawa sifat jika:
1. ayahnya pengidap hemofilia
2. mempunyai saudara laki-laki dan 1 anak laki-laki hemofilia, dan
3. mempunyai lebih dari 1 anak laki-laki hemofilia
Karena sifatnya menurun, gejala klinis hemofilia A atau B dapat timbul sejak bayi, tergantung beratnya penyakit. Hemofilia A atau B dibagi tiga kelompok:
1. Berat (kadar faktor VIII atau IX kurang dari 1%)
2. Sedang (faktor VIII/IX antara 1%-5%) dan
3. Ringan (faktor VIII/X antara 5%-30%).
Gejala bisa berupa perdarahan abnormal dan biasanya terletak didalam, seperti sendi otot atau jaringan lunak lain, dan kulit, ini biasanya ditemukan pada bayi yang mulai merangkak, atau bisa terjadi perdarahan hidung, saluran kemih, bahkan perdarahan otak.
Pada hemofilia berat, perdarahan dapat terjadi spontan tanpa trauma. Hemofilia sedang, biasanya perdarahan didahului trauma ringan. Hemofilia ringan umumnya tanpa gejala atau dapat terjadi perdarahan akibat trauma lebih berat.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat perdarahan, gejala klinik yang ditemukan, dan pemeriksaan laboratorium secara khusus. Gejala penyakit dikenali sejak bayi. Ketika bayi mulai merangkak, mulai timbul memar biru di bawah kulitnya yang diakibatkan gesekan, benturan atau terjatuh. Bayi jadi sering menangis menahan sakit akibat adanya pembengkakan dan sering pula disertai demam. Atau bisa juga terjadi perdarahan yang sulit berhenti misalnya akibat menggunting kuku yang terlalu dalam.

E. Klasifikasi
Hemofilia terbagi atas dua jenis, yaitu :
1. Hemofilia A; yang dikenal juga dengan nama :
a. Hemofilia Klasik; karena jenis hemofilia ini adalah yang paling banyak kekurangan faktor pembekuan pada darah.
b. Hemofilia kekurangan Factor VIII; terjadi karena kekurangan faktor 8 (Factor VIII) protein pada darah yang menyebabkan masalah pada proses pembekuan darah.
2. Hemofilia B; yang dikenal juga dengan nama :
a. Christmas Disease; karena di temukan untuk pertama kalinya pada seorang bernama Steven Christmas asal Kanada.
b. Hemofilia kekurangan Factor IX; terjadi karena kekurangan faktor 9 (Factor IX) protein pada darah yang menyebabkan masalah pada proses pembekuan darah.
Pengelompokan hemofilia berdasarkan kadar faktor VIII atau faktor IX dalam darah.
1. Hemofilia berat, penderita hemofilia parah/berat yang hanya memiliki kadar faktor VIII atau faktor IX kurang dari 1% dari jumlah normal di dalam darahnya, dapat mengalami beberapa kali perdarahan dalam sebulan. Kadang - kadang perdarahan terjadi begitu saja tanpa sebab yang jelas (spontan) dan frekuensi perdarahan sering.
2. Hemofilia sedang, frekuensi timbulnya perdarahan tidak sesering Hemofilia berat. Mempunyai kadar faktor pembeku darah 1-5%. Perdarahan kadang terjadi akibat aktivitas tubuh yang terlalu berat, seperti olah raga yang berlebihan
3. Hemofilia ringan, jarang terjadi perdarahan kecuali jika terjadi luka besar seperti tindakan pencabutan gigi, operasi atau khitan. Wanita hemofilia ringan mungkin akan pengalami perdarahan lebih pada saat mengalami menstruasi Mempunyai kadar faktor pembeku darah 5-30%.
F. Faktor Resiko
Hemofilia tidak mengenal ras, perbedaan warna kulit atau suku bangsa. Hemofilia paling banyak di derita hanya pada pria. Wanita akan benar-benar mengalami hemofilia jika ayahnya adalah seorang hemofilia dan ibunya adalah pemabawa sifat (carrier). Dan ini sangat jarang terjadi. Sebagai penyakit yang di turunkan, orang akan terkena hemofilia sejak ia dilahirkan, akan tetapi pada kenyataannya hemofilia selalu terditeksi di tahun pertama kelahirannya.
G. Patofisiologi
Hemofilia merupakan kelainan bawaan sejak lahir yang diturunkan oleh kromosom X. Wanita berperan sebagai pembawa sifat hemofilia (carrier) yang diturunkan kepada anak lelakinya. Walaupun terdapat pula kasus yang sangat jarang, penderita hemofilia adalah seorang wanita. Ini dapat terjadi jika pria hemofilia menikah dengan wanita carrier hemofilia. Kebanyakan keluarga yang mempunyai riwayat perkawinan antar keluarga mengidap penyakit ini. Sebaiknya ditelusuri apakah ada anggota keluarga lain yang mengalami penyakit yang sama; ayah, kakek, paman, sepupu atau keponakan laki-laki. Gen yang cacat mungkin saja baru muncul pada beberapa generasi kemudian. Jika setelah dirunut dalam riwayat keluarga tidak ada yang mempunyai kelainan ini, maka pasien kemungkinan mengalami mutasi gen spontan (mutasi: perubahan struktur atau susunan; gen: pembawa sifat menurun).
Secara genetik, penurunan hemofilia bisa dijelaskan sebagai berikut. Pria penderita hemofilia dapat terjadi jika ada perkawinan antara wanita pembawa sifat hemofilia (carrier hermofilia) dengan pria normal. Gen hemofilia teletak pada kromosom X. Seorang pria mempunyai kode genetik XY, jika kromosom X-nya itu memiliki gen hemofilia yang resesif maka pria itu menjadi penderita hemofilia. Sedangkan wanita mempunyai kode genetik XX, jadi walau salah satu kromosom X-nya mempunyai gen hemofilia resesif, ia masih punya satu lagi kromosom X yang normal, sehingga ia tetap bisa hidup normal namun bersifat carrier hemofilia.
Skema Penurunan Hemofilia
Keterangan :
- Huruf H (besar) melambangkan kode genetika hemofilia dominan (kuat) bersifat normal.
- Huruf h (kecil) melambangkan kode genetika hemofilia resesif (lemah) bersifat tidak normal (carrier hemofilia/penderita hemofilia).
Dari skema tersebut dapat diketahui bahwa penyakit hemofilia bisa terulang lagi. Ada empat kemungkinan dari setiap kehamilan, yaitu: seorang anak wanita normal (D), seorang anak wanita yang normal bagi dirinya sendiri namun akan menjadi pembawa/carrier kelainan tersebut (C), seorang anak pria normal (B) atau seorang anak pria penderita hemofilia (A). Risiko mempunyai anak hemofilia adalah 25% pada setiap kehamilan. Belum ada metode akurat yang dapat meramalkan bahwa anaknya akan mengidap penyakit tersebut.
Dasar abnormalitas pada hemofilia A adalah defisiensi/abnormalitas protein plasma yaitu faktor anti hemofili (AHF = anti hemophilic factor/VIII). Dalam keadaan normal, dalam plasma F.VIII bersirkulasi dalam bentuk ikatan dengan faktor von Willebrand (vWF). FaktorvWF disebut juga F.VIII Antigen (F.VIIIAg) berfungsi sebagai pembawa F.VIII. Fungsi F.VIII dalam proses koagulasi dinamakan F.VIII C. Produksi vWF dikode oleh gen otosomal. Pada hemofilia A, vWF diproduksi dalam kualitas normal dengan jumlah normal atau meningkat. Pada hemofilia A didapatkan gangguan pada proses stabilisasi sumbat trombosit oleh fibrin. Mutasi genetik yang ditemukan pada hemofilia A :
- Transposisi basa tunggal : codon arginin menjadi stop codon yang menghentikan sintesis F.VIII yang menyebabkan hemofilia berat.
- Substitusi sam amino tunggal : menyebabkan hemofilia ringan.
- Delesi beberapa ribu nukleotida : menyebabkan hemofilia berat
Gangguan itu dapat terjadi karena jumlah pembeku darah jenis tertentu kurang dari jumlah normal, bahkan hampir tidak ada. Perbedaan proses pembekuan darah yang terjadi antara orang normal (Gambar 1) dengan penderita hemofilia (Gambar 2). Gambar 1 dan Gambar 2 menunjukkan pembuluh darah yang terluka di dalam darah tersebut terdapat faktor-faktor pembeku yaitu zat yang berperan dalam menghentukan perdarahan.


a. Ketika mengalami perdarahan berarti terjadi luka pada pembuluh darah (yaitu saluran tempat darah mengalir keseluruh tubuh), lalu darah keluar dari pembuluh.
b. Pembuluh darah mengerut/ mengecil.
c. Keping darah (trombosit) akan menutup luka pada pembuluh.
d. Faktor-faktor pembeku darah bekerja membuat anyaman (benang - benang fibrin) yang akan menutup luka sehingga darah berhenti mengalir keluar pembuluh.

(Gambar 1. Proses pembekuan darah orang normal)

a. Ketika mengalami perdarahan berarti terjadi luka pada pembuluh darah (yaitu saluran tempat darah mengalir keseluruh tubuh), lalu darah keluar dari pembuluh.
b. Pembuluh darah mengerut/ mengecil.
c. Keping darah (trombosit) akan menutup luka pada pembuluh.
d. Kekurangan jumlah factor pembeku darah tertentu, mengakibatkan anyaman penutup luka tidak terbentuk sempurna, sehingga darah tidak berhenti mengalir keluar pembuluh.


(Gambar 2. Proses pembekuan darah orang hemofili)

H. Manifestasi Klinis
Seseorang diduga menderita hemofilia bila terjadi benturan pada tubuhnya akan selalu mengakibatkan kebiru-biruan (perdarahan di bawah kulit) sebagai gejalanya. Bahkan luka memar juga bisa terjadi dengan sendirinya alias spontan jika penderita melakukan aktivitas fisik yang tergolong berat. Perdarahan di bawah kulit ini sering terjadi pada persendian atau otot seperti siku tangan maupun pergelangan kaki atau lutut kaki yang disebut sebagai hemartrosis. Akibatnya, muncul rasa nyeri yang hebat, bengkak, sendi tidah dapat digerakkan, bahkan kelumpuhan. Bila perdarahan tak segera berhenti atau perdarahan terjadi pada otak, akibatnya bisa fatal karena bisa berakhir dengan kematian.
I. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosa hemofilia ditegakkan berdasarkan riwayat biru pada kulit, perdarahan kulit dan sendi. Seringkali ditemukan saat anak khitan, dan perdarahan tak kunjung berhenti (minimal usia 5 tahun), saat anak imunisasi atau anak periksa darah. Baru sesudah itu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengukur kadar faktor VIII dan IX. Dilanjutkan dengan pemeriksaan PT dan APPT. Anak yang kekurangan faktor pembekuan VIII disebut hemofilia A, sedangkan kekurangan faktor 9 dikelompokkan dalam hemofilia B. hemofilia A merupakan jenis hemofilia terbanyak di dunia saat ini.
J. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan hemofili klasik
a. Pengobatan dasar
Pengobatan yang dimaksud adalah pemberian faktor pembekuan yang kurang/defisiensi kepada individu secara langsung lewat vena, berarti mencegah perdarahan atau mengurangi perdarahan serta efek samping. Macam dari pengobatan dasar yaitu :
o Tindakan saat terjadi perdarahan
Mencegah timbulnya hemartrosis adalah merupakan tantangan terbesar dalam penanganan penderita ini lebih lebih pada hemofilia berat. Artropati hemofilia yang terjadi disebabkan karena terjadi perdarahan berulang pada sendi. Kelainan ini bisa menetap bila pengobatan tidak efektif. Pada keadaan ini perlu tindakan dini. Perdarahan sendi yang dini pada anak yang besar dapat dirasakan sebagai ”aura”/ different feeling. Beberapa penulis menggunakan aura perdarahan sendi sebagai suatu indikasi pengobatan dini.
Jika terjadi perdarahan pada otot dan sendi, langkah pertolongan pertama yang dapat dilakukan adalah:
- Rest, yaitu istirahatkan anggota tubuh yang mengalami perdarahan.
- Ice, yaitu kompreslah bagian yang terluka dengan es.
- Compress, yaitu tekan dan ikat tidak terlalu keras dengan perban elastis.
- Elevation, yaitu letakan bagian yang sakit dalam posisi lebih tinggi dari dada dengan menggunakan bantal.
Perdarahan pada susunan saraf pusat dapat terjadi pada 20% kasus sehingga merupakan salah satu penyebab utama kematian penderita hemofilia. Pemeriksaan lain yang penting untuk diagnostik adalah CT Scan. Pengobatannya adalah pemberian faktor VIII hingga 80%, dosis adalah 50 U FVIII/kg bb. Pengobatan pencegahan pada kasus yang pernah mengalami perdarahan susunan saraf pusat adalah penting.
Hematuria spontan sering terjadi pada hemofilia berat. Dosis FVIII adalah 15-25 U/kgbb. Terapi lain yang dianjurkan adalah pemberian prednison oral 2mg/ kgbb/ hari selama 2hari, diikuti 1 mg/kgbb/hari selama 3 hari.
Perdarahan hidung dapat diatasi dengan penekanan lokal atau ditutup dengan hemostat. Bila perdarahan hebat dapat diberikan FVIII 15-25 U/kgbb dan E-amino caproic acid 200mg/kgbb tiap 4-6 jam.
Perdarahan dalam abdomen atau retroperitoneal sering merupakan keadaan darurat.Dapat diatasi dengan pemberian FVIII setiap 12-24 jam dengan dosis 50 U/kgbb.
Keluhan penekanan saraf akibat perdarahan pada tangan, pergelangan tangan, kaki atau betis merupakan kedaan darurat. Saraf yang paling sering kena adalah N. femoralis, medianus dan ulnaris dan memberikan gejala parestesi serta kelumpuhan. Tindakan operatif disertai FVIII dengan dosis 50 μ/kgbb dianjurkan agar terhindar dari kelainan yang pemberian menetap.
Kista hemofilik atau pseudotumor adalah suatu hematom yang berkembang dalam beberapa bulan/tahun akibat perdarahan yang berulang pada jaringan lunak hingga ke subperios dan dalam tulang sehingga dapat terjadi kerusakan tulang. Pengobatannya adalah pemberian FVIII hingga 25% selama 6-8 minggu dan tidak boleh dilakukan aspirasi atau biopsi. Bila pengobatan konservatif gagal, dianjurkan bedah eksisi.

o Tindakan saat perdarahan artifisial
Pada saat pencabutan gigi susu cukup dengan penekanan lokal, sedangkan gigi permanen diberikan FVIII 30-50% dan akhir-akhir ini digunakan lem fibrin (fibrin glue). Pencabutan gigi tidak boleh lebih dari 2 buah pada saat bersamaan, walaupun pada topical.
Hemofilia ringan. Kemungkinan terjadi perdarahan akibat imunisasi dapat diatasi dengan penekanan lokal selama 5 menit pada tempat suntikan. Pada tindakan bedah elektif maupun darurat, FVIII diberikan sebelum, selama dan sesudah operasi. Kemudian dilanjutkan 10 hari sampai luka sembuh. Dosis total adalah 4.000-6.000 Unit. Pemberiannya sampai 80-100% sebelum tindakan operasi. Lebih baik diberikan melalui infus kontinyu dibanding pemberian injeksi bolus.
o Pengobatan pencegahan
Tujuan pengobatan pencegahan ini adalah untuk mempertahankan FVIIIC dalam darah pada kadar hemostatik. Pengobatan pencegahan ada 2 yaitu :
 Pencegahan primer, pemberian FVIII secara regular, kontinyu dimulai saat sebelum anak berusia 2 tahun atau setelah anak menderita perdarahan sendi yang pertama kalinya.
 Pencegahan sekunder, pemberian FVIII bisa secara regular atau kontinyu dimulai saat anak berusia lebih dari 2 tahun atau setelah terjadi perdarahan pada 2 atau lebih sendi.

Pencegahan ditujukan terutama pada hemofilia berat untuk mencegah terjadinya artropati. Dosis yang diberikan adalah 25-50 unit/kgbb FVIII dengan interval 2-3 hari atau 3 kali dalam seminggu.
Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) menganjurkan pengobatan pencegahan sebaiknya dimulai sejak usia 1-2 tahun dan berlanjut terus. Biaya pengobatan pencegahan ini sangat mahal di Swedia (Nilsson dkk 1992) penderita hemofilia membutuhkan FVIII setiap tahunnya hingga 9000 Unit/kgbb (rata-rata 4000 Unit). Demikian juga seperti yang dilaporkan Manco-Johnson dkk 1994 untuk profilaksis membutuhkan dosis 4000 Unit/kgbb atau 75.000 dolar US. Bilamana pengobatan profilaksis ini tidak bisa dilakukan maka pengobatan dapat diberikan secara ”on demand”.
o Pengobatan di rumah
Orang tua/keluarga diajarkan cara pemberian pengobatan dibawah pengawasan Pusat Hemofilia disertai membuat laporan. Pengobatan di rumah yang terbaik adalah pemberian FVIII konsentrat. Pengobatan dirumah merupakan bagian dari perawatan komprehensif. American National Hemophilia Foundation mempunyai persyaratan perawatan dirumah yaitu :
- Diagnosis hemofilia klasik harus benar
- Frekuensi perdarahan, bila perdarahan terjadi 2-3 bulan sekali tidak perlu dilakukan
- pengobatan dirumah
- Penderita dengan inhibitor FVIII diawal terapi tidak dilakukan pengobatan dirumah
- Kedaan psikososial penderita harus baik
- Minimal berusia 4 tahun
- Catatan Kesehatan/penggunaan FVIII harus baik
- Berkunjung rutin setiap 6-12 bulan ke klinik untuk meyakinkan bahwa penderita sehat
- fisik dan jasmani
b. Perawatan komprehensif
Penanganan penderita hemofilia banyak melibatkan personil seperti dokter hematology anak dan dewasa, ahli patologi klinik, ahli bedah tulang, ahli rehabilitasi medik, dokter gigi, ahli jiwa, perawat dan pekerja sosial yang terampil. Perawatan kesehatan secara umum merupakan hal yang penting pula dalam perawatan penderita hemofilia. Agar kondisi terjaga dengan baik beberapa hal perlu mendapat perhatian yaitu :
- Senantiasa menjaga berat tubuh tidak berlebihan serta mengkonsumsi makanan dan minuman yang sehat. Karena berat badan berlebihan dapat mengakibatkan perdarahan pada sendi-sendi di bagian kaki (terutama hemofilia berat).
- Melakukan kegiatan olah raga teratur. Olah raga akan membentuk kondisi otot yang kuat, sehingga bila berbentuk otot tidak mudah terluka, perdarahan dapat dihindari. Olah raga yang dipilih hendaknya jangan yang beresiko kontak fisik seperti sepak bola, karate, gulat. Olahraga yang paling dianjurkan adalah renang dan bersepeda.
Peran seorang ahli rehabilitasi medik adalah melatih otot-otot terutama melatih otot pasca perdarahan. Melakukan pemeriksaan kesehatan gigi secara rutin sangat membantu mengurangi perdarahan yang terjadi. Menghindari penggunaan obat aspirin merupakan salah satu perawatan umum penderita hemofilia karena obat ini dapat meningkatkan perdarahan. Perawatan umum yang tak kalah pentingnya adalah memberi informasi kepada pihak tertentu seperti: sekolah, dokter di mana penderita berobat dan teman-teman lingkungan terdekat sekaligus mendapat suasana lingkungan yang mendukung timbulnya kepribadian yang sehat agar tetap optimis menyongsong masa depan
c. Inhibitor terhadap faktor VIII.
Sebanyak 20-40% penderita hemofilia klasik setelah mendapat beberapa kali pemberian FVIII, antara 10-20 hari pengobatan timbul antibodi terhadap Faktor VIII. Hal ini merupakan suatu masalah dalam penanganan hemofilia karena pengobatan menjadi lebih sulit dan mahal. Faktor VIII bukanlah bersifat genetic marker antigen seperti granulosit, trombosit atau eritrosit. Tapi pemberian berulang dapat menimbulkan antibodi yang bersifat inhibitor terhadap FVIII. Inhibitor pada sebagian kecil penderita dapat hilang secara spontan. Timbulnya inhibitor diduga ada korelasi antara terjadinya mutasi pada gen FVIII, respon imun dan epitop antibodi FVIII.
Ciri-ciri secara klinis terbentuknya inhibitor :
- Timbul perdarahan pada penderita yang sedang dalam pengobatan profilaksis
- Penderita dengan terapi ”on demand “ kemudian tidak berespon lagi
Setelah inhibitor terdeteksi, dilakukan pemeriksaan titer inhibitor kemudian penderita dapat digolongkan kedalam 3 katagori yaitu :
- Low titer inhibitor, low responder : titer inhibitor tidak lebih dari 5 BU setelah diberikan terapi pengganti.
- Low titer inhibitor, high responder : titer inhibitor meningkat lebih dari 5BU setelah pemberian terapi pengganti.
- High titer inhibitor, high responder : titer inhibitor lebih dari 5 BU dan kemudian meningkat setelah diberikan terapi pengganti.
Untuk mencegah terjadinya komplikasi ini, dilakukan imunisasi hepatitis dan pemberian konsentrat FVIII heat treatment , sedangkan bila sudah terbentuk inhibitor maka penanganannya adalah dengan pemberian konsentrat kompleks protrombin, recombinat atau forcine FVIII untuk mem”bypass” terbentuknya inhibitor. Activated FVII Penggunaan munosupresan, immunoglobulin intravena, pemberian FVIII dosis tinggi berulang untuk menginduksi imun yang tak renponsif secara selektif. Akhir-akhir dikembangkan suatu vaksin (dalam taraf percobaan binatang) idiotypic vaccinve yang berfungsi mensupresi dan mencegah dan menetralisir inhibitor FVIII.
d. Deteksi karier dan diagnosis prenatal
Deteksi karier dan diagnosis prenatal merupakan implementasi strategi dari pencegahan yang akan dapat mengurangi jumlah penderita dengan hemofilia berat. Dalam keluarga hemofilia seorang perempuan dikatakan sebagai karier obligat dapat ditelusuri lewat silsilah. Obligat karier adalah seorang perempuan yang menampakkan satu atau lebih gejala berikut :
- ayahnya seorang penderita hemofilia
- perempuan yang mempunyai dua atau lebih anak laki-laki menderita hemofilia (bukan kembar identik)
- perempuan dengan satu anak laki menderita hemofilia dan saudara perempuannya mempunyai anak hemofilia
- melahirkan anak hemofilia dan ada riwayat melahirkan anak hemofilia pada garis keturunan ibu 25,26
Bila kadar FVIII perempuan sangat rendah kemungkinan besar dia karier. Rasio aktifitas FVIII lebih rendah dari antigen FVIII dalam plasma maka dapat dikatakan karier. Tes ini hanya dapat menunjukkan probabilitas karier, sedangkan 10-15% tidak membantu diagnosis karier.
Diagnosis prenatal dilakukan dengan melakukan biopsi villi chrorionik pada trimester pertama kemudian dilakukan analisis genetik. Pemeriksaan cairan amnion, darah janin, dan diagnosis genetik pre implantasi dapat dilakukan pada kasus-kasus tertentu. Diagnosis prenatal harus didahului dengan konseling genetik yang adekuat dan penilaian tentang kemungkinan menderita karier dan dukungan selama proses diagnosis
2. Pengobatan Pengganti
a. Darah segar
Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang mencapai 20-40% kemudian diikuti pemberian FVIII hingga mencapai kadar hemostatik.
b. Plasma segar beku
c. Kriopresipitat
d. Konsentrat FVIII
3. Pengobatan Masa Mendatang
Selain itu, perdarahan pada hemofilia seringkali membutuhkan Replacement Therapy, yaitu pemberian faktor pembeku darah sesuai kebutuhan. Ini dapat dilakukan melalui transfusi plasma atau pemberian suntikan konsentrat faktor VIII (untuk Hermofilia A) atau faktor IX (untuk Hermofilia B). Ada dua jenis transfusi plasma yaitu:
1. Cryoprecipitate untuk plasma yang mengandung faktor VIII diberikan pada penderita Hemofilia A.
2. Fresh Frozen Plasma (plasma beku segar) yang mengandung faktor IX diberikan pada penderita hemofilia B.
Kedua plasma tersebut bisa diperoleh di PMI. Pemberian dosis dan jadwal Replacement Therapy berdasarkan analisis dokter Hermatologi. Pemberian transfusi plasma atau suntikan konsentrat hanya bersifat perawatan sampai perdarahan berhenti dan tidak menyembuhkan penderitanya dari hemofilia. Untuk bisa hidup seperti orang normal, penderitanya sangat bergantung pada perawatan ini seumur hidupnya.
Jenis Faktor Pembekuan Komentar
Plasma segar dibekukan Seluruh Sebelum diberikan, dihangatkan dahulu pada suhu 37 C, reaksi alergi adalah biasa, kemungkinan kelebihan cairan trutama pada usia lanjut.
Cryoprecipitate VIII, Fibrinogen Sebelum diberikan, dihangatkan dahulu pada suhu 37 C, reaksi alergi seketika, trasmisi hepatitis resikonya rendah atur setiap 12 jam.
Konsentrasi faktor VIII Lyophilized VIII Stabil pada suhu ruang, kemungkian reaksi hemolytic bagi pasien dengan jenis darah A, B dan AB lebih diberikan pada jangka panjang. Jarang terjadi reaksi alergi.
Vitamin K dependent Complex VII, IX, X Prothrombin Jangka tetap beku, resiko transmisi hepatitis dan farmasi thrombus lebih tinggi (biasanya diberikan bersama)


Perawatan kesehatan secara umum pada penderita hemofili, yaitu :
1. Mengonsumsi makanan dan minuman yang sehat dan menjaga berat tubuh supaya tidak berlebihan karena kegemukan akan sangat membebani persendian kaki.
2. Melakukan kegiatan olah raga terukur. Olah raga akan memperkuat otot sehingga tidak mudah luka. Sebaiknya hindari olah raga adu fisik seperti sepak bola. Sangat dianjurkan bersepeda dan berenang. Ada baiknya dikonsultasikan dengan ahlifisio terapi yang memahami hemofilia.
3. Merawat dan memeriksakan gigi secara teratur ke dokter gigi untuk menghindari perdarahan gusi. Sedikitnya 6 bulan sekali.
4. Mengikuti program imunisasi. Catatan bagi petugas medis: suntikan imunisasi harus dilakukan di bawah kulit (subkutan) dan tidak ke dalam otot, diikuti penekanan lubang bekas suntikan setidaknya 5 menit.
5. Hindari penggunaan obat yang mengandung aspirin, karena aspirin dapat meningkatkan perdarahan. Jangan sembarangan mengonsumsi obat-obatan. Sebaiknya dikonsultasikan terlebih dahulu kepada dokter.
6. Memberikan informasi secara jelas tentang kondisi hemofilia yang diderita kepada pihak-pihak tertentu seperti pihak sekolah agar diberi keringanan jika sering absen sekolah. Selain itu penjelasan juga diperlukan bagi dokter tempat penderita berobat, dan teman-teman di sekitarnya.
7. Memberi dukungan, jangan terlalu over protective, biarkan penderita hemofilia tumbuh dengan pribadi yang sehat agar tetap optimis bersama.
K. Asuhan Keperawatan
Pengkajian
Dalam pengkajian pasien hemofili harus diketahui riwayat penyakit terlebih dahulu. Hemofilia dapat timbul saat lahir dimana terjadi pemanjangan waktu perdarahan dari tali pusat atau perdarahan intra kranial, sefalhematom, perdarahan saat sirkumsisi. Pada anak yang lebih besar biasanya didapat riwayat adanya salah seorang laki-laki anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama/gangguan perdarahan. Namun 30% kasus tidak menunjukkan ada riwayat perdarahan yang sama. Beratnya perdarahan bervariasi namun biasanya berat ringannya perdarahan adalah sama pada satu keluarga. Seorang penderita hemofilia ringan diagnosis baru dapat ditegakkan bila penderita mengalami suatu
tindakan pembedahan atau tindakan lain yang menyebabkan perdarahan.
Karena kelainan perdarahan dimulai sejak kecil/lahir sehingga perdarahan sendi (hemarthrosis) sebagai akibat jatuh saat mulai belajar berjalan merupakan gejala. Laserasi lidah, bibir sering dijumpai pada usia 11-12 bulan. Dalam anamnesis mungkin diperoleh keterangan tentang pernah/seringnya transfusi darah dalam mengatasi perdarahan. Riwayat keluarga sangat penting untuk kelainan yang diwariskan secara sex linked ini. Selalu harus mencurigai kemungkinan adanya hemofilia A pada anak laki-laki yang disertai perdarahan abnormal disamping kemungkinan hemofilia B karena defisiensi faktor IX memang lebih jarang ditemukan.
Pemeriksaan fisik
Derajat berat hemofilia secara klinis ditentukan oleh derajat berat defisiensi faktor pembekuannya, bila kurang dari 1% disebut hemofilia berat, kadar Faktor VIII (FVIII) 1-5% disebut hemofilia sedang dan bila kadar FVIII 5-25 % disebut hemofilia ringan. Tanda klinis dari hemofilia berat yang khas adalah terjadinya perdarahan spontan pada sendi dan otot yang berulang disertai nyeri dan gejala ini mulai nampak ketika anak mulai belajar merangkak. Perdarahan gastrointestinal, hematuria dan perdarahan otak.
Diagnosis
Laki-laki dengan riwayat perdarahan spontan atau setelah trauma, ada riwayat keluarga. Pada pemeriksaan faal hemostasis APTT memanjang, kadar Faktor VIII menurun. Dapat juga dipastikan dengan pemerksaan TGT (thromboplastin generation time).

Tidak ada komentar: